1.
AENG/ ALIMIN
Karya PUTU WIJAYA
IA BERBARING DI LANTAI DENGAN KAKI
NAIK KE KURSI. DI MEJA KECIL,
DEKAT KURSI, ADA BOTOL BIR KOSONG
SEDANG DI LANTAI ADA PIRING SENG.
MUKANYA DITANGKUP TOPI KAIN. DIKAMAR SEBELAH
TERDENGAR
SESEORANG MEMUKUL DINDING
BERKALIKALI.
Ya, siapa itu. jangan gangu, aku
sedang tidur.
GEDORAN KEMBALI BERTUBI.
Yaaaa! Siapa? Jangan ganggu aku
sedang tidur.
GEDORAN BERTAMBAH KERAS. ORANG ITU
MENGANGKAT TUBUHNYA.
Ya!
Diam kamu kerbau! Sudah aku bilang, aku tidur. Masak aku tidak boleh tidur
sebentar. Kapan lagi aku bisa tidur kalau tidak sekarang. Nah begitu. Diam-diam
sajalah dulu. Tenangkan saja dulu kepalamu yang kacau itu. hormati sedikit
kemauan tetangga kamu ini.
(BERBARING
LAGI) Ya diam. Tenang seperti ini. Biar aku dengar hari bergeser mendekatiku
dengan segala kebuasanya. Tiap detik sekarang kita berhitung. Aku kecap-kecap
waktu kenyang-kenyang, karena siapapun tidak ada lagi yang bisa menahanya
untukku. Bahkan tuhan sudah menampiku. Sebentar lagi mereka akan datang dan
menuntunku ke lapangan tembak. Mataku akan dibalut kain hitam dan sesudah itu
hidupku akan menjadi hitam. Aku akan terkulai disitu berlumuran darah menjadi
onggokan daging bekas. Sementara dunia terus berjalan dan kehidupan melenggang
seperti tak kekurangan apa-apa tanpa aku. Sekarang kesempatanku yang terakhir
untuk menunjukan arti. Mengisi kembali puluhan tahun dibelakang yang sudah aku
lompati dengan terlalu cepat. Apa yang bisa dilakukan dalam waktu pendek tetapi
dahsyat?
MENGANGKAT
TOPI DAN MELEMPARKANNYA KE ATAS
Ketika
aku mulai melihat, yang pertama sekali aku lihat adalah kejahatan. Makku di hajar
habis oleh suaminya yang kesetanan. Ketika pertama kali mendengar, yang
kudengar adalah keserakahan. Para tetangga beramai-ramai memfitnah kami supaya
terkubur. Ketika pertama kali berbuat yang aku lakukan adalah dosa. Kudorong
anak itu ke tengah jalan dan sepedahnya aku larikan. Sejak itu mereka menamakan
aku bajingan. (DUDUK) mula-mula aku marah, karena nama itu diciptakan untuk
membuangku. Tetapi kemudian ketika aku terbiasa memakainya, banyak orang
mengaguminya. Mereka datang kepadaku hendak berguru. Aku dinobatkan jadi
pahlawan. Sementara aku teramat kesepian di tinggal oleh dunia yang tak mau
mengakuiku sebagai anaknya.
Hee
bandit kecil kau masih disitu? Kau mau mengucapkan selamat jalan kepadaku, atau
hanya mau merampok rasumku seperti biasa? Kau tahau apa artinya dibuang? Kau
bisa membayangkan bahwa sejumlah orang di sana merasa berhak menghapus seluruh
dunia ini dari mata seorang manusia. Tidak, kamu tidak tahu. Kamu hanya bisa
makan dan berak. Berfikir bukan tugas kamu.
MENANGKAP
Sekarang
kamu harus menjawab. Bagaimana rasanya terkurung disitu? Bagaimana rasanya
diputus dari segalanya? ketika ruangan kamu dibatasi dan tak ada yang lain lagi
disekitar kamu kecuali gelap, kamu akan mulai meronta. Kamu ingin di
perhitungkan! Kenapa Cuma orang lain yang dimanjakan! Dengar sobat kecil.
bagaimana kamu mampu meronta kalau kamu tahu akan sia-sia? Mereka dahului nasib
kita, mereka lampui rencana kita. Dia yang sekarang berdiri tuh jauh di sana
dengan kaki menjuntai sampai mengusap kepalamu karena kasihan, ya tapi Cuma
kasihan, tidak ada pembelaan, tidak ada tindakan apa-apa yang kongkrit. Mereka
sudah begitu berkuasa!
TIBA-TIBA BERTERIAK DAN
MELEPASKANNYA
Gila.
Kamu melawan? (KETAWA) Kamu menghasutku untuk melakukan melawan? (KETAWA) Tidak
bisa. Manusia bisa kamu lawan. Tapi dinding beku ini tidak. Mereka bukan
manusia. Mereka bukan manusia lagi. itu sistem yang tak mengenal rasa. Tak ada
gunanya kawan, tidak.
MEMBURU DAN MENGINJAK KECOA ITU
Kamu tidak berdaya. Kamu sudah habis
(TERTEGUN).
MENOLEH KE TOPINYA TIBA-TIBA
TERSENYUM RIANG
He,
kamu ada di situ Nengsih! Rupanya kamu yang dari tadi melotot disitu. Apa
kabar? Sedang apa kamu sekarang? Kenapa lipstik kamu belepotan? Ada hansip yang
memperkosa kamu? Jangan diam saja seperti orang bego sayang. Ke mari. Masih
ingat pada aku kan?
MENUNDUKAN KEPALANYA, KEDUA TANGAN
DI DEKAT TOPI ITU
Aku
bukan orang yang dulu lagi. kau pun tidak.ketiak kita sudah ubanan. Tetapi kita
pernah bersamasama membuat sejarah dan itu tidak bisa di hapuskan begitu saja.
sekeping dari diri kamu masih tetap dalam tubuhku dan bagian dari punya ku
masih tersimpan pada kamu. Kita bisa berbohong tapi itu tidak menolong.
MENYAMBAR TOPI
Mari
sayang. Temani aku hari ini menghitung dosa. Berapa kali kamu aku tonjok,
berapa kali aku elus, berapa kali aku sumpahi. Tetapi jangan lupa berapa kali
aku berikan bahagia. Waktu kusedot bibirmu sampai bengkak. Waktu kita berjoged
(BERJOGED) diatas rel kereta. Waktu ku bawa kamu naik ke puncak monas, waktu kita
nonton wayang dibawah jembatan. Tapi kenapa kemudian kamu lari dengan bajingan
itu. sundal !! lonte! (BERHENTI BERDANSA) Aku masih Ingat ketika menyambar
parang dan menguber kamu di atas jembatan. Lalu ku tubles lehermu yamg panjang
itu. tidak, aku tidak menyesal. Aku tahu janin dalam perutmu juga ikut mampus.
tapi itu lebih baik. Biar kamu hanya menjadi milikku. Kamu mengerti (MENANGIS)
kamu tak pernah mengerti. Kamu tak pernah mencintaiku. Bahkan kematian tak
menyebabkan kamu mengubah sifat bencimu. Kamu menang Nengsih. Kamu mati tapi
kamu menang. Sialan. Kok bisa.
MELIHAT MATAHARI NAIK KE ATAS
JENDELA
He
matahari kamu jangan ngece! Kamu jangan sombong. Kamu tak perlu tertawa melihat
bajingan menangis. Apa salahnya? Air mata bukan tanda kelemahan tapi kehalusan
jiwa. Kurang ajar kamu terkekeh-kekeh ya! Kau tidak bisa melewati kepalaku.
Bukan kau yang paling tinggi di sini. Aku tetap lebih tinggi dari kamu. Kamu
tidak bisa melampauiku hari ini.
MENGAMBIL KURSI DAN MELOMPAT KE ATAS
MEJA LALU NAIK KE ATAS KURSI
Naiklah
lebih tinggi lagi. aku akan membumbung dan tetap yang paling tinggi
selama-lamanya. Sampai aku sendiri turun dan menyerahkan tempat ini kepadamu.
Besok aku akan mengembara mencari duniaku yang hilang. Tanpa teman, tanpa
saudara, mencari sendirian sepanjang malam. Aku putari dunia, aku masuki
lautan, aku reguk segala kesulitan, tapi pasti tak akan aku temukan apa-apa.
(MEMIKUL KURSI) ke atas pundaku berjatuhan segala beban. Semua orang
melemparkan kutukan. Mereka bilang akulah biang keladi semuanya. Kalau ada anak
yang mati, akulah yang membunuhnya,. Kalau ada kebakaran, akulah pelakunya.
Kalau ada perkosaan, akulah jahanamnya. Kalau ada pemberontakan, akulah
biangnya. Tidak! Itu bohong! Harus dihentikan sekarang.
MELOMPAT TURUN DENGAN KURSI DI
PUNDAKNYA, BERJALAN
MENGELILINGI
RUANGAN
Di
dalam ruangan ini aku menjadi manusia. Di dalam ruang ini aku terlahir kembali.
Mataku terbuka dan melihat cinta di balik jendela. Melihat keindahan cahaya
matahari dan bulan yang romantis malam hari. Aku ingin kembali mengulang sekali
lagi apa yang sudah ku jalani. Tapi tuhan datang padaku tadi malam dan
berbisik. Jangan Alimin. Jangan melangkah surut. Tetap jadi contoh yang jelas,
supaya jangan kabur. Penjahat harus tetap jadi penjahat, supaya kejahatan jelas
tidak kabur dengan kebaikan. Dunia sedang galau batas-batas sudah tak jelas.
Tolonglah aku, katanya. Kini diperlukan seorang penegas. Dan aku terpilih. Aku
harus tetap disini menegakan kejahatan!
MELETAKAN KURSI
Aku
bukan lagi anak kamu ibu. Aku telah dipilih mewakili zaman. Menjadi contoh
bromocorah. Kau harus bersyukur ini kehormatan besar. Tak ada orang berani
menjadi penjahat, walaupun mereka melakukan kejahatan. Aku bukan penjahat
biasa. aku ini lambang. Kejahatan ini kulakukan demi menegakan harmoni. Jadi
sebenarnya aku bukan penjahat, tapi pahlawan yang pura-pura jahat. Aku tak
peduli disebut bromocorah karena aku sadar itu tidak benaraku lakukan semuanya
ini meskipun tidak masuk kedalam buku sejarah, karena tidak ada seorang penulis
sejarah yang gila melihat kebenaran ini.
Yang
mulia hakim yang saya hormati. Saya tidak akan membela apa yang sudah saya
lakukan. Saya justru ingin menjelaskannya. Bahwa memang benar saya yang
melakukansegalanya itu. hukumlah saya. Dua kali dari ancaman yang telah paduka
sediakan. Wanita itu saya cabik lehernya, karena saya rasa itu paling tepat
untuk dia. Kemudian harta bendanya saya rampas, karena kalau tidak dimanfaatkan
akan mubazir. Saya lakukan itu dalam keadaan yang tenang. Pikiran saya waras.
Tapi mengapa? Saya tak bisa menjawab, karena bukan itu persoalanya. Saya justru
ingin menanyakan kepada bapak dan kepada seluruh hadirin di sini. Mengapa
seorang wanita yang tercabik lehernya mendapat perhatian yang begitu besar,
sementara leher saya dan jutaan orang lain yang dicabik-cabik tak pernah
diperhatikan. Apa arti kematian seorang pelacur ini dibandingkan dengan
kematian kita semua beramai-ramai tanpa kita sadari? Di depan anda semua ini
saya menuntut. Berikanlah saya hukuma yang pantas. Tetapi jangan lupa berikan
juga hukuman kepada orang yang telah mencabik leher kami itu dengan setengah
pantas saja. karena saya cabik leher wanita itu harapan anda semua akan
teringat bahwa leher kamipun sudah dicabik-cabik dengan cara yang sama. Dan semoga
ingatan itu diikuti pula pada hukuman yang bersangkutan. Kalau sudah begitu
apapun yang dijatuhkan kepada saya, dua kali mati sekalipun akan saya jalani
dengan rela. Kalau tidak.
MELIHAT SESEORANG DATANG
O
Bapak. Mari masuk pak. Silahkan, rumah saya sedang berantakan. Ada apa pak.
Tumben. Kelihatanya terburu-buru. Ada yang tak beres. O … soal yang kemarin.
Sudah selesai. Sudah saya bereskan. Badannya saya potong tiga. Saya geletakan
dua potongf dekat tong sampah. Yang sepotong lagi saya sembunyikan di rawa.
Pasti akan ketemu, tapi biar ada kerepotan sedikit. Pokonya beres. Bapak bawa
untuk saya sisanya. Apa? Masak? Keliru? Tak mungkin. Tapi anak itu paki
anting-anting di sebelah kiri kan? Kanan? Apa bedanya. Kan Bapak bilang Cuma
pakai anting-anting, mungkin hari itu dia pakai di sebelah kiri supaya orang
keliru. Tapi saya tahu itu dia. Hanya dia yang pakai baju seperti itu dan
jalanya sedikit oleng sedikit. Belum sempat berpaling saya beri. Apa? Salah?
Gila! Jadi itu anak siapa? Gila, anak pemain Band itu. ya, ya saya kenal.
Bajingan. Dia kan orang baik.
(MELONCAT TURUN) Ya
tuhan, mengapa kamu tipu saya. Kenapa tak kamu bilang bukan itu orangnya. Keliru sih boleh saja. tapi jangan anak itu.
bapaknya baik sekali. Ibunya juga selalu memberi nasehat. (MELIHAT KEDEPAN DENGAN PUTUS ASA) Saya minta maaf. Bukan saya yang
melakukanya, tapi setan. Apa alasan saya mengganggu anaku itu, saya justru
banyak hutang budi. Dia sering membelikan rokok dan membelikan minuman. Dia
sering menegur saya di tempat orang banyak. Saya dikenalkanya kepada
kawan-kawanya sebagai orang baik-baik. Dia teman saya. Tidak, itu bukan
perbuatan saya, tapi orang lain yang memakai tubuh saya, swaya tak ikut
tanggung jawab. Apa? Ya saya tahu. Kesalahan tak mungkin diperbaiki dengan
kata-kata. Jadi saya harus menebus? Ya sudah, biar lunas. Kalau begitu potong
saja tangan saya ini.
MENYEMBUNYIKAN SATU TANGAN DI DALAM
BAJUNYA
KEMUDIAN BERJALAN MASUK KE BAWAH
MEJA
Aku
sudah potong masak belum lunas. Wajahnya selalu memburuku. Lalu buat apa aku potong
kalau masih dikuntit. Orang keliru namanya. Masak terus saja diburu.
(MENGANGKAT MEJA) masak aku yang harus memikul ini sendirian. Mana itu mereka
ayang menyuruh, ini kan semua gara-gara mereka. Mengapa sekarang Cuma aku yang
menanggung akibatnya. Tangkap dong mereka jangan aku saja. lama-lama begini aku
tidak kuat ini, yang ditangkap mesti yang dosanya sedikit. Betul. Aku kan punya
batas. Hentikan! (MENGELUARKAN TANGANNYA LAGI) ya sudah, kalau begitu
Tak jadi saja. (MENARUH LAGI MEJA KE
LANTAI) kalau kamu bisa curang, saya juga bisa!
Bertahun-tahun aku alihkan makna kemerdekaan kedalam jiwaku.
