PUISI WAJIB PUTRA :
PADAMU JUA
Karya Amir Hamzah
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kendi kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata
Merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku
***
PUISI WAJIB PUTRI
ELEGI
Karya Toeti Heraty
kau
gelisah sayang, katakan itu cinta
tampaknya malam akan menyingkirkan awan
tetapi pucuk-pucuk mendung
memercikkan getar
pohon tegak-tegak
rumput
semak dan riuh kota telah lelap
bersembunyi dalam satu nada sunyi
menunggu
adalah pembunuhan lambat
yang sedang berlalu
dan
semangat hidup hilang melewati
lobang-lobang dalam kelam
kau
gelisah sayang, katakan itu cinta
kau membuang muka tak mau melihat
bulan
dilingkari sepi
sepi
dan detak jantung dua-duanya menjadi
degup lambat dan semakin berat
menunggu
taufan selesai.
April, 1969
***
PUISI PILIHAN PUTRA & PUTRI
TERATAI
(Ki Hajar Dewantoro)
Karya Sanusi Pane
Dalam kebun di tanah airku
tumbuh sekuntum teratai
tersembunyi kembang indah permai
tiada terlihat orang yang
lalu
***
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya pada rambut,
akarnya
tumbuh di hati dunia
daun berseri, laksmi mengarang
biarpun dia diabaikan orang
seroja
kembang gemilang mulia
teruslah,
o, teratai bahagia
berseri di kebun indonesia
biarkan
sedikit penjaga taman
biarpun
engkau tak terlihat
biarpun engkau tidak diminat
engkau
turut menjaga jaman.
1957
***
KEPADA PEMINTA-MINTA
Karya Chairil Anwar
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan
lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari wajah
Sambil
berjalan kau usap juga
Bersuara
tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah
Mengganggu
dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di
telingaku
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
***
SAJAK MATAHARI
Karya WS Rendra
Matahari
bangkit dari sanubariku,
menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari
mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu
keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin!
kakimu terbenam di dalam
lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat
gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu!
Satu
juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata
mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia. Matahari
adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan
kutukanmu, ya, umat manusia!
Yogyakarta, 5 Maret 1976
***
KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
Karya Taufiq Ismail
Hari
depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia
adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian
berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari
depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang
bentuknya seperti telur angsa,
Hari
depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta
penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu
juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar
lampu 15 wat,
Hari
depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat
bebannya kemudian angsa-angsa berenang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah
dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu
15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari
depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main
pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu
15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari
depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang
bentuknya seperti telur angsa,
Hari
depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta
penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah
bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian
hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Paris, 1971
Karya Sapardi Djoko Damono
dalam doaku subuh ini kau menjelma langit, yang semalaman
tak
memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya
pertama, yang
melengkung hening karena akan menerima sara-suara
ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam
doaku kau
menjelma pucuk-pucuk cemara, yang hijau senantiasa, yang tak
henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah
dari mana
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap
di ranting dan
menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu
hinggap di dahan
mangga itu
maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu, menyusup di
celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya pada rambut,
dahi dan bulu-bulu mataku…
Jakarta,
1990
aku mencintaimu. itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu.
***
TANAH AIR MATA
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Tanah
airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di
sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di
balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah
gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami
coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi
memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun
kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian
pijak airmata kami
ke manapun terbang
ke manapun terbang
kalian
hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian
sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman
air mata kami
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman
air mata kami
1991
***
***
Karya Ahmadun Yosi Herfanda
bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut
yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa
kau
semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon
pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa
kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, tionghoa, batak, arab, dayak
melayu, sunda, madura, ambon, atau
papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa
ya,
apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus
menyatu dalam genggaman
sumpah pemuda!
sumpah pemuda!