Pada hari ini aku bebas. Walaupun tubuhku masih dipatok di antara dinding
jahanam itu, tapi jiwa ku sudah merdeka. Tetapi mereka saat itu mereka memberi
ampunan. Aku diseret lagi keluar untuk berlomba meregut kebebasan jasmani. Aku
tak siap. Aku seperti burung yang terlalu lama didalam sangkar. Aku tak bisa
lagi terbang. Aku takut. Dunia ini tak kukenal lagi. pada kesempatan pertama
kugerogoti barang-barang di warung tetangga. Tetapi tak ada yang menangkapku.
Hansip
malah ikut berbagi dan menunjukan warung berikutnya. Dalam kesempatan lain,
kuangkat belati kleher seorang penumpang becak. Dari kantongnya keluar jutaan
rupiah, yang dibalut kertas koran. Aku kira polisi akan mengejarku. Tetapi
ternyata tidak ada yang tahu. Pada kesempatan ketiga ku perkosa seorang anak di
pinggir kali. Dia menjerit-jerit dalam tindihanku, tapi tak ada yang menolong,
hingga akhirnya kulepaskan karena lasmaniku tak sanggup memperkosa. Karena
putus asa aku gebok orang di jalan. Mukanya berdarah. Tapi tak seorang juga
yang menangkapku, aku malah diangkat jadi keamanan. Dan banyak orang berbaris
jadi pengikutku. Apa yang harus aku lakukan. Nilai-nilai sudah
jungkir-jungkiran. Aku tak paham lagi dunia ini. Aku jadi orang asing. Aku tak
bisa lagi menikmati kemerdekaan. Bisa-bisa aku edan. Masukan aku ke penjara
lagi, biar jiwaku bebas, di sana semuanya masih jelas mana hitam mana putih, di
dalam kehidupan sekarang yang ada hanya ada kebingungan.
IA MERAIH BOTOL MINUMAN DAN MENENGGAKNYA
Kalau
sudah menderita orang jadi penyair. kalau sudah kepepet orang mulai bernyanyi.
Dan kalau ada yang hendak dirampok orang berdoa. Sekarang aku menari, karena
sudah putus asa. (MENARI) badanku
ringan. Aku melambung keangkasa. Dan tuhan menyapaku dengan ramah. Bung Alimin hendak kemana kamu? Aku mau keatas lebih
tinggi. Tapi kamu tidak boleh lebih tinggi dari syurga. Siapa bilang tidak,
kalau aku mau aku bisa. Dan aku melenting lagi, tapi terlalu tinggi, terlalu
jauh (BERHENTI MENARI DAN TEGAK SEPERTI
BIASA, LALU MELONCAT LAGI KEATAS MEJA)
Aku
terlontar jauh sekali, tinggi sekali melewati syurga ke dekat matahari. Tubuhku
terbakar. Aku hangus dan hilang dalam semesta. Aku tidak ada lagi aku bersatu
dengan semesta. Aku menjadi tuhan.
IA DUDUK DI BIBIR MEJA LALU MEROSOT, TERDUDUK SAMBIL MEMEGANG BIBIR MEJA MENGIKUTI BADANYA. LALU IA MEMBUNGKUK DAN MENGANGKAT MEJA ITU KE ATAS PUNGGUNGNYA. IA ADA DI BAWAH MEJA.
Atau
mungkin hanya hantu. enak juga jadi hantu. Tidak kelihatan, tapi bisa melihat.
Aku bisa masuk ke kamar mandi mengintip perempuan-perempuan jadi cabul kalau
sendirian. Aku masuk kedalam kamar tidur para pemimpin dan melihat ia menjilati
kaki istrinya seperti anjing. Aku masuk kedalam rumahrumah ibandah dan melihat
beberapa pendeta/pemangku umat main judi sambil menarik kain para pembantu. Tak
ada orang yang bersih lagi. semewntara dogma-dogma makin keras ditiup dan
aturan banyak dijejerkan untuk membatasi tingkah laku manusia, peradaban makin kotor.
Ah, apa ini? Menjadi hantu hanya melihat keberengsekan! Nggak enak ah!
(BERDIRI) tak
enak jadi hantu. Tidak enak jadi tuhan. Lebih baik jadi batu. Diam, dingin dan keras. Tidak membutuhkan makan,
perasaan dan bebas dari kematian. Aku mengkristal disini menjadi saksi bisu
bagaimana dunia menjadi tua. Pemimpin-pemimpin lahir, lalu berhianat.
Peperangan hanya permainan beberapa orang. Manusia menyusahkan dirinya dengan
peradaban, teknologi menjadi buas. Tak satu pun bersangkutan dengan
kehadiranku. Tetapi tiba-tiba kulihat seorang anak kecil dikejar raksasa. Wajah
anak itu mirip dengan wajahku waktu masih menyusu. Ia meronta-ronta minta
pertolongan. Tapi tak ada orang lain kecuali aku, sebuah batu. Anak itu
menjerit-jerit pilu. Tolooongggg! Aku jadi terharu. Akhirnya aku tak bisa diam.
Aku meloncat dan menghantam raksasa itu, mengingkari diriku. Raksasa itu mati.
Tapi anak itu juga lari. Di mana-mana kemudian ia bercerita, bagaiman membunuh raksasa
dengan tinjunya. Dan itulah aku. Kejahatanku yang terbesar adalah jatuh cinta
pada diriku sendiri.
TERDENGAR BUNYI LONCENG SATU KALI
Selamat
tinggal dinding bisu dengan semua suara yang kau simpan. Selamat tinggal
jendela yang selalu memberiku matahari dan bulan. Selamat tinggal sobat kecil,
yang selalu mencuri rasumku. Selamat tinggal sipir penjara yang marahnya tak
habis-habis pada dunia. Dan (KERAS) selamat tinggal Karpo pembunuh
yang tak akan keluar hidup dari penjara ini. Selamat tinggal segala yang kubenci dan kucintai. Inilah salam
dari Alimin sahabat semua orang, yang sekarang harus pergi. Ingin kuulang
semuanya, walaupun hanya sebentar. Tapi tak bisa. Janjiku sudah lunas. Sekarang
aku berjalan dalam kebisuan yang abadi, untuk membeku bersama masa lalu.
(IA PERLAHAN-LAHAN MELAYANG KEATAS) Sekarang baru jelas, apa yang sudah aku lakukan, apa yang masih belum aku lakukan. Tetapi semuanya
sudah selesai. Dalam segala kekurangannya ini adalah karya yang sempurna. Aku
mengagumi keindahanya. Aku merasakan kehadiranya. Aku memasuki tubuhnya
sekarang. Selamat tinggal semuanya.
TERDENGAR BUNYI TEMBAKAN. IA
TERSENTAK LALU NAMPAK KAKU, BEBERAPA SAAT KEMUDIAN IA MELOMPAT
Terima
kasih atas perhatia saudar-saudar. Bertahun-tahun orang ini dihukum sampai ian
tua dalam penjara. Mula-mula ia masih punya harapan akan ada pangadilan
berikutnya. Tetapi ternyata putusan itu sudah final. Kemudian ia mengharapkan
akan ada pengampunan. Tetapi itu juga sia-sia, karena banyak kasus lain yang
mengubur nasibnya. Saudara-saudara kita memang terlalu cepat lupa. Akhirnya ia
mencoba menunggu. Hampir saat ia di bebaskan, tiba-tiba seorang wartawan
membuka kembali kasus itu. bukti-bukti baru muncul. Dengan tak terduga, ia
muncul sebagai orang yang tak bersalah. Tetapi sebelum pintu penjara dibuka
kembali untuk memberinya kebebasan, orang yang itu mati menggangtung diri.
Bukan karena putus asa. Tetapi sebagai protesnya mengapa keadilan memakai jam
karet.
DUDUK DI KURSI DAN MENJADI TUA
Omong
kosong! Orang itu menggantung diri karena setelah lima puluh tahun dalam
penjara, baru ia sadari segala tindakannya itu keliru. Bahkan ia yakin hukuman
mati belum setimpal dengan dosadosanya. Lalu ia menghukum dirinya sendiri.
Memang ada kasusu kesalahan menghukum, tetapi itu kasus lain, jangan digado,
ini bukan nasi campur!
Harus dicampur supaya jelas kesalahanya!
Itu memutar balik soal!
Apa boleh buat tidak ada jalan lain!
Kamu subversiv!
Kejujuran kamu disalahgunakan!
Tolong!
Biar nyahok!.
Tolongggggg!
Mulut
yang sudah kacau, pikiran yang sudah terlalu lentur, penghianatan yang sudah
menjadi pandangan hidup harus diberantas! Sekarang juga!
Tolongggggg!!
IA MENCEKIK LEHERNYA SENDIRI LALU MENDORONG SAMPAI NYEROSOT
DARI KURSI LALU BERBARING DENGAN KAKINYA DI ATAS KURSI.
TERDENGAR SUARA GEDORAN BERTUBI-TUBI Tolonggggggggg! (JATUH).
SELESAI
2. ALIBI
Karya : S. JAI
S. Jai
Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan
antara kepentingan pribadi dan masyarakat. Sulitnya perjuangan membebaskan
pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil
korupsi.
MALAM
HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU BESAR
MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA SAJA. DI
ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH DARI LANGIT.
MENGGENGGAM
SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN KURSI MALAS. SEPASANG SEPATU. BEBERAPA
BAJU TERGANTUNG DI
KAPSTOK
DEKAT PINTU. BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.
BAGIAN
PERTAMA
LAMPU FADE IN PANGGUNG KANAN. SUASANA TEGANG MENCEKAM.
SESEORANG
MEMAINKAN SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA
SAMUDERA.
SULUK AMUK. SENANDUNG MERONTA.
SESEORANG:
(SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi
sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan.
Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi
sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena kusengaja, tapi ia
menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa permisi.
SESEORANG:
Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu
kuat-kuat.
SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk?
SESEORANG: Terserah. Masuk lalu
keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.
SESEORANG: Atau keluar dulu baru
masuk.
SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang
yang kemarin kita gali.
SESEORANG: Ya, begitu. Jangan
berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.
SESEORANG:
(SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor justru ia
sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah bernada
mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri
hadir persis di depanku.
BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR
MENGANGKAT TUBUHNYA
SESEORANG:
Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya
mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam
nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini.
Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu
betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit
ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku.
Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi.
Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada
kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di
alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang
yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.
SADAR DARI AMUK. MELOMPAT.
MEMBERSIHKAN TUBUHNYA. SESEORANG:
Begitulah
perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab.
Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali
sulit kumengerti ini. Hidup yang makin kupikirkan, makin kebingungan pula aku
menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku
dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa
ya?
MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI.
MEMERIKSA PINTU.
SESEORANG:
Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di luar sana
saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba cek di luar
sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak
betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya berbincang-bincang
denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya
bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk
melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu
sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini.
Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena
inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur karena
ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal sehingga jika pada suatu ketika
ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak
begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi aku rasa cukup aman untuk sementara aku
sembunyi dari orangorang jahat itu. Tapi masalahnya zaman sekarang banyak
buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan buldozer itu begitu kuat dengan tangan
dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani.
MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU
SESEORANG:
Untunglah
pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang meraung-raung. Jadi benarbenar
untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan seperti itu. Ya, kadang-kadang
ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan bila malam tiba. Ia mengamuk.
Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban
sial saja yang keesokan harinya, lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu
beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malumalu
kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di
tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer
itu.
TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN.
SESEORANG:
Apa?
Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi
orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya
dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat dengan suatu
kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi daripada
kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi
keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat
manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia tengah
menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang bisa
anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng.
Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat
sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu sulit kita
usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya
kotbah moral untuk anakanak bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih.
Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si
hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah. Anak-anak tidak tahu bahwa
dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring oleng,
berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Dan kita tak
bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang
salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak. Ada yang keliru dengan cara
kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak
dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang berdiri gagah di depan ini.
Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan tanyakan darimana asal muasalku,
berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak
penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama?
Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: nyali, keberanian.
KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI
LAYAR SESEORANG:
Keberanian
itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari
kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu, siapa
tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku kecurigaan
harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun. Tak peduli
tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka
mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu
pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka
begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira, pesanku
seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru menyadari beberapa
jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini aku biarkan tamuku
menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa
padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya.
Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang
baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku
menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa
untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara
penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam
keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh
kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan
apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi
bukan.
SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS.
KEPADA DIRINYA SENDIRI.
SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku
ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku
datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini
kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak
ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan
pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain
dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil
seperti itu? Pertanyaan itupun tak pernah kutemukan
jawabnya,
di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin
seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh,
bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada
kemajuan.
Aku
juga tidak jadi lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari
sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi,
Aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa
aku ini? Seperti ini, yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa
yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga
datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri?
Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan?
KEPADA PENONTON
SESEORANG:
Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku
jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini.
Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan menunggu di
luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain
adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku.
Silakansilakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang
juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk
masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena
yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai.
Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak
ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis
dengan kenyataannya.
DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU
BERTUBI-TUBI
SESEORANG:
Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar sedikit do ミg.
“ssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk
berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk
tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benarbenar mewujudkan niatnya:
Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu
sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya.
Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku.
Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri
dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk
aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan.
Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah
mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah,
di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya
perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba
bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya
perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi
apaapa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku
bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh,
lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok,
memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada
pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV
menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia
itu makan-makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu
muncul, aku ingin memulai
mengunyah
dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira dari bibir atau
daging lain yang bisa disedot lebih dulu aiヴミya. “ヴuputttt…..
MENOLEH KE LUKISAN BESAR SEBENTUK LAYAR. PANGGUNG MULAI MENYATU
SESEORANG:
Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah,
mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani berkata jujur
pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan
katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku
sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang
bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani
berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang
membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga.
Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya
anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan
keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena
ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat
kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau
sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku,
itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing
dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu
saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan
anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini
anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah
ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak
kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur?
Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak
dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar
makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya
sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh
cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.
PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS
MIMPI - KENYATAAN
SESEORANG:
Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak
tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau bukan aku yang
bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan
keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain
lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah
besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan
senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan
tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak
terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau
suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah
lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini
sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah
tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang
aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah
berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan
maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia
setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah
memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa,
masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga
tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak
masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat
masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari
pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru.
Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan
satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan. Bukan maksudku
menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu memvonis aku
orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku.
Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan
itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual
gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan
satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorangpun
lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi
boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku
melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual,
seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu, dimakanlah uang
itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah
gagasangagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas
anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak
hanya mempertimbangkan perut besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus
diperjuangkan untuk atas nama manusia.
TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH
BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS. DITANGKAP.
DIMAINKANNYA DARI SISI PANGGUNG SATU KE SISI PANGGUNG LAIN.
SESEORANG:
Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham
betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku jadi bisa
berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku
berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun
benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk
diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah
pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk
yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah
pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu
pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah
pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang
mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata
kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya,
meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku,
seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di
tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat
kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata
para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan
pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini.
Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya.
SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN
MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA
SESEORANG:
Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan
bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata tapi tidak
ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara tentang
dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong
saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan
terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa.
Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya.
Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas
itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya, bersenjata? Masak yang
begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang
amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat
manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa
paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah
kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat
korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih
berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat
itu sudah kusiapkan sejak semula.
MELEMPAR BOLA
TINGGI-TINGGI. LALU SIBUK
MENCARI KERTAS-KERTAS.
MEMBACA.
SESEORANG:
Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini. Dusun
Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian
mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia.
Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah digali
itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu terjadi
menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang
digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana
bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh
tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk
kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus Susianto
Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada orang lain
yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu semula
diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan
dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada
kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera
saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di
Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang
melakukan pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang
dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai
mencari Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan
ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulangbelulang yang baru ditemukan
itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras,
akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu
diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut
menyebut pelaku lain bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus,
Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri
mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam
keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya.
Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya
ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat.
GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.
SESEORANG:
Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan
hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah dijuluki
orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa
menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat
itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat
melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk
membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya
mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak
berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa
yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada
seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap
orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk
melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk
menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului
daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah
pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk
membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut
perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa,
tanpa sempat berpikir, tibatiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau
balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau
sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua
orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang.
Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan
satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup
pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui
dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit
demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?
MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK
SESEORANG:
Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian
tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis.
Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja
antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut
kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini
hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika
itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang
berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang
terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi
milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku
lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki
dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau
aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam
pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak
sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah demikian
kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia
tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa
yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di
kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku.
Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku
taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang
pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di
kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa
mengguncangkan jagad. Yang benar saja!
MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU PENA DITANCAPKAN
DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA
SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih
tajam dari sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat
dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana,
pelaparaan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku
hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya
hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa
yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja,
jantungku berdegub kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu.
Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu
hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahuntahun
untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku
tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh
aku tak bisa. Mulamula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat.
Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi
pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia
pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu
menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai
ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi
semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia.
Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku
tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?
TERTAWA NGAKAK
SESEORANG:
Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk
di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya
sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih
kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku
yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja
menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan
kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku
sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi.
TERCENUNG
SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu
menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu?
Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun
begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang
tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu
yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan
sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa
bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku
demikian, betapa dunia ini sungguh kejaammm.
TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI
SESEORANG:
Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan
keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga,
negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor
hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai
fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat
mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas
jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30
tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias
menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu
tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam
sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja
daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi
orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi
atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah
rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan
anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya
untukku.
Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor
kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun
berkata ‘He asu! Minggir
“ Aku
katakan binatang itu bukan asu tapi kambing. Baru kemudian dia mengulnag
perkataanya “He kambing, Minggat” Anehnya suatu hari tanpa perasaan apa-apa
becak yang
saat
itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak
menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja “He, asu !!!!!!!!!
TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS
MENANGIS.
SESEORANG:
Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan
keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku,
dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi. Sekaligus aku
akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok
makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik.
Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk menghasut melakukan
perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda
dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri.
Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya terhadap
anda sendiri.
LAMPU BLACK OUT
BAGIAN KEDUA
MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN.
LAMPU FADE IN. NYANYIAN
FADE OUT. PANGGUNG SISI KANAN
SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK
PISANG. MEMELUKNYA. MENGENDARAINYA. MENGAJAKNYA BICARA.
BERGANTIAN.
SESEORANG:
(SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan siapapun
akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini
bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan.
SESEORANG:
(SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta
senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya. Bagaimana di
sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta? SESEORANG: (SULUK)
Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi
babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena
orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta.
MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN
SESEORANG:
Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, manusia
tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan. Paranormal yang
menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh
kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa manusia. Tapi aku menyaksikan
dengan mata kepala sendiri , bagaimana pembunuhan, saling bunuh itu terjadi
jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di
luar kuasa manusia. Aku menarik nafas panjang dan dalam, sedalam kuburanku
sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuh aku. Betapa justru manusia
sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan? Mana yang benar?
SESEORANG:
Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal
membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain,
nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.
SESEORANG: Apa pendapatmu tentang
bunuh diri?
SESEORANG:
Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini, sepanjang
belum menemui jalan baru.
SESEORANG: Begitu?
SESEORANG:
Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi
pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.
SESEORANG:
Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan,
persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita jangan lagi bicara
kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.
SESEORANG:
Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh, samasama
mati. Biarpun sama-sama menuju mati.
SESEORANG: Kamu belum jawab
pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?
MEMBUNGKUK
KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.
SESEORANG:
Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya menggelisahkan
apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan semuanya, juga
pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang kehidupan yang hanya
itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung merosot karena kamu
kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai cara—ini tanda-tanda
kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu atau tidak. Bagiku
keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup. Kamu telah secara
kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu
ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi pembunuh dan
dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk meyakininya. Lalu
bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh diantara
orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan
pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu
kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang telah
terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih dari
yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.
TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN
TERJENGKANG.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG:
Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut
pembunuh atau dibunuh.
SESEORANG: Kamu seperti orang gila
dan pikiranmu sesat.
SESEORANG: Tidak aku hanya bicara
dengan penuh kelembutan.
SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi
aku?
SESEORANG: Lebih beruntung karena
aku tidak membunuhmu.
SESEORANG:
Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang
yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh
diri.
SESEORANG: Itu bagianmu untuk
menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.
SESEORANG:
Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu lantas menikmati
jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang kemudian kunjung
sanggup membunuhnya?
SESEORANG:
Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya
hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup waras.
SESEORANG: Lalu?
SESEORANG:
Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh
diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.
SESEORANG: Lalu dimana kamu berada
SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih
kamu ini?
MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN
DIRI DARI SEGALA BEBAN.
SESEORANG:
(SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak
bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih menakutkan
dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp konsentrasi Jerman.
MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG
BERNOSTALGIA
SESEORANG:
Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah mengalami
kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan gamblang
di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku
karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba.
Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang mimpi
itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih
berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku.
Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau
lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku
juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku
sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai
anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi
itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu.
Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku
dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari
mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di
dalamnya.
Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu
satu-satunya yang mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok
gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan
sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi
igauan, erangan tidak sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan
memang punya jantung dan hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran
atau tidak. Punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam
sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut
kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada
pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit,
sepuluh menit, satu jam sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur
tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan
tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah
nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh
nyaman. Tak ada teror urusan hidup mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian
masa lalu dan hari depan. Tidak ada. Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di
situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang
disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman,
tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali
begini
pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya
persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya
sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV.
Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak awal dan
jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir
tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu
untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya
perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia juga punya rasa
bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi
ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak
mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak
benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur
dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun?
Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan,
tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika
orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah
ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian.
Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi
hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos.
Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh
ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat
dan alamat.
Lantas
apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda lantaran
terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian hidupku adalah
pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu? Bedanya aku hanya
diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak memperkenalkan kehidupan. Tuhan
yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di
mataku ia selalu datang pada malam hari. Barangkali karena aku lahir pada waktu
malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam
rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan
meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan
dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris
dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai
dan rekreasi
orang
mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati
berseragam putih dengan berkalung stateskop di lehernya, sembari mengucapkan
“maafka saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin” kepada orangtua mengakhiri
hidupnya di rumah sakit. Ya,
meskipun
yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak untuk tahu bahwa
koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.
SESUATU
TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI
SESEORANG:
Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang tidak
fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada
boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai sekarang, biarpun
gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan
kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah Anda siapa
salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku
juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan
secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang paling
ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus
sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada sesi berikutnya.
MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN
SESEORANG:
Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku benar-benar
sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa
yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang
Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan
ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan
pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan
pembelaanku.
MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.
SESEORANG:
Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan
maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula
adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya
menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi
budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal
dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami
saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian
hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup
sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas
lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok
yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya
maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu,
apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya
sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada
seperti ini
BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA
PENUH BEKAS LUKA
SESEORANG:
Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak
cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya
harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak
cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya
perlihatkan pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah,
masak jeruk minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta
menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa
kerjakan sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak
tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci.
Jadi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau
tersangka demi proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah
korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan
saksi kunci, si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang?
Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.
MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE
RUANGAN SEBELAH.
SESEORANG:
Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita
siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu
tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan
ngintip, ah.
BERGEGAS MENDEKATI PINTU. MENYAMBAR BAJU DAN
SEPATU.
MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT. LALU
BERSIAP PERGI.
SESEORANG:
Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu bagaimana
cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali
tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah.
Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain,
tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada
kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya
dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak
saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma
Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan
anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi
keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah,
saya harus hentikan sementara ocehan saya.
LAMPU BLACK
OUT. BAGIAN KETIGA LAMPU
FADE IN. DI PANGGUNG
SISI KANAN BERDIRISESEORANG MENGENAKAN SERAGAM KANTOR. LENGKAP DENGAN
SEPATU DAN DASI.
SESEORANG:
Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya, kadang-kadang orang
memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu.
Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti
itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya
menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di
dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu
persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis
mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun
yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga dengan saya. Saya
datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya
sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa
diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target
pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul
percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di
sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang
akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun pembuktian saya,
oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan
santai, jangan tegang-tegang. Agar anakistri anda juga tenang di rumah. Kalau
anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.
SESEORANG:
Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu
saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah perintahnya dan
saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah
perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu memohon restu
kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas merasa
beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki
keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan
apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari kepala desa
sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari
penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai
berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa
memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak
haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya,
bagaimana bila ibu saya tiada.
SESEORANG:
Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan ternyata
keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang mengatakan
saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas,
biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini
menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan.
Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan kebenaran
itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langka, tapi
jadi tidak aneh setidaktidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh
untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya
memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang
meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu
malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya, anaknya yang baru
saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini, yakni berpikir
untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar menjadi anak
ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma kata-kata,
buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki
apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari ilmu saya
itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar
kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau
menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga
saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu. Sungguh malu pada ibu.
Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir
di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu tapi bangga. Hanya orang
gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang. Membayangkan
bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan
bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih
seperti gadis jawa.
SESEORANG:
Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan malu dengan bangga
. Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan
saya yang sungguh bangga dengan kemaluannya”. Mereka-mereka seperti inilah yang
menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila
wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya, tapi itu dulu.
Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.
SENTIMENTIL
SESEORANG:
Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya seorang
gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan keberadaan
istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya bawakan itu
perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak
Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan
saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didi Kempot,
kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi Kempot itu, (menyanyi). Sri
kapan kowe Hali. Longamu ora [amit aku. Jarene menyang pasar pamit tuku trasi
tapi kowe lungo ora Bali …Ndang Balio…… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan
saya itu menyanyi lagu lain … ndang mlumaho Sri, ndang mlumaho.
SESEORANG:
Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan bersedia membaui
mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa
Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu
maafkan
saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai dan
jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya menghadirkan atasan saya.
Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang
melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap
negara apalagi terhadap keluarga saya. Karena itu saya kira hukuman apa pun
yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling
pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.
MELEPAS SEPATU. JADI BOTOL MINUMAN KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.
SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini
yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide
cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa
puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan
jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita
menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk
membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara
kandung kebaikan. Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan
bisa saling menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu,
dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk
memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban
untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan
istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk
bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan,
Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk
menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin
yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin
yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa
saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan
itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian
semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga
dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah
gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab
suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi
kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu.
Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat
manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan
banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan
umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat
berbangsabangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen
SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi
pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pimimpin.
Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu
masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa
dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh
masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika
diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan
kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal
sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!
SESEORANG:
Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang ia raih
kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti
keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu
yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu
hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan
menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya
cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin
di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang terjadi kurang
lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakan
kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “Tindakan yang
merugikan keuangan negara”, padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan
negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut
untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara
harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan
subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka itu masih muda tapi
sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anakanak muda itu
sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti
mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup
mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi
pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini bisa
lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di
sekolahsekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi di
sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga
lho, Yang Mulia.
SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI
SEPASANG SEPATUNYA
SESEORANG:
Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung.
Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu lawan satu
itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih beradab.
Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam ini.
Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin
di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai,
misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di
situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan
ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang segenerasi saya dan Yang Mulia
Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak
muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah. Biar tahu bagaimana
jurus-jurus di dunia kangow.
MELEMPAR SEPATU KE ATAS.
SESEORANG:
Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya
lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan
justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya
lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan
tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah.
Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali anda mengira
saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding
bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan
tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa terjaga.
Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan
tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat.
Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol
dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya
manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu di mana
arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan
kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh
dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk
menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak
membenci makluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya
kecuali bagi mereka yang teraniaya. Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena
kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya
kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah
berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini
seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya
lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa
salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok
saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi
bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu
tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti
tidak melakukan apa-apa. Karena terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti
tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya ruarrr biasaa!!!!
MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN
MENARI
SESEORANG:
Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat
bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira gambarannnya.
Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang
tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang
gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim.
Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak
perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena
kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya
saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang
saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda
lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih
dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana
bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot.
Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya
main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.
BERHENTI MENARI
SESEORANG:
Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau
sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang
punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian juga
harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti
sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi
penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura
jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki berlagak
perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan
koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih
jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi
rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi
kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil
saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau eマpat
kali He gitu. suatu saat pasti tersesat. “aya Hisa saja マeマilih
jadi daげi atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan. Karena saya
percaya masing-masing punya azas kebebasan, kesamaan hak dan persaudaraan.
Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan
bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan
malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan.
Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari
mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak
bias menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara
moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik
bukan?
SESEORANG:
Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa mengatakan
mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah sebaliknya,
mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di
pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi,
sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk
sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya
sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni
karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang.
Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada
saya. Memang itu ia lakukan secara
diam-diam.
Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila
seorang doktor belajar pada penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini,
saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu
tak keberatan mengkritik. Saya iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak
jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu
sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah
korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum.
SESEORANG:
Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang
koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor itu.
Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau
pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa.
Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya
telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun.
Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya.
Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam,
amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan
baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan
parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup
berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen
kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa
kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan
dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan
nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena
anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi
anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ
sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya.
Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau,
kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan
hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal
orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda,
sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh
yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha
untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri
sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang
saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali
baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan
internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing,
hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang,
itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi
kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin
saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri.
Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas
praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu,
akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga
uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus
kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu
mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari
penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal
keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang
utama.
MUSIK PARODI MENGIRINGI.
SESEORANG:
Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada
saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan
bahwa mengkritik itu susah.
BERLAGAK SOPAN
SESEORANG:
He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan biq. Tentu Pak
Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan.
Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok. Saya masih
Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud
menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja.
Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu
bagaiamana nikmatnya bermain chating. He...he…he.. sambil saya belajar adakah
itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi
serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya
kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan
saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah
biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh
saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu
saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta
urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu.
Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk
menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu,
meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan.
Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak
pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya
tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para
pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan
setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya
merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai. Karena saya hanya bicara
tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi
salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah
diberikan kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Apakah kehidupan
surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini?
Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu
hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau
demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi
Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal. Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras
mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah
bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak
Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali
menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda
sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda
bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda
bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang apalagi menjelang
pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas
buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga
kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu
terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa
dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.