Jakarta, 1999
***
***
Karya Acep Zamzam Nor
Jejak
bulan telah hapus
Bumi tinggal rawa peradaban
Bumi tinggal rawa peradaban
Kata-kata
menjadi belantara nilai
Tak terbaca. Bencana demi bencana
Bahkan pertikaian antar sesama
Tak terbaca. Bencana demi bencana
Bahkan pertikaian antar sesama
Telah
membunuh bahasa. Sungai-sungai
Yang mengalirkan lumpur dan lahar
Sumbernya berasal dari kemarahan
Yang mengalirkan lumpur dan lahar
Sumbernya berasal dari kemarahan
Tahun-tahun lindap, abad-abad gelap
Mengekalkan kesumat. Langit merendah
Berkaca pada lembaran sejarah
Mengekalkan kesumat. Langit merendah
Berkaca pada lembaran sejarah
Yang
penuh darah. Harimau dan ular
Mengaum dan menjalar
Mengaum dan menjalar
Tak
tertahan. Naik-turun gunung
Keluar-masuk hutan
Keluar-masuk hutan
Merambah dunia tanpa peta
1983
***
***
Karya Syaefuddin Gani
istriku.
azan magrib mengulum matamu
alismu rebah terbangun
alismu rebah terbangun
rambutmu
yang magrib lelap di leherku
kunikmati ranumnya seperti menyuntuki batu-batu
tasbih merah di luar kamar
kunikmati ranumnya seperti menyuntuki batu-batu
tasbih merah di luar kamar
bercengkerama di keningmu
matamu terbuka seumpama fajar
terluka
bilal
mengundang ke perjamuan magrib
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman
menyantap sumsum alfatiha dan anggur arrahman
suamiku.
bangunlah dari bebatan istirah
syair bilal mengelana di dadamu
syair bilal mengelana di dadamu
penyetia
yang tak lekang mengirim hubbub
matamu berkabut surau
matamu berkabut surau
menyambut temaram isya segera datang,
satu-satu bintang bertandang di luar,
satu-satu bintang bertandang di luar,
jemaah
melenggang ke taman sembahyang
sebelum iqamah datang sebelum kiamat jelang
sebelum iqamah datang sebelum kiamat jelang
sepasang suami istri membuka kamar
membuka pagar
kaki-kakinya larik-larik puisi hikmat dan nikmat
kaki-kakinya larik-larik puisi hikmat dan nikmat
ke terowongan magrib jemaah bersorban
berkerudung langit mengerubung kiblat,
lalu imam berkidung
berkerudung langit mengerubung kiblat,
lalu imam berkidung
oi,
alangkah mawar allahu akbar
penawar jiwa-jiwa memar rubuh dan rukuk
penawar jiwa-jiwa memar rubuh dan rukuk
dalam geluruh sembahyang
Kendari, 12 Agustus 2008
***
***
Karya Aslan Abidin
hujan
batu kembali turun di kota kami.
memecahkan kaca jendela, menghancurkan
bola lampu, dan mengotori bak mandi.
memecahkan kaca jendela, menghancurkan
bola lampu, dan mengotori bak mandi.
orang-orang menyambutnya dengan
memasang kecemasan di pintu. hujan
batu selalu turun
di kota kami, membawa orang-orang berwajah
di kota kami, membawa orang-orang berwajah
hijau yang membunyikan sirene
kebakaran. mengubah
angin jadi debu, membuat air mengalirkan darah.
angin jadi debu, membuat air mengalirkan darah.
di kota kami, rasa benci
dapat kami pesan di kantin-kantin,
di laci
meja
para pegawai, dan di kantong para pejabat. kami
telah memecahkan cermin di meja rias kami
telah memecahkan cermin di meja rias kami
untuk
melongok ke dalamnya mencari-cari
wajah sendiri. tapi hujan batu selalu turun di
kota kami.
wajah sendiri. tapi hujan batu selalu turun di
kota kami.
kami
memasang atap yang dibuat para tentara,
di bawahnya kami sembunyi, pacaran, menikah,
dan bercinta. kelak anak-anak kami akan punya
kenangan tersendiri kepada kami:
di bawahnya kami sembunyi, pacaran, menikah,
dan bercinta. kelak anak-anak kami akan punya
kenangan tersendiri kepada kami:
para generasi jaman batu.
Makassar, 1995
***
***
Ini puisi2 yang harus ditampilin pas lomba baca puisi ? Gak bisa bebas yah kalo ikut lomba baca puisi ?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDear Ayumi,
BalasHapusSelama ini memang untuk tangkai lomba baca puisi, baik di PEKSIMIDA maupun PEKSIMINAS, tema dan materi puisinya ditentukan oleh panitia. Kalau Anda mau bebas, silakan ikuti lomba penulisan puisi. Di situ, meskipun tema ditentukan, Anda tetap bisa menghasilkan karya puisi Anda sendiri.
Terima kasih.