TABLAU BEBERAPA SAAT
SESEORANG:
Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi
niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang
jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya
bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tak
perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju seperti ini
(mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos rokok!
Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor simpanse
cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh
gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk malam ini ia
rupanya perlu membaca naskah karena lupa.
SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN
MEMBACA NASKAH
SESEORANG:
Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin
hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya
kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan
hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan
kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak
keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah
hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk
menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di
luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata
maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia. Saya sudah tahu
gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan? Ilmuwan?
Menteri? Bahkan Presiden?
SESEORANG:
Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih
mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka.
SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya
sebut? Siapa? Tentara?
SESEORANG:
Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu
saya kunci dengan paku sebesar ini.
SESEORANG:
Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap
kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.
SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa!
Tidak bisa. Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil
penelitiannya kepada asing dan kita tetap saja miskin.
SESEORANG:
Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku
sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna.
SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi?
Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing.
SESEORANG:
Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap
bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi
kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi
di lubang tanah.
SESEORANG: Wow cantiknya dia!
Pitzaaaaa!!!!
MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU SEBENTUK BABI-BABIAN. HINGGA
SESUATU MENGHENTIKANNYA.
SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu!
Oh, tunggu sebentar ibu!
SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG
KACAU
SESEORANG:
Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau
mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau
mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah
tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang,
tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah
sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena
bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia
akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun yang tersisa. Ya,
tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, Sadumuk Bathuk
Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu,
tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan
semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang
ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur
atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong.
Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai
ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan
menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga borok dan
kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus
yatim piatu.
KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU
BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK
MEMBAHANA. LAYAR DITARIK KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR
RUNTUH MENUTUP SEKUJUR TUBUH. MENGGELIATGELIAT. BERTERIAK-TERIAK.
Tolong!
Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut kehabisan darah.
Aku bisa mati percuma.
LAMPU BLACK OUT SELESAI
S. JAI
pengarang kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1972. Menyelesaikan studi sastra di
Universitas Airlangga, tahun 1998. Beberapa cerpennya masuk antologi Kami di
Depan Republik dan Istighotsah Tanah Garam. Keduanya diterbitkan Kelompok Seni
Rupa Bermain (KSRB). Novelnya Tanah Api pada bulan Mei 2004 telah diterbitkan
penerbit LKiS, Yogyakarta. Kini tinggal di dekat pegunungan Kapur Lamongan
Selatan. NB: Naskah ini pernah dipentaskan di Unair dan Untag Surabaya dan
dimainkan oleh F Aziz Manna bersama grup Teater Keluarga Surabaya.
SELESAI
3. ANAK KABUT
Karya : Soni Farid Maulana
(cahaya
biru berlapis kehijauan jatuh di atas permukaan kayu, semacam meja tulis, atau
meja apapun. Di balik cahaya tersebut, tampak seorang perempuan tengah duduk
termenung. Sesekali tarikan nafasnya yang berait itu terdengar. Wajah perempuan
yang berada di balik cahaya itu seperti bayang-bayang. Saat itu malam begitu
larut. Cahaya tersebut masih seperti itu ketika perempuan tersebut tengah
berkata-kata).
Tatolah
aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga
mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu
atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk
nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap
rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa
saja. Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju.
Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber
keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda, postmodern di akhir abad 20. ya,
memang, sejak 12000 tahun sebelum masehi orang sudah mengenal tato. Tapi adakah
mereka seberani aku? Kasihku, jangan ragu, tatolah aku, aku tak mau kalah
dengan ratu Alexandra yang hidup di abad 19 di Rusia.
Apa?
Pencemaran darah, hepatitis B? Jangan takuti aku dengan hal demikian. Kasihku
jangan ragu, tatolah tubuhku dengan segenap cintamu. Buatlah aku bahagia
karenanya jangan pedulikan apa kata orang. Sungguh jiwa kita yang lapar dan
liar ini perlu semacam perlambang, semacam pegangan nilai-nilai; setelah
keasingan demi keasingan melontarkan kita pada sehampar dunia tak dikenal. Ya,
betapa banyak tanda dan ayat dihadapanku, tapi
aku salah menangkap makna*.
Selalu kegelapan bersambung kegelapan yang kujelang; setelah kehidupan malam setelah nilai demi
nilai berubah makna lebih cepat dari putaran jarum jam. Tatolah tubuhku, jangan
ragu dengan gambar yang permanent dengan model yang mutakhir. Aku tidak suka
dengan tato temporer yang akan lenyap dalam waktu dekat, di masa tua nanti
tidak punya kenangan yang bisa aku banggakan pada anak-cucuku. Sekali lagi aku
minta padamu tatolah kedua belah payudaraku dengan gambar naga, naga cintamu
yang jantan itu, yang menggairahkan itu dari malam ke malam membunuh kesepian
yang menghadang di depan. Jangan ragu tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan
jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih.
Hahahaha (perempuan
itu tertawa. Cahay sedikit demi
sedikit benderang dengan
warna netral). Ini pasti bukan sajak Saini KM. Saya berani
bertaruhbahwa Saini KM tak akan berani menulis larik-larik puisi yang liar
seperti ini:’tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum yang tajam dan
runcing bertinta putih’. Sialan, semakin dihayati, puisi ini semakin
menggelorakan gairah terpendam. Gairah yang bertahun-tahun sudah lenyap dari
dadaku. Ya, bertahun-tahun sudah aku jadi tawanan kehidupan yang tidak jelas
bentuk dan rupanya. Sungguh, bertahun-tahun sudah yang aku hadapi adalah anyir
darah. Ya, amis darah yang melayah di gigir hari, yang menetes dari tubuh-tubuh
tak dikenal.
Masih
jelas dalam ingatanku, akan jerit tangis yang tertahan itu, aku dan kaumku saat
itu tak lebih dari hewan qurban, yang dengan liar dan ganas dimangsa
orang-orang berhati serigala. Ya, masih segar dalam ingatanku bagaimana aku
dimangsa orang-orang berhati Nero di tengah- tengah kobaran api yang melahap
bangunan demi bangunan bertingkat, sementara di jauhnya orang-orang lapar
berteriak dengan suara-suara yang aneh sambil menggasak berbagai benda apa saja
yang ada di hadapan dirinya.
Dan kini apa artinya reformasi? Apa artinya menangisi nasib
hitam yang telah meruntuhkan jiwaku ke dalam kelam?
Apakah
hukum telah berpihak pada orang-orang seperti diriku atau malah dibuang ke
dalam tong sampah untuk kemudian dilenyapkan dengan guyuran bensin dan kobaran
api, apa jadinya?
Mengapa
penderitaan yang demikian hitam menimpa diriku dan teman-temanku hanya dianggap
isapan jempol belaka? Orang bilang komnas HAM akan memperjuangkan nasibku
hingga mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang aku derita. Tetapi
kenyataannya semua itu hanya ramai diperbincangkan di koran-koran, sementara
barisan pemerkosa yang bermuka garang itu tak pernah bisa ditemukan batang
hidungnya. Demikian pula dengan para penembak gelap yang membunuh mahasiswa
juga kekasihku tak pernah pula bisa ditangkap dan bahkan diseret ke muka
pengadilan.
Adakah
yang terjadi di bula Mei itu akan juga dianggap sebagai fiksi semacam lakon
drama yang dibikin haru dan sedih?
Tidak.
Semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuhapus begitu juga dalam ingatanku
dan juga ingatanmu yang memperkosa diriku dengan muka yang menyebalkan. Sekali
lagi pembunuhan yang terjadi di bulan Mei tidak bisa pula kau hapus dari
ingatanmu meski saat ini kau tenang-tenang saja duduk sambil menghisap rokok
kesukaanmu di tempat yang jauh. Yang jauh.
Aku
yakin kau dan aku sama menderitanya kecuali dirimu telah menjelma iblis yang
merajai kegelapan. Dengar, dengan segenap penderitaanku aku kutuk kau hingga
hari perhitungan kelak yang tiada seorang pun bisa mengelak dari kepastian
hukumNya.
Ya Tuhan yang maha pengasih aku
serahkan padaMu. Semata padaMu.
Hening. Sesekali terdengar tiang listrik dipukul orang.
Sayup-sayup terdengar suara hujan yang demikian keras.
Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, seperti menuju sebuah jendela
terbuka. Lalu balik lagi ke arah semacam meja tulis bagian depannya. Suara
nafasnya yang berat terdengar.
Kini
setiap malam tiba selalu aku rindukan kekasihku hadir disisiku tidak sekedar
membelai rambutku, tetapi juga memelukku. Tapi dimana kekasihku berada? Orang-orang
bilang tubuhnya hangus dibakar api. Entah apa kesalahannya, sebagian mengatakan
ia mirip dengan intel, sebagian lagi mengatakan mirip dengan provokator dari
pihak lawan?
Sungguh,
semua tuduhan itu tidak benar. Mana mungkin ia berani melakukan hal yang tidak
diketahui dan dikuasainya. Ia hanya seorang buruh bangunan yang kerjanya
serabutan. Ia memang punya gelar lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di
negeri ini. Sayangnya, ia tidak punya koneksi hingga tidak bisa jadi pegawai
negeri. Karena tidak punya uang jutaan rupiah sebagai uang pelicin. Mereka yang
berkuasa di negeri ini dihadapan dirinya benar-benar telah menjelma seekor naga
yang lapar dan liar memangsa apa saja.
O kau
yang mati di tengah-tengah kerusuhan. Sejumlah orang tak dikenal mengejar dan
menyuruhnya masuk ke dalam sebuah bangunan bertingkat, yang setelah itu
kemudian dibakarnya gedung tersebut sehabis sejumlah barang-barang yang ada
didalamnya dijarah mereka.
O dari
dunia mana mereka datang? Apa agama mereka? Mengapa api dan batu harus bicara?
Mengapa mereka yang jelas-jelas telah menghancurkan bangsa dan negeri ini
kedalam jurang peradaban yang hitam pekat ini masih ongkang-ongkang kaki, bebas
dari segala tuntutan hukum? Negeri apakah ini, kok berani-beraninya seorang
terpidana tindak korupsi mengajukan diri jadi calon Walikota, Bupati, Gubernur,
malah Presiden?
Ya
Allah, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan diriku saat ini? Betapa dari
tahun ke tahun aku tidak bisa menghanguskan rasa rinduku pada kekasihku yang
kini entah dimana.
Aku
masih ingat bagaimana ia pada sebuah malam hari dan tanggalnya kulupa, menulis
sebuah puisi untukku, yang kemudian dibacakannya dengan tekanan suara yang
malu-malu karena gelora cinta meluap-luap di dadanya.
Saat
itu ia duduk di sebelahku sambil membaca sebuah puisi yang baru selesai
ditulisnya. Demikian puisi itu dibacanya: duduk di bangku kayu, menghayati
sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita aku temukan bintang mati bintang
yang dulu berpijar dalam langit jiwaku. Aku temuka kembali-begitu hitam dan
gosong dan kau menjerit terpisah dari cintaku.
Dengarkan
aku bicara, suaraku bagai ketenangan air sungai, bagai keheningan batu-batu
dasar kali melepas bau segar tumbuhan. Bila hari kembang, suaraku membangun
kehidupan yang porak poranda oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang
gemerlap menyesatkan rohanimu dari jalanku. Hanya ini yang bisa kuberikan
padamu: rasa gula yang terperas dari tebu
jiwaku. Reguklah, biar jiwamu
berkilau kembali. O, bintang yang
dulu benderang dalam langit jiwaku.
(terdengar batuk tiga kali dengan tarikan nafas yang terasa berat. Di liar
hujan mungki sudah berhenti. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dengan amat
kerasnya. Perempuan itu segera mendekat ke arah jendela kaca, yang dibiarkan
terbuka sejak awal pertunjukan. Dalam pandangan matanya ia seperti melihat
kobaran api yang menjulang ke langit jauh.)
Ya
Tuhan, apa yang terjadi dengan bangunan bertingkat itu? Adakah suara ledakan
yang aku dengar itu adalah suara bom? Jika ya, mengapa bom sering benar meledak
di negeri ini? Tangki air mata nyata saat ini tidak hanya bedah di Aceh, Ambon,
Bali, Jakarta dan kota-kota tak terduga dalam peta. Tetapi juga bedah dalam
diriku. Aku masih ingat bagaimana kata-kata yang diucap oleh lelaki yang
menghinakan diriku itu disuarakan dengan nada yang keras dan penuh kebencian.
Perempuan,
katanya. Kau Cuma daging yang tidak hanya enak dipandang tetapi juga
ditunggangi. Kau tidak lebih dari akar malapetaka di bumi ini. Kaulah yang
menyebabkan kejatuhan Adam dari tanah sorga. Dan kini aku menderita harus
menanggung segala siksa. Demi segala rasa haus dan lapar sirna dari tubuhku,
ayo buka bajumu. Saat itu aku benar-benar takut melihat pandang matanya yang
merah padam seperti orang mabuk yang kerasukan setan. Dengan kasar, pakaianku
dibukanya secara paksa. Tubuhku diseretnya ke pojok bangunan yang gelap. Dan
dengan buas dilahapnya diriku tanpa ampun.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
O, rasa
sakit itu tidak hanya bersumber di pangkal paha. Tetapi bersumber di seluruh
tubuhku, jiwaku, dan bahkan nyawaku tak kuat menanggungnya. Dan kini aku terus
dikejar bayang-bayang yang menakutkan.
Engkau
benar cintaku, kita lahir sebagai dongengan. Peran yang kita mainkan adalah
kehidupan yang kelam, lebih hitam dari aspal jalanan.
(sunyi. sesekali terdengar suara sirine meraung-raung.
Dengan amat kerasnya. Perempuan itu sejurus menarik napasnya kuat-kuat, lalu
kembali duduk di tubir meja semacam meja tulis tadi. Cahaya lampu kembali biru
berlapis kehijauan. Sunyi.)
Saat
seperti ini, aku ingat bagaimana kau berkata untuk terakhir kalinya, sebelum
engkau benar-benar pergi meninggalkan diriku selama-lamanya. Ya, malam itu kau
tidur di rumahku. Aku begitu kangen, begitu rindu padamu. Kita tidak berbuat
apa-apa saat itu. Selain berpandangan dan berpelukan, setelah kau ucap
kalimat-kalimat itu, kata-kata cinta yang sangat memabukkan itu.
Telah
kau tiup pintu dan jendela kamarmu. Malam yang turun berudara buruk dengarlah
ringkik kuda itu, seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku
disisimu. Aku dan kau tersenyum seakan tahu apa yang bergelora di dada. Ya,
pelan dan lembut kau dengar guguran daun diluar jendela.
Kita terlahir sebagai dongengan,
bisikmu. Malam larut dan sunyi.
Kita
semakin koyak oleh harapan purba, Abu kelahiran kita hanya pantas jadi
dongengan santapan nasib yang bengis.
(sayup tiang listrik dipukul orang)
Kekayaan
kita adalah kemiskinan kita, adalah rumah kita yang lembab oleh air mata, kita
hanya pantas menjadi dongengan.
Salak
anjing mengusap pendengaran deru kereta memecah kesunyian kata-kata menggumpal
dalam dada. Beku tak bersuara menyumpah matahari hitam digilas ruang dan waktu
negeri kelam.
Kita hanya pantas jadi dongengan.
Ya.
Sungguh
aku tak bisa melupakan kalimat-kalimat yang kau ucap malam itu, ketika angin
dingin bersiutan diluar jendela menggugurkan ribuan dedaunan. Aku tidak bisa
melupakan pancaran matamu yang hangat dan lembut.
Ya, aku
tidak bisa melupakan semua itu, termasuk tidak bisa melupakan kata-kata dan
pancaran mata lelaki jahanam itu yang telah mereguk kegadisanku secara paksa.
O, api
yang berkobar diluar dan didalam dadaku. Seberapa jarak lagikah kebahagiaan itu
bisa kujelang. O, maut yang diam-diam mengintai dan mengendap dalam dadaku
seberapa detik lagikah nyawa ini kau paut dari tubuh yang penuh luka ini.
Dan
kini: aku mendengar langkahmu menyusuri lorong gelap jiwaku begitu teratur,
bagai detik jam. Anngin dan daun-daun jatuh mempertegas sunyi yang kelak mekar
pada sisa-sisa ranting patah percakapan kita.
Bulan
yang memulas langit dengan warna darah: mengundang ribuan kelelawar yang
terbang dari goa dadaku dengan suara aneh.
Sungguh
setiap jiwaku merindu cahaya matahari. Malam terasa beku sepadat es di kulkas
waktu.
Sedang
doa-doa para pelayat, genangan air sisa hujan, wangi kembang setaman dan bau
kemenyan beraduk jadi satu. Urat-urat syarafku terasa kaku.
O,
maut, kebengisan apalagikah yang kelak kau mainkan dalam konser kematianku ini?
Sedang Tuhan sulit dijangkau dari keluh-kesah kegelapanku.
(hening, terdengar tiang listrik dipukul orang berkali-kali.
Cahaya panggung sedikit demi sedikit kembali netral. Perempuan itu menjatuhkan
kepalanya diatas meja. Kemudian menegakkan kepalanya secara perlahan-lahan
seiring dengan suara orang yang melantunkan tahrim dari sebuah masjid yang
jauh.)
Jam berapa
ini? Ya Tuhan betapa cepat waktu berlalu. Hidupku tidak berubah pula. Jika ini
semacam ujian yang harus kutempuh dengan tangan dan kaki berdarah-darah, maka
aku jalani semua ini dengan kesabaran tanpa batas.
Ya
Allah yang maha pemurah. Jika semua ini adalah siksa dariMu. Semoga apa yang
kualami di bumi ini menjadi tebusan bagi kehidupan di akherat kelak yang lebih
baik dari apa yang aku alami hari ini.
SELESAI
4. BALADA SUMARAH
Karya : Tentrem Lestari
Siang
itu matahari membara di atas kepala. Di sebuah siding pengadilan terhadap
seorang perempuan yang tertuduh telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya,
aku seperti didera ucapannya. Seperti dilucuti hingga tanggal seluruh atribut
pakaian bahkan kulit-kulitku. Perempuan itu, bernama Sumarah, TKW asal
Indonesia. Dingin dan beku wajahnya. Dan meluncurlah bait-bait kata itu :
Sumarah : Dewan Hakim yang
terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan.
Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena
ini bukan pembenaran. Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri
saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya. Nama saya
Sumarah. Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang
pesakitan. Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan siapa, saya
tidak peduli. ini kali terakhir, saya biarkan mulut saya bicara. Untuk itu,
Dewan Hakim yang terhormat biarkan saya bicara, jangan ditanya dan jangan
dipotong, kala waktunya berhenti, saya akan diam, selamanya.
Saya tidak butuh pembela, saya tidak butuh penasihat hokum.
Karena saya tidak mampu membayarnya. Saya juga tidak mampu dan tidak mau
memberikan selipan uang pada siapapun untuk melicinkan pembebasan dari segala
tuduhan. Toh semua sudah jelas! Semua tuduhan terhadap saya, benar adanya.
Segala ancaman hokum, vonis mati, saya terima tanpa pembelaan, banding atau
apalah namanya.
Kematian adalah kelahiran yang kedua. Untuk apa berkelit
kalau memang itu sudah winarah dalam hidup saya.
“udahlah…. saya tidak perlu empati dan rasa kasihan. Dari
pengalaman hidup saya mengajarkan sangat………. Sangat jarang dan hamper taka da
sesuatu yang tanpa
imbalan
dan resiko. Juga rasa empati .
Yang jelas. sekarang biarkan dulu saya bicara tentang apa
saja. Penting atau tidak penting bagi dewan hakim, atau bagi siapapun, saya
tidak peduli. Apapun yang ingin saya lakukan biarkan seperti air yang mengalir
dari hulu ke hilir. Mengalir ke mana pun curah yang mungkin terambah. Mungkin
mengendap di sela-sela jepitan hidup orang mungkin menabrak cadas batu dalam
kepala orang, meniumbul riak, mungkin meluncur begitu saja bersama Lumpur
kehidupan, tahi, dan rentanya helai-helai kemanusiaan, atau bahkan meluap-luap,
menggenangi seluruh muka busuk para majikan, para penguasa hingga coro-coro
kota.
Ee…..
Maaf kalau Bahasa saya terlalu bertele-tele. Baik saya mulai saja.
Nama
saya Sumarah. Umur kurang lebih 36 tahun. Saya seorang TKW. Babu!
Eeeh…. Jangan meneriaki huu… dulu.
Ya memang saya Babu. Tapi justru itu saya hebat. Saya hebat karena berani
mengambil keputusan untuk menjadi babu. Saya berani memilih keputusan untuk
berada pada tempat terbawah dari structural manusia. Belum tentu semua orang berani
menjadi manusia di bawah manusia.
Ya… inilah saya, Sumarah, menjadu
babu, buruh, budak sudah menjadi pilihan.
Bertahun-tahun, saya menjilati kaki
orang, merangkak dan hidup di bawah kaki orang. Bertahun-tahun saya tahan mulut
saya, saya lipat lidah saya, agar tidak bicara.
Karena bicara,berarti bencana.
Bencana bagi perut saya, perut simbok, dan bencana pula bagi para majikan.
Tolong…. kali ini ijinkan saya mendongak dan membuka suara.
Dari kecil saya tidak berani
mendongakkan wajah apalagi di Karangsari, desa tempat saya dilahirkan.
Orang-orang Karangsari selalu
membuat saya gugup dengan bisik-bisik mereka, tatapan curiga mereka. Kegugupan
itu bermula, di suatu ketika di kelas, di bangku madrasah. Pak Kasirin guru
madrasah saya menerangkan :
“Pembunuhan para Jenderl itu
dilakukan oleh sekelompok orang yang sangat keji yang tergabung dalam
organisasi PKI. PKI itu benar-benar biadab. Untuk itu dihapus dan dilarang
berkembang lagi. Seluruh antek PKI dihukum.
Saya
mendengarnya dengan takdim sambil membayangkan betapa jahatnya orangorang yang
membunuh para jenderal itu. Tiba-tiba saya mendengar suara dari arah belakang
bangku saya. Setengah berbisik, tapi jelas kudengar.
“Eh
Bapaknya SUmarah itu kan PKI. “Apa iya?”
“Lha
sekarang dimana?” “Ya sudah diciduk!”
Lalu saya menoleh kearah mereka, dan
terdengar suara:
“Ssst….. anak cidukannya menoleh
kesini”.
“Plass! Seperti terkena siraman air
panas hatiku meradang, sakit, nyeri sekali. Malamnya saya bertanya kepada
simbok.
“Mbok, Bapak itu apa benar orang PKI
Mbok?”
Si mbok yang hendak pergi ke tempat
Den Sastro tetangga saya, untuk mengerik istrinya, jadi urung memasukkan dhuit benggol ke stagennya. Masih
memegang uang benggol itu, simbok memandang saya, mukanya mendadak pucat dan
bibirnya bergetar.
“Siapa yang mengatakan kepadamu?”
“Tadi di kelas mengatakan
teman-temanku bilang.”
Simbok duduk di amben.
“Kamu percaya?”
Saya
tidak tahu harus mengangguk atau menggeleng. Tiba-tiba pintu rumah diketuk.
Ternyata orang suruhan Den Sastro untuk menjemput simbok. Simbok pun pergi
tanpa sempat menjelaskan pertanyaan saya. Pertanyaan itu baru terjawab pada
malam berikutnya. Dan bukan dari simbok, tapi simbah yang menceritakannya. Saya
ingat waktu itu seperti biasa saya hendak tidur di samping simbah. Simbok malam
itu seperti biasa jadi tukang kerik.
“Mbak, apa iya Bapak itu PKI to
mbah?”
Sambil men-dhidhis rambutku, meluncurlah cerita simbah begini :
“Bapak
itu orang lugu, nduk. Sehari-hari pekerjaanya menderes kelapa dan ngusir
andhong. Kalau pagi, setelah menderes, kerjaannya narik andhong, mangkal di
Pasar Slerem dan sorenya narik lagi.
“Tukang
nderes itu khan! Le, Pak Dhe Sudi, Lek Paidi, Mbah Suro juga nderes mbah, tapi
…”
“Ya, bukan karena nderesnya ndhuk. Tapi bencana ini bermula
karena bapakmu kusir andhong!”
“Kusir andhong?”
“Sebagai
kusir andhong bapakmu, sering mengantar siapa saja yang membutuhkannya.
Orang-orang yang mau ke pasar, dari pasar atau mau ke mana saja kehendak
penumpang. Salah satu langganan bapakmu, adalah seorang penyanyi bernama Pak
Wasto. Rumahnya kidul Pasar Slerem. Bapakmu sering mengantar Pak Wasto ke
sebuah rumah di desa Karang rejo. Kadang seminggu sekali kadang tiga hari
sekali. Nah, pada suatu ketika, bapak membawa Pak Wasto dan dua teman Pak Wasto
ke rumah. mereka melihat simbokmu membuat gula dan menanyakan gulagula itu
dijual ke mana. Kami, dari dulu menjual gula ke Den Projo, Pak Lurah. Lalu
mereka menawarkan untuk menampung gula-gula kami kata mereka, ko… koperasi
begitu. Dengan harga lebih tinggi dari harga yang diberikan Tapi dengan janji
mereka, tentu saja kami mau. Bahkan Pak Wasto memberikan kesempatan bapak untuk
menderes kelapa di kebunnya. Tapi kami tidak enak hati juga pada Den Projo. Dan
tetap menjual kepadanya, tapi tidak sebanyak semula. Lama-lama Den Projo bertanya
kepada simbahmu :
“Lek nah, mantu sampeyan itu suka menyetor gula ke
koperasinya PKI to?”
“Wah ngpunten den, pokoknya Suliman
menyetronya kepada Den Wasto”
“Pak
Lurah manggut-manggut. Tapi jelas simbah tahu Pak Lurah tidak suka. Kami pun
semakin tidak enak hati. Tapi tidak lama kemudian, bapakmu bilang kami tidak
usah lagi menyetor gula kepada Pak Wasto. Karena Pak Wasto dicidhuk tentara dan
koperasi itu ditutup. Rasanya kami tidak punya firasat buruk sama sekali
mendengar berita itu. Malah simbokmu dengen enteng bilang :
Tapi
ternyata yang terjadi setelah itu tidak seenteng yang kami duga. Tepat dua
malam setelah itu, suatu malam, waktu itu bapakmu sedang wiridan di langgar.
tibatiba Den Projo datang ke rumah mencari bapakmu. Ketika simbok menyusul
bapakmu dan simbah menyilahkan Den Projo masuk, tahulah simbah selain Den
Projo, di luar rumah ada dua tentara dan beberapa orang kampung. Simbah
bingung, dan waswas. Dan lebih bingung lagi setelah bapakmu datang, dua tentara
itu menyeret bapak ldiiringi Den Projo dan orang-orang. Simbokmu menjerit dan
bertanya. Lalu DeProjo setengah menghardik setengah menahan, bilang, “ Apa
kamju mau di seret juga. Yu, Manut saja dulu. “Si mbah gemetar, simbah
bertanya-tanya, “Oalah gusti, lha Sulaiman lha Suliman nggak tahu apa-apa kok.”
Orang-orang bilang Sulaiman itu
antek ……….
Orang-orang bilang Sulaiman itu
antek ……….
Kami
bertanya ke Den Projo keesokan harinya. Dibawa ke mana bapakmu. Den Projo
bilang bapakmu dipenjara sementara. Mungkin Cuma sebentar, mungkin lama.
Simbokmu lemes ndhuk. Kami masih
dalam kandungan lima bulan. Kami menanti…….. menanti ………….. menanti ……………
hingga kamu lahir, hingga kamu tumbuh, sampai kini………. Tak pernah bertemu lagi,
tak tahun di penjara mana Bapakmu di tahan. Setiap kali kami tanyakan itu ke
Den Projo, Den Projo bilang, tunggu saja. Jangan dicari daripada ikut
keseret-seret. Kami menanti, menanti, menanti terus dengan gugup dan gelisah.
Kuberi nama kau Sumarah karena hanya pasrah jawaban penantian ini.
Begitulah,
simbah, simbok, Kang Rohiman, Yu Dasri tak pernah lagi bertemu bapak. Dan saya
tak pernah sekali pun melihat wajahnya. Tapi rasanya bayangannya terus
menguntit sepanjang hidup saya.
Membuat
saya takut mendongak, membuat saya takut bicara, membuat saya kehilangan
separuh ruang hidup saya.
Selepas
madrasah, kondisi ekonomi simbok tak mengijinkan saya sekolah lagi meski nilai
ijazah madrasah saya bagus.
Kang
Rohiman dan Yu Darsi kakak saya juga cuma lulusan madrasah. Kira-kira umur 13
tahun, setelah tamat madrasah saya dibawa Lek Ngaisah tetangga saya ke kota
bekerja ikut orang jadi babu. Bertahan dua tahun,lalu saya pulang. Saya ingin
sekolah lagi. Selama saya bekerja saya mengirimkan uang itu kepada simbok, tapi
sebagian lagi saya kumpulkan. Saya ingin sekolah lagi saya tidak ingin sebodoh
bapak, simbok, atau simbah. Saya tidak ingin diperdaya orang. Kata orang
pendidikan bisa melepaskan diri dari keterjepitan. Dan saya percaya itu. Meski
susah payah saya sekolah, sepulang sekolah, saya bekerja jadi buruh urut
genting di tempatnya Den Cipto tetangga saya yang juragan genting, untuk
membiayai sekolah saya. Dua belas tahun saya habiskan waktu saya untuk
mendengarkan guru bicara di kelas, mempercayai teori-teori. Aku hapalkan
rumsrumus rumit matematika, cosines, tangent, diferensial. Aku hapalkan teori
Archemedes, Lavoisier, Einstein, aku hapalkan dikotil monokotil. Aku hapalkan
Undang-undang Dasar 45 dari pembukaan, pasal-pasal hingga ayatayatnya hingga ke
titik komanya.
Aku hapalkan berapa luas Indonesia
berapa pulau-pulaunya. Yang kata guru saya :
“Indonesia itu negeri yang subur,
gemah ripah lho jinawi.”
Saya
hapalkan, di Cikotok ada tambang emas, di Tarakan ada tambang minyak, ada
tambang nikel, ada hutan, ada bijih besi. Yang kemudian kutahu semua itu memang
ada. Tapi bukan milikku. Dan yang paling kuhapal adalah butir-butir Pancasila.
“Kita
harus mengembangkan toleransi. Kita harus mendahulukan kepentingan negara di
atas kepentingan pribadi dan golongan. Kita tidak boleh hidup boros. Kita harus
musyawarah untuk mufakat. Kita harus begini. Kita harus begitu.
Begitu……. Begitu…….
Begitu……. Begitu……. Begini……. Begitu……
disekolah harus begini eh di luar begitu. Disekolah bukan di
luar bukan [bernyanyi] kan bukan…..
bukan….. bukan….. kan… bukan….. bukan….. bukan…..
Kenyataannya
semua menjadi bukan! Semua teori, rumus, ambyar bubar! Nemku, rapotku, ijazahku
macet ketika aku mencari kerja. Ijazahku tak berbunyi apa-apa! Saya ingat
betapa susahnya dulu, ketika hanya punya ijazah madrasah. Pilihan pekerjaan
yang layak hanya jadi babu. Menjadi pembantu di rumah orang. Bekerja dari subuh
hingga larut malam. Mulai dari mencuci, mengepel lantai, memasak, menyuapi anak
majikan, menidurkan anak majikan, bahkan pernah disuruh memanjat ke atas
genting. Pernah suatu ketika keluarga majikan saya pergi ke luar kota,
kesempatan itu saya gunakan untuk tidur istirahat siang. Kesempatan yang tidak
pernah saya dapatkan sehari-hari. Tidak saya sadari karena nyenyaknya tidur,
hujan turun deras sekali. Seluruh pakaian yang dijemur basah semua, bahkan
sebagian terjatuh dan kotor. Saya bingung dan takut. Tapi tak tahu harus
berbuat apa. Ketika majikan saya pulang, bukan sekedar amarah, cacian yang saya
terima. Tapi juga pukulan dan gaji saya selama dua bulan saya kerja di situ
hilang untuk menebus kesalahan saya. Majikan saya mencaci :
“Kecil-kecil kamu sudah belajar
menjadi koruptor ya,”
“Saya tidak mengambil uang pak,” jawab saya. Setahu saya
koruptor itu orang yang suka mengambil uang yang bukan miliknya.
“Kamu menyalahgunakan kesempatan, mencuri waktu dan
kesenangan, yang bukan hakmu. Itu namanya koruptor, tahu?”
Astaghfirullah,
lalu majikan saya yang menilep uang gaji yang menjadi hak saya, apa itu bukan
koruptor juga. Saya menangis, sedih, sakit, dan kecewa. Lalu saya minggat, dan
pulang ke kampong. Saya bodoh, dan kebodohan saya membuat saya diperdaya. Untuk
itu saya terus berusaha untuk sekolah lagi. Beruntung sebelum peristiwa itu,
gaji saya selalu saya kumpulkan, setelah sebagian saya berikan kepada simbok,
sehingga saya mempunyai uang untuk pulang ke kampung. Biarpun susah payah, saya
terus sekolah agar nasib saya jadi lebih baik. Tiga ijazah saya punya. Dengan
nilai yang cukup bagus. Bahkan nilai NEM SMA saya bagus disbanding teman-teman.
Saya bangga sekali karena pernah mengalahkan monster yang paling ditakuti oleh
anak-anak sekolah, guru, dan kepala-kepala sekolah seluruh Indonesia, yaitu
Ebtanas. Tapi kebanggaan itu runtuh ketika di mana-mana saya terdepak dari
pintu ke pintu mencari pekerjaan. Terjegal karena bayangan bapak yang terus
menguntit di belakang nama saya.
Bayangan
bapak saya menggelapkan nama saya, ketika saya mencari keterangan surat bersih
diri terbebas dari ormas terlarang sebagai salah satu syarat mendaftar PNS.
Saya ingat betul kata Pak Lurah waktu itu :
“Waduh, ndhuk, kamu
itu memahami betul to persoalan ini. Siapa bapakmu. Saya betul-betul tidak
berani member keterangan yang kau butuhkan. Gundhulku
ndhuk, taruhannya.”
Saya
juga ingat betul, kata Mbok Dhe Jumilah, tetangga sebelah rumah,ketika
bisikbisik dengan Lek Nok di serambi langgar. Dan meskipun bisik-bisik saya
mendengarnya karena saya di belakang mereka.
“Yu, si
Sumarah itu ko ya ketinggian Karep” “Ada apa to?”
“Itu
mau jadi pegawai kantor. Ya jelas kejegal di kelurahan. Lha wong keturunannya
orang bekuan!
Aalah
Bapak!! Di mana engkau? Aku ingin kau ada, dan bungkam mulut orang-orang itu.
Rasanya aku lebih percaya seperti kata simbok, bahwa engkau baik, tapi lugu dan
bodoh. Tapi, ketiadaanmu membuat aku selalu takut dan gugup! Kalau benar
bapakku bersalah, lantas apa iya aku, simbok, Yu Darsi, Kang Rohiman harus
menanggung dosa itu selamanya. Dikucilkan, dirampas hak-hak kami? Selalu
terdepak di negeri sendiri. Demikian, saya menjerit, meraung-raung, dalam bibir
yang terkunci.
Saya
lalu bekerja di sebuah pabrik tekstil yang baru beroperasi di tetangga desa.
Saya mendapat pekerjaan di bagian produksi. Tak mungkin bekerja di bagian
administrasi, meski saya punya ijazah SMA dengan nilai bagus pun, surat bersih diri,
tak mungkin saya dapatkan sebagai syaratnya. Suatu ketika, saya mendapat
kecelakaan ketika tengah bekerja. Tulang tangan saya retak…. Saya di bawah kerumah
sakit. Tangan saya digips. Rasanya sakit sekali. Hanya dua hari saya opname di
Rumah sakit. Selebihnya disuruh berobat jalan. Tapi uniknya, dari berkas acara
pengobatan yang saya tangani, pabrik melaporkan 2 minggu saya dirawat. Dan
uniknya lagi saya lalu diberhentikan kerja dengan alasan setelah sakit nanti
kerja saya tak lagi sempurna. Dan uniknya lagi, saya tidak mendapat pesangon.
Tapi, Kang Rohiman kakak saya rajin membawa saya ke tukang pijat, sehingga
tangan saya sembuh. Setelah itu saya bekerja pada seorang juragan beras di kota
kabupaten, bernama Bu Jurwati. Semula tugas saya serabutan. Kadang ikut
menyeret karung-karung beras, kadang menimbangi beras dan mencatatnya.
Lama-lama Bu Jurwati tahu saya dapat menulis pembukuan uang dengan baik. Lalu
saya mendapat pekerjaan membukukan seluruh jual beli beras. Tentu saya sangat
senang sekali. Pekerjaan itu tidak terlalu melelahkan. Meski kadang-kadang saya
juga harus melembur hingga larut malam, terutama pada hari-hari tertentu.
Misalny saat tanggal muda. Suami Bu Juwarti, seorang pejabat di kantor
kabupaten, saya tidak tahu jabatannya apa. Hanya separoh lebih, jatah beras
pegawai dibeli oleh Bu Juwarti. Beras dari gudang Bulog itu bahkan kadang
langsung dikirim ke rumah, tanpa dibagikan ke pegawai yang menjual berasnya ke
Bu Juwarti. Bu Juwarti juga menampung beras-beras dari proyek sembako.
Ceritanya begini, suatu ketika saya kaget sekali karena muncul Pak Lurah
Karangsari yang menjual beras ke Bu Juwarti, berkarung-karung. Saya tahu, Pak
Lurah punya sawah bengkok, tapi tak mungkin panen sebanyak ini. Lagi pula mutu
berasny jelek, apek, dan tidak putih. Lalu saya ingat, sewaktu pulang ke
Karangsari, saya tahu simbok mendapat jatah beli beras murah dari kelurahan.
Berasnya juga apek dan kekuningan. Tidak salah lagi pasti beras yang dijual Pak
Lurah adalah beras pembagian. Pak Lurah kaget, saat bertemu saya pertama kali
di rumah Bu Juwarti. Tapi selanjutnya matanya menekan, dan menarik lengan saya,
dia berbisik :
“Sum, ini sekedar uang saku
untukmu,”
“Pak
Lurah menyisipkan beberapa uang ke tanganku. Saya tahu matanya yang menekan
itu, mengatakan jangan kau bicarakan hal ini kepada orang-orang. Dari
pengalamanku itu, asya jadi tahu, kalau ada beras apek dan kuning, ada dua
kepastian, itu beras jatah pegawai atau jatah sembako. Dari bekerja di juragan
beras itu, saya berkenalan dengan seorang lelaki, yang kemudian saya jatuh
cinta padanya. Namanya Mas Edi, seorang tentara. Yang sering mengantarkan
beras-beras jatah pada tentara yang dijual kepada istri komandan Mas Edi. Nah,
Mas Edi bertugas mengantarkan beras-beras itu. Cinta saya semakin bersemi,
manakala saya tahu Mas Edi juga menaru hati pada saya, rasanya hati saya
melambung tinggi sekali. Tapi untuk kemudian terpelanting dan jatuh ke jurang
yang curam. Saya tak mungkin meneruskan hubungan cinta saya dengan Mas Edi. Saya
tidak mungkin membumikan impian untuk menjadi istrinya. Mas Edi mundur teratur
setelah mengetahui sejarah keluarga saya. Sebagai tentara haram jadah jika
mempunyai istri seperti saya. Lagilagi bayangan bapak menggelapkan nama saya.
Saya terus bekerja di juragan beras itu. Untuk itu saya putuskan berhenti, saya
pamit. Saya ingin pergi jauh. Saya ingin lari, mencari tempat di mana bayangan
bapak tidak lagi dapat menguntit lagi.
Di tengah gulana itu, simbok suatu
sore berkata :
“Sum,
apa kamu mau kerja di Arab, Lihat si Konah itu, Pulang dari Arab jadi gedhong magrong-magrong, bisa beli
montor, bisa beli kebo. Lihat juga Sunarti
anaknya Lek Mariyem. Dua tahun kerja di Arab, pulangnya bisa buka toko
kecil-kecilan.
“Saya. Tapi kata-kata simbok
mengganggu pikiran saya.
“Mbok, kalau mau pergi ke Arab,
gimana caranya Dan mau darimana biayanhya?”
Lalu
segala suatunya kami urus, melalui perantara seorang calo, saya dapat mendaftar
sebagai seorang TKW, dan segala syarat saya penuhi. Pekarangan simbok
peninggalan bapak kontak untuk menyelesaikan semua itu. Dari biaya-biaya
administrasi di kelurahan, Depnaker, kantor imigrasi, biro tenaga kerja, sampai
biaya tetek bengek yang ternyata panjang betul yang terkait. Saya tahu, saya
paham memang harus begitu caranya. Termasuk caranya, saya paham, Pak Lurah
akhirnya mau mrmberi saya surat keterangan bersih diri, pertama karena selipan
dua ratus ribu, kedua karena kartu asnya di tangan saya masalah bisnis berasnya
itu, ketiga, toh saya hanya jadi TKW, apa yang mesti ditakutkan dari seorang
Sumarah, anaknya Suliman orang cidukan, bekuan PKI.
Termasuk
jufa saya jadi paham betul, menyelipkan lembar-lembar uang agar segalanya jadi
cepat beres. Mengurus paspor dengan biaya lebih tiga kali lipat dari harga
semestinya. Memberi tip pegawai Depnaker, memberi tip calo, memberi tip anu,
memberi tip anu, dan untuk anu… anu…. Anu….
Ooalah
mengapa tidak saya sadari sejak dulu, bahwa segala sesuatunya bisa dengan mudah
dengan selipan-selipan itu. Jadilah saya, Sumarah binti Suliman jadi TKW
lulusan SMA dengan predikat NEM tertinggi, jadi babu di negeri orang. Cosinus,
tangent, diferensial jadi mesin cuci. Archimedes jadi teori menyeterika baju. Dikotil,
monokotil jadi irama kain pel. Teori pidato menjadi omelan majikan.
Dan….
13 Pulau …. Dari sabang sampai merauke yang subur makmur gemah ripah loh jinawi
lenyap jadi wajan penggorengan di dapur. Ooooo mana…. Mana harum melati, hutan
tropis, kupukupu, minyak, emas, rotan, bijih besi??
Oooo
mana cerita Pak Kasirin guru madrasah saya tentang pribadi bangsa Indonesia
yang adi luhung ramah tamah, kekeluargaan, gotong-royong, tc, etc …
Semua
hanya bisa saya beli dengan uang. Di negeri sendiri, saya menjadi rakyat
selipan, setengah gelap, tak boleh mendongakkan kepala, dan bicara. Di negeri
sendiri saya di depak sana, di depak sini, dikuntitkan baying-bayang bapak yang
dihitamkan oleh mereka untuk menggelapkan nama saya. Dan sekarang di negeri
orang saya menjadi budak, menjual impian untuk hidup lebih baik. Di negeri
orang, saya hanguskan segala cinta saya, seluruh kenangan manis, pahit getir,
masa remaja saya. Saya pikir, segalanya jadi berubah. Saya pikir, saya dapat
bermetamorfosa dari ulat bulu menjadi kupu-kupu Indah. Tapi ternyata……. SUmarah
tetap saja kandas. Di balik jubah-jubah majikan saya, di balik cadar-cadar
hitam majikan saya, segala nasib saya kandas ! Saya disiksa, gaji saya setahun
hilang untuk tetek bengek alasan administrasi yang dicari-cari, dan bencana
itu… dan saya diperkos!!!!
Seperti budak yang hala
dibinatangkan.
Bertahun-tahun
saya Cuma diselipkan di negeri sendiri. Kepala saya tidak boleh menyembul di
tengah kerumunan. Apakah di negeri orang saya masih dimelatakan. Tidak!!
Kesadaran itu muncul tiba-tiba. Saya harus mendongakkan kepala, meludahi muka
orang yang membinatangkan saya, mengangkat tangan dan meraih pisau tajam untuk
kemudian saya masukan mata pisau ke jantung hatinya. Majikan itu saya bunuh.
Semuanya! Saya tahu, saya akan menjadi gelap yang sesungguhnya. Bertahun-tahun
saya tidak salah tapi disalahkan. Sekarang dengan berani saya berbuat salah.
Salah yang sesungguhnya.
Saya
sadar, saya akan divonis mati. Saya tidak butuh pembela. Saya tidak butuh
penasihat hukum. Tidak usah saya dipulangkan dan diadili di negeri saya. Karena
persoalan akan mejnadi jauh lebih rumit. Karena tidak ada yang bisa dihisap
lagi dari seorang babu seperti saya, maka saya ragu apakah hukum di negeri saya
bisa membela saya.
Dewan
hakim yang terhormat, inilah saya. Nama saya Sumarah. Bagi saya perjuangan,
harapan, penderitaan, semua buth keberanian. Tapi harapan menjadikan penjara
bagi hidup saya. Tidak, saya sekarang bebas dar harapan. Hidup saya penuh
ketakutan. Sekarag saya harus berani karena hidup dan mati adalah dua sisi
keping nasib. Dan keping kematian yang terbuka di telapak tangan saya, itulah
yang harus saya jalani sekarang. Dengan berani! Senang, sakit, dosa, pahala,
semua sama. Ada resikonya. Inilah saya, nama Sumarah. Saya siap mati.
Siang
itu matahari masih menggeletarkan seluruh dinding kepalaku. Apa yang bisa
perempuan itu kisahkan, seperti kaca bening buatku. Di sana aku bisa melihat
jelas, sebagian besar otak manusia ada di perut. Perut mampu mengendalikan
seluruh proses hidup manusia. Demi perut seorang dapat memutarbalikkan
kebenaran. Demi perut seorang dapat menjadi singa bagi orang lain. Menerkam dan
menancapkan kuku-kukunya di jantung nasib orang. Demi perut, segala sesuatu
bisa bergeser. Kemanusiaan, moral hukum. Demi perut, hukum dapat
diputarbalikan. Dan demi perut yang harus diselamatkan terus menganga, meminta,
mencari umpan, mengirim sinyal, agar data dimanipulasikan, agar fakta
direkayasa, agar di benam kepala orang, agar mulut katakana ya meski
kebenarannya tidak. Seorang Suliman meski tidak logis di-PKI-kan, tapi jika
membelanya berarti ancaman bagi jabatan, ancaman bagi perutnya, maka tak ada
seorangpun yang menepiskan ketakutan untuk membelanya. Kekuasaan itu begitu
indah. Sihir mujarab untuk menyumpal perut-perut yang menganga. Aku tahu itu.
Karena aku, orang Indonesia.
SELESAI
5. KASIR KITA
Karya : ARIFIN C NOER
Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat
suatu keluarga yang tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula
penghasilan si pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang
lumayan pula besarnya. Kasir kita itu bernama Misbach Jazuli
Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab
itu sangat sederhana sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita
mulai pada suatu pagi. Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat
kasregisternya di kantornya, tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya,
kelihatan lesu seperti wajahnya.
Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi.
Tapi urung lagi untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk
mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali,
sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan
bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri
belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.
Diletakkannya tasnya
Saya
sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya itulah
yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara. Dia
sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik.
Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar
biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri
tidak percaya bahwa dia itu istri saya.
Saya
berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu pandang
pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya meyobek
telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu saat
nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan selamanya
sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.
Buktinya?
Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan Supraba
selama lima tahun lebih.
Aduh cantiknya.
Saya
berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari
walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak
percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian
utuhnya. Caaaaannnnttiiik.
Ah kata
cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah. Seandainya
suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada diantara
mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun saudara
tahu bahwa dia seorang janda.
Lesu.
Ya,
saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari
seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya
akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.
Semua
orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor, sebab
mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni
adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal.
Sempurna.
Menarik napas.
Bau
parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di
suatu pagi. Segar, segar!
Telepon berdering.
Itu dia!
Sebentar (ragu -ragu) Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon.
Selalu ditanyakannya: “Sarapan apa kau, Mas” Kemarin, saya menjawab “Nasi putih
dengan goring otak Sapi”
Pagi ini saya akan menjawab .....
Mengangkat gagang telepon
Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo! Meletakkan
pesawat telepon Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu
perasaan sama sekali.
Tiba-tiba
Oh ya! Jam berapa sekarang?
Gugup melihat arloji
Tepat!
Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya harus ke
kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya, PT Dwi
Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli. Maaf.
Sampai ketemu.
Melangkah cepat. Sampai di pintu
sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.
Agak lama, kasir kita masuk lagi
dengan lesu.
Mudah
mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu
meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.
Tidak,
saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas. Saudara
bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah Jazuli.
Tentu
pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati kerajinan
dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari pertama saya
membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.
Seperti
saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku! Ya,
hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada
istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor
berhubung pertanggung jawaban keuangan....
Telepon berdering.
Sekarang
pasti dia!
Menuju pesawat telepon
Saya sendiri tidak tahu kenapa
selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.
Apa
mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri
pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri
sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan
peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia
yang selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.
Toch saya laki-laki berharga : saya
punya penghasilan yang cukup.
Laki-laki
gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri. Pandang
perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan suatu
saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang lagi,
dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu kita
berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita telah
menjerat lehernya. Beres!
Nah,
saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang
salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti
umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah
diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?
Telepon berdering lagi.
Pasti isteri saya
Menarik napas panjang
Saya
telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya yang
menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?
Tidak!
Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan niscaya akan semakin kurang
ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu! Ah!
Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila. Bangsat!
Saudara
tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya, memang saya
tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah bayangkan betapa
besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang dari kantor lebih
cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu ada di sini dan
sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku mulai menyerang
lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.
Telepon berdering lagi.
Pasti dia.
Mengangkat gagang telepon.
Misbach Jazuli di sini, hallo?
Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.
Inilah
ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan aku
begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kau
memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa
perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah
menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya semakin
berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan!
Meletakkan pesawat dengan marah.
Betapa
saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-poya,
apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!
Ya,
saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang perempuan, beberapa hari setelah
saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes, uang
kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur sebab lumpur itu baru mengenai
betis saya. Setengah bulan yang lalu saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa
saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan sejak
itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis anak-anak saya.
Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak seminggu belakangan ini.
Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor
saya mengadakan stock opname. Inilah penderitaan itu.
Memandang potret di atas rak buku.
Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan,
apakah saya mesti menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan
sengsara jiwa ini?
Apabila anak-anak telah tidur semua,
dia duduk di sini di samping saya. Dia
membuka-buka
majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu saat mata kami bertemu maka
kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut: ”Manis, kamu belum
mengantuk?” wajahnya yang mentakjubkan menggeleng-nggeleng indah dan indah dan
manis sekali . Dia berkata juga dengan lembut: “Aku hanya menunggu kau, mas
saya tersenyum dan berkata lagi: “Aku hanya membaca Koran, manis “ Dan lalu ia
berkata: “Aku akan menunggui kau membaca Koran, mas”.
Kemudian kamipun sama-sama tersenyum
bagai merpati jantan dan betina.
Kubelai
rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan
minyak
wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia berkata seraya
menengadah, “Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat
jendela
kaca kami menyaksikan pekarangan dengan bungabunga yang kabur, dan langit biru
bening dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting
keranting.
Tiba-tiba ganti nada.
Hah, saya baru saja telah menjadi
penyair cengeng untuk mengenang semua itu.
Tidak-tidak! Laki-laku itu
............, sebentar. Saya belum menelepon ke kantor
bukan ? Sebentar.
Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.
Hallo,
minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya, ya,
mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti batuk
dan pilek. Saudara....
|
ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa senang
sekali
|
|
kalau
|
saudara sudi
|
memintakan
pamit saya kepada
pak Sukandar....Terima
|
kasih...
|
Ya? Apa? Saudara bertemu dengan
isteri saya disebuah restoran?
|
|
Nada suaranya naik.
Apa?
Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya tidak boleh marah,
saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada
pak Sukandar.
batuk dan menyedot hidungnya lagi
Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.
Meletakan pesawat telepon.
Seharusnya
saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri saya lagi? Ah, persetan :
pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan! Saudara
bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang ingin
saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya,
benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka
sekaligus. Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak
meleset dari pelipisnya.
Nafasnya sudah kacau.
Kalau
mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan
membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar
daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya adalah seorang
ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap dan
menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan bangga dan he
ヴooik : さPak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”
Tentu
polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan tidak mungkin ia
akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu membawa saya ke dalam
sebuah sel yang pengap.
Hari
selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili.
Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada
jaksa, kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa
mereka pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam.
Bukankah
bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?
Saudara
pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata seraya
menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”
Pikir
saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara. Saya
akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak dan
berkaca mata itu.
Lagi
pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya hanya
akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan menjadi
pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan itu yang
sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan mengerti
letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan meratap.
Dan
seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah berbuat salah menghukum
seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus
botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan niscaya dia akan
membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.
Saya
sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan nekad.
Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana saya bisa
mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam yang cukup padat
seperti padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat Sherlocks
Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf. Siapapun
tidak boleh mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada berbagai
pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan pembunuh
sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.
Nah, saya telah mendapatkan judul
karangan itu.
“Pembunuh
asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa anggukan
kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus terbang
dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti
memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.
Oh,
betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala saya. Betapa!
Sampai-sampai saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang merasa
bersahabat dengan Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah tokoh
pencemburu dalam sebuah drama Shakespeare yang terkenal.
Othello.
Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan senasib akibat
kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.
Telepon berdering! Seperti seekor
harimau ia!
Itu dia.
Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.
Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !!
Ada apa?
Tiba-tiba berubah.
Oh,...maaf
pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya. Saya baru
saja marahmarah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.
Tertawa.
Ya, pak...
Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.
Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya,
pak....Ya.
Saudara,
dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan
keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya,
pak?
Tertawa.
Ya, pak...
Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.
Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih,
pak. Besok.
Meletakan pesawat telepon.
Persetan!
Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti
mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.
Seakan menusukkan pisau. Singa
betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.
Telepon berdering.
Persetan! Sekarang pasti dia.
Mengangkat telepon.
Kasir
disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah
menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau
busuk! Aku bisa mati mendengar katakatamu lewat telepon! Cari saja laki-laki
lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang
petualang!
Meletakan pesawat telepon.
Jahanam!
Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya. Tadi
saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung
mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang
pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.
Tapi
tak apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya
saya makimaki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!
Mengangkat telepon.
Kemana saya harus menelepon? Tidak!
(meletakan telepon)
Lebih baik saya rancangkan dulu
secara masak-masak semuanya sekarang. Demi
Allah,
saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara :
“Manis, jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”
Ya,
memang saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur.
Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh
dalam sandiwara ini.
Seperti mendengar telepon berdering.
Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)
Saya
kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya sekarang.
Mata saya betulbetul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya tidak bisa
lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup masak
mental saya sebagai seorang pembunuh.
Tapi
seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik pula
seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya
masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti
laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya
bayangkan begitulah suasananya.
Bulan
berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi di
pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.
Mereka
pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya yang
dingin, pandangan mata seorang pembunuh.
Untuk
beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka bergetaran
dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu sempat
mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya. Dan
pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil
tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya
akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai,
saya akan berkata : Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”
Tiba-tiba pening di kepala.
Tapi
kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka
bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?
Memukul-mukul kepalanya.
Tuhanku!
Duduk.
Dia
melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari
disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak :
Bungaku.
Saudara-saudara
bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya tidak bisa lagi
marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada anak-anak yang
manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah tidak.
Saya
tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak. Saya hanya tahu
anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana mereka
tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali anak-anak itu.
Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena cemburu saya mesti
merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?
Balerina-balerina kecil itu menari
bagai malaikat-malaikat kecil.
Semangat
hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu saya
ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata: “Pak, susullah ibu,
pak, ke kantorlah, pak.”
Ya,
Ita. Ya, Imam.
Malaikat-malaikat kecil itu gaib
menjelma udara.
Saya
harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya akan
mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini.
Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada
Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun
kepada Allah.
Saya
tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu lagi
apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki
yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya
hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya
menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.
Telepon berdering.
Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu.
Setiap kali saya tengah berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.
Telepon berdering lagi.
Jahanam! Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah
ia mengharap rumah ini dijual.
Mengangkat pesawat telepon.
Ya, Misbach Jazuli
Tersirap darahnya.
Saudara,
jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan, tak
salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan
mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran
dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.
Hallo?..Tentu...Tentu.
kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan? Memang saya agak flu
dan batuk-batuk.
(akan batuk tapi urung) ...
|
Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar,
kulit-kulit
|
kacang..ah, indah
sekali
|
bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin?
|
Kau?...Segera?
|
Lihatlah,
niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha??? Saudara,
gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap agar nanti
sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon suaminya itu
cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu itu cuma iseng
saja. Ya, tentu..bisa!
Meletakan pesawat dengan kasar.
Jahanam.
Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau pengarang
sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya. Saya
sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.
(tiba-tiba)
Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang penting
saya akan ke kantor meski sudah siang.
Dari
kantor saya akan langsung ke masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya.
Langsung saya boyong semuanya.
Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat
siang. Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah
mengeluarkan sapu tangan, batukbatuk dan menyedot hidungnya.
Saya influenza, bukan ?
SELESAI
6. MARSINAH MENGGUGAT
Karya : RATNA SARUMPAET
ALAM DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH
PERKUBURAN.
MARSINAH
SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN, SEORANG BURUH KECIL DARI SEBUAH PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA TIMUR, TANGGAL
9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DI HUTAN JATI DI MADIUN.
DARI HASIL PEMERIKSAAN
OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN MALANG INI DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI,
PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN DENGAN MENGGUNAKAN BENDA TAJAM.
KASUS KEMATIAN
PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN YANG
TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI PADA SAAT BERSAMAAN
BERBAGAI PELECEHAN JUGA TERJADI
DALAM PROSES MENGUNGKAP
SIAPA PEMBUNUHNYA. SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK
MEMBUAHKAN APA-APA, KASUS UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP PANJANG, DAN SEKARANG., SETELAH MARSINAH SEBENARNYA SUDAH
MENGIKHLASKAN KEMATIANNYA MENJADI KEMATIAN YANG
SIA-SIA, TIBA-TIBA SAJA
KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL ITU MARSINAH
SANGAT TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK MENENGOK SEBENTAR KE ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA SEBUAH
ACARA PELUNCURAN SEBUAH BUKU YANG DI TULIS BERDASARKAN KEMATIANNYA.
INILAH UNTUK PERTAMA KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN. KAWAN-KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR TAMPAKNYA KEBERATAN. DAN DARI SITULAH
MONOLOG INI DIMULAI.
__________________________________________________________________
__ ADA SUARA-SUARA MALAM. PERTUNJUKAN INI TERJADI DI
SEBUAH PERKUBURAN. MARSINAH TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH BALE, GELISAH.
DIA TERTEKAN, RAGU
AKAN KEPUTUSAN YANG DIBUATNYA.
Kalau
saja dalam kesunyian mencekam yang dirasuki hantu- hantu ini aku dapat
merasakan kesunyian yang sebenar-benarnya sunyi. Kalau saja dalam kesunyian ini
aku dapat menutup telingaku dari pekik mengerikan, raung dari rasa lapar,
derita yang tak habis-habis. Kalau saja sesaat saja aku diberi kesempatan
merasakan betapa diriku adalah milikku sendiri....
DIKEJAUHAN, TERDENGAR
SUARA ORANG-ORANG YANG SEDANG MEMBACAKAN AYAT-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA TERASA SEMAKIN DEKAT DAN SEMAKIN
ENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT PERLAHAN, MURUNG.
Apa
gerangan kata Ayahku tentang waktu yang seperti ini.... Kejam rasanya seorang
diri, diliputi amarah dan rasa benci. Tersekap rasa takut yang tak putus-putus
menghimpit..... Ketakutan yang tak bisa diapa-apakan..... Tidak bisa bunuh, atau
dilawan.....
MARSINAH SEPERTI MENDENGAR SUARA-SUARA DARI MASA
LALUNYA, SUARA-SUARA DERAP SEPATU, YANG MEMBUATNYA GUSAR.
Suara-suara
itu.... Dia datang lagi.... Seperti derap kaki seribu serigala menggetar
bumi.... Mereka datang menghadang kedamaiku..... mereka mengikuti terus.....
Bahkan
sampai ke liang kubur ini mereka mengikutiku terus.... Kalau betul maut adalah
tempat menemu kedamaian..... Kenapa aku masih seperti ini? Terhimpit
ditengah pertarungan-pertarrungan
lama....
|
Kenapa pedih dari luka lamaku masih
|
terasa
menggerogoti hati dan perasaanku......
|
Kenapa amarah dan kecewaku masih
|
seperti kobaran api membakarku ?
|
TERDENGAR SUARA SESEORANG NEMBANG,
LIRIH..... TEMBANG ITU
SESAAT SEOLAH
MENGENDURKAN KETEGANGAN MARSINAH.
DIA
BICARA, LIRIH.
Dengan berbagai
cara nek Poeirah,
nenekku, mengajarkan kepadaku
tentang
kepasrahan.....
|
Dia mengajarkan kepadaku bagaimana
menjadi anak yang menerima
|
dan pasrah......
|
Pasrah itu yang kemudian menjadi
kekuatanku..... Yang membuatku
|
selalu
tersenyum menghadapi kepahitan yang bagaimanapun. Kemiskinan keluargaku yang
melilit...... Pendidikanku yang harus terputus ditengah jalan.....
Perempuan
ini jugalah yang mengajarkan kepadaku betapa hidup membutuhkan kegigihan......
Tapi kegigihan seperti apa yang bisa kuberikan sekarang...... Pada saat mana
aku sudah menjadi arwah seperti ini, dan mereka masih mengikutiku terus ?
Sulit mungkin membayangkan bagaimana
dulu kemiskinan melilit keluargaku......
Bagaimana
setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling menjajakan kue bikinan Nenekku,
demi seratus duaratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-anak
sebayaku. Kebahagiaan masa kecilku hilang...... Tapi aku ikhlas...... Karena
dengan uang itu aku bisa menyewa sebuah buku dan membacanya sepuas- puasnya.
Berupaya
meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan..... Merindukan kehidupan
yang lebih layak.... Berlebihankah
itu ? Memiliki cita-cita.....
|
Memiliki harapan-
|
|
harapan.....
|
Berlebihankah
itu ? Lalu
kenapa cita-citalah yang
akhirnya
|
|
memperkenalkanku
pada arti kemiskinan yang sesungguhnya. Kenapa harapan-harapanku justru
menyeretku berhadapan dengan ketidak berdayaan yang tak terelakan ?
DERAP SEPATU
DARI MASA LALU
ITU KEMBALI MENGGEMURUH MEMBUAT MARSINAH KEMBALI TEGANG.
Itulah
kali teakhir aku datang ke Nganjuk. Ketika Nenekku, tidak seperti biasanya,
berkeras menahanku. Dia bicara banyak tentang firasat. Aku tahu dia membaca kegelisahanku......
Tapi aku terlalu gusar untuk menggubris nasehat-nasehatnya.....
Dan sampai akhirnya aku
meningggalkan Nganjuk, aku tidak pernah menjelaskan
kepadanya, kenapa saat itu Sidoarjo
menjadi begitu penting untukku.....
MARSINAH MENDADAK SEDIH LUAR BIASA.
Apa
yang harus kukatakan ? Apa yang dimengerti perempuan tua itu tentang hak bicara
? Tentang pentingnya memperjuangkan hak? Dia hanya mengerti turun ke sawah
sebelum matahari terbit, dan meninggalkannya setelah matahari terbenam, karena
perut tiga orang cucu yang diasuhnya harus selalu terisi.
MARSINAH MULAI GUSAR HALUS,
SUARA-SUARA DI MASA LALUNYA DULU MULAI MENGIANG DITELINGANYA.
Barangkali kalian
menganggap apa yang
kulakukan ini tidak
masuk akal.....
Barangkali kalian menganggapnya
perbuatan sinting.... Tapi aku harus pergi......
Dengan
atau tanpa kalian, aku akan pergi..... Setelah empat tahun lebih aku merasa
mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali mengungkitungkit kematianku. Kematian
Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah tidak ada hubungannya dengan
pemogokan buruh. Kematian Marsinah berlatar belakang balas dendam.Dan hari ini,
sebuah buku yang ditulis atas kematianku, diluncurkan. Gila !
Aku ? siapa aku ? Seorang perempuan
miskin yang dimasa hidupnya tidak punya
kemampuan membeli sebuah bukupun
untuk dibaca atau dibanggakan.....
Apa
yang mereka inginkan dariku? Mereka menggali tulang-tulangku. Dua kali mereka
membongkar kuburanku, juga untuk sia-sia, terkontaminasi..... Bangsat! Ini
mungkin bagian yang paling aku benci. Mereka selalu menganggap semua orang
bodoh. Mereka selalu menganggap semua orang bisa dibodohi.
HENING LAGI.....
Tapi
itulah mungkin betapa aku, kita-kita ini, sesungguhnya adalah orang-orang
pilihan. Orang-orang yang dipilih untuk sebuah rencana besar, dan sekaranglah
saatnya. Pada saat kita sudah tidak eksist. Pada saat kita sudah tidak mungkin
dibunuh karena kita toh sudah terbunuh. Mereka boleh dongkol atau mengamuk
sekalian mendengar apa yang kita ucapkan. Tapi menggebuk kita ? Masa arwah mau digebuk
juga ?
SUARA -SUARA MASA LALU ITU KEMBALI
TERDENGAR. BEBERAPA SAAT MARSINAH TAMPAK TEGANG DAN TERGANGGU, TAPI
DIA MELAWANNYA. MELANGKAHSATU-SATU, IA MENGADAHKAN MUKANYA BICARA PADA
SUARA-SUARA YANG MENGGANGGUNYA ITU.
Suara-suara
itu.... Mereka mengikutiku terus..... Aku tahu mereka akan menggangguku lagi.
Aku tahu mereka akan terus menggangguku. Aku tidak takut dan aku tidak akan
berhenti..... Aku akan berdiri ditengah peluncuran buku itu, dan aku akan
menghadapi mereka disana.
Algojo-algojoku.....
Orang-orang yang dulu begitu bernafsu menghabisi hidupku. Berbaur dengan mereka
yang dengan gigih telah berusaha menegakan keadilan atas kematianku. Lalu aku
akan menikmati bagaimana mereka satu demi satu berpaling menghindari tatapanku,
atau menundukkan kepala; atau lari lintang pukang di kejar dosanya sendiri. Dan
sebuah peluncuran buku yang lazimnya dipenuhi tawa, tepuk tangan dan sanjungan
itu akan berubah menjadi sebuah upacara mencekam, Marsinah, muncul menggugat'
Belati berlumur darah itu muncul didepan matamu, setelah sekian lama kau
mengira, kau telah berhasil melenyapkannya dari tuntutan keadilan.
KETIKA SUARA-SUARA DI MASA LALU ITU MEREDA, MARSINAH
JUSTRU TAMPAK SEMAKIN MURUNG DAN
GUSAR. IA MENJATUHKAN
TUBUHNYA DILANTAI, LETUH. IA BICARA
SEPERTI PADA DIRINYA SENDIRI.
Aku
melihat begitu banyak tangan berlumuran darah.....Aku melihat bagaimana
keserakahan boleh terus berlangsung, para pemilik modal boleh terus mengeruk
keuntungan, para Manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama
diatas setiap tetes keringatku. Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani
membuka mulutnya menuntut kenaikan upah ? Nyawanya akan terenggut.
Dan
sekarang lihat bagaimana mereka menjadikan kematianku bagai jembatan emas demi
kemanusiaan; Demi ditegakkannya keadilan; Demi perbaikan nasib buruh.
MARSINAH TERTAWA, GETIR.
Memperbaiki
nasib buruh.... Dari 1500 menjadi 1700, dari 1700 menjadi 1900....
Satu
gelas teh manis dipagi hari, satu mangkok bakso disiang hari, lalu satu mangkok
lainnya di malam hari. Itu takaran mereka tentang kebahagiaan seorang buruh,
yang dituntut untuk memberikan seluruh tenaga dan pikirannya, tanpa boleh
mengeluh.
Mereka
bermain diantara angka-angka. Mereka tidak pernah mempertimbangkan apakah
sejumlah angka mampu memanusiakan seorang buruh. Dan mereka menepuk dada karena
itu.
Memperbaiki
nasib buruh.... Mana mungkin kematian seorang buruh kecil seperti diriku mampu
memanusiakan buruh di tengah sebuah bangsa yang sakit ?
SUARA DARI MASA LALU ITU KEMBALI
MENGHENTAK,
MENGEJUTKAN MARSINAH. TAPI DIA TIDAK
TAKUT.
Aku
tidak takut. Aku tidak takut. (KE KAWAN-KAWANNYA) Aku tidak takut. (KE
SUARA-SUARA) Aku bisa mempertanggung jawabkan semua itu..... Masa hidupku yang
terhempas-hempas yang terus - menerus dihantui rasa takut bisa mempertanggung
jawabkan semua itu.
Kematianku yang menyakitkan.
Tulang-tulangku yang remuk; darahku yang berceceran membasahi tumit kalian
....... Bisa mempertanggung jawabkan semua itu. Bangsa yang bagaimana yang
kalian harapkan aku menyebutnya? Aku mengais-ngais mencari sesuap nasi disana.
Sambil terus-menerus tersandung-sandung, dikejar-kejar gertakan dan
ancaman-ancaman kalian. Aku disiksa disana.....
Aku diperkosa disana,
dibunuh dengan keji.....
Begitu kalian telah mematikanku. Begitu kalian merenggut
seluruh hak hidupku......
Bangsa yang bagaimana kalian pikir
aku menyebutnya? Bangsa yang bagaimana?
KETIKA SUARA
DARI MASA LALU
ITU MENGHILANG, MARSINAH
LAGI- LAGI GUSAR. IA DUDUK SAMBIL
MEMELUK KEDUA LUTUTNYA, SEPERTI MERINGKUK.
Apa sebenarnya yang sedang kulakukan
ini ? Aku kembali mengorek luka itu....
Tuhan,
ini menyakitkan. Tidak ! Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak akan melakukan ini.
Tidak ! Persetan dengan sebuah buku yang terbit. Persetan dengan calon-calon
korban yang sekarang ini mungkin telah berdiri ditepi liang lahat dan segera
akan menelannya. Aku arwah, dengan air mata yang tak habis-habis.... Arwah yang
terus menerus gusar digelayuti beban lama..... Apa yang bisa kulakukan ? Tidak
!
MARSINAH KEMBALI MENENGADAHKAN
KEPALA, SEPERTI BICARA PADA SUARA-SUARA ITU.
Sampaikan pada mereka, Marsinah
tidak akan datang! Marsinah yang lemah.....
Yang lemah lembut.....
|
Perempuan miskin yang tak berdaya dan tidak tahu apa-
|
|
apa.....
|
Tidak! Dia tidak akan datang. Dia akan menunggu hingga
peradilan agung
|
|
itu tiba, dan dia akan berdiri
disana sebagai saksi utamanya.
SUASANA TIBA-TIBA BERUBAH, CAHAYA
MENJADI MERUANG.
MARSINAH BANGKIT HERAN.
MARSINAH BERPUTAR MENGAMATI
SEKELILINGNYA.
Aku disini sekarang..... Sebuah
ruangan yang megah..... Dan disini, sekelompok
manusia berkumpul.....
MARSINAH SURUT KE BALE, MENGAMBIL
SELENDANGNYA.
Aku
akan menghadapi ini dengan sebaik-baiknya.....Aku akan membuat mereka
terperangah. Aku akan mengecohkan mereka dari setiap sudut yang tidak mereka
duga sama sekali.
MARSINAH BERGERAK
KE HADAPAN HADIRIN,
SAMBIL MENATAP SEKELILING.
Aku disini sekarang.....
TATAPAN MARSINAH TERHENTI PADA SATU
KELOMPOK HADIRIN.
Dan kalian..... Aku mengenali betul siapa kalian..... Sebuah generasi, yang
seharusnya ceria dan merdeka, duduk
disini dengan tatapan mengandung duka......
MARSINAH BERGERAK KEARAH KELOMPOK
ITU.
Demi
Tuhan. Bagiku, kalian adalah fakta paling menyakitkan. Kemarahan kalian itu
adalah kemarahanku dulu. Harapan dan cita-cita kalian itu adalah harapan dan
cita-citaku dulu. Citacita yang terlalu sederhana sebenarnya untuk mengorbankan
satu kehidupan. Satu saat, ditengah sebuah arak-arakan, aku menyaksikan kalian menengadahkan
muka ke langit, marah..... Dengan mulut berbuih, kalian memekik menuntut
perubahan Setiap kali aku melihat kalian meronta seperti itu, perasaanku
terguncang. Aku ingin sekali berkata, "Jangan!"
Aku
adalah korban dari kemarahan seperti itu. Dan tidak satupun dari kita bisa
mengelak, kalau kematianku adalah lambang kematian kalian. Lambang kematian
sebuah generasi. Kematian dari setiap cita-cita yang merindukan perubahan.
MARSINAH BERHENTI BEBERAPA SAAT SEPERTI SEDANG
MENJERNIHKAN PIKIRANNYA. IA LALU
MENATAP KELANGIT, DAN MULAI BICARA.
Kalian
mungkin tidak akan memahami ini ...... Tapi aku ya. Aku memahaminya betul.
Didalam matiku aku telah melakukan perjalanan mundur. Sebuah penjelajahan
berharga yang kemudian membuka mataku tentang berbagai hal.
Dari
situ aku jadi tahu banyak..... Aku jadi tahu kalau dunia dimana dulu aku
dilahirkan; Dunia yang kemudian dengan dingin telah merenggut hak hidupku;
adalah dunia yang sakit, sakit sesakit-sakitnya. Dunia dimana
kebenaran-kebenaran dibungkus, dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur
dalam-dalam......
Didunia
seperti itulah aku dibungkam. Tidak cukup hanya dengan gertakan, dengan
penganiayaan dan pemerkosaan yang dengan membabi buta telah mereka lakukan.
Untuk yakin mulutku tidak lagi akan terbuka, mereka mencabut nyawaku sekaligus.
Sekarang,
apa yang harus kukatakan pada kalian? Aku tahu menolak adalah hak kalian. Hak
paling azasi dari setiap umat. Tapi lihat, pelajaran apa sekarang yang kalian
peroleh dari apa yang aku alami?
MARSINAH MENGAMBIL SEBUAH KORAN, LALU MEMBUKA-
BUKANYA, SESAAT.
Kalian
pasti tidak bisa membayangkan seberapa banyak kebenaran yang aku ketahui, yang
seharusnya kalian ketahui karena sebagai warga masyarakat kalian berhak untuk
itu. Aku tidak membaca apa-apa disini. Berita yang kalian dapatkan hanya berita
yang boleh kalian dapatkan, bukan yang berhak kalian dapatkan. Itu sebab kalian
baru heboh setelah kebakaran hutan merambat kemana-mana dan mulai menelan
korban. Sementara aku.....
Aku
sudah mengetahui semua itu lama sebelum api pertama disulut. Aku tahu siapa
yang menyulut api, dan aku tahu persis kenapa. Semua kalian heboh membicarakan
kebakaran hutan. Semua kalian marah dan resah..... Koran-koran,
seminar-seminar, pertunjukanpertunjukan kesenian meradang membicarakan
kebakaran hutan, seolah kebakaran hutan itu bencana yang datang begitu saja
dari langit dan hanya mungkin ditangiskan pada Tuhan. Kehebohan yang tak
bertenaga dan tak punya gigi.....
MARSINAH MEMBACA KORAN
Pemulihan kondisi moneter akan terus
diupayakan. Jangan aku dikultuskan..... Tapi
bukan berarti aku menolak untuk
dikultuskan..... Namun, renungkanlah..... Waou....
MARSINAH MELEMPAR
KORAN ITU KASAR.
TAPI TIBA-TIBA JADI TERPERANJAT ATAS ULAHNYA.
Sebentar!
Apakah diruangan ini ada intel atau aparat? Alhamdulillah..... Dan tolong
dicatat baik-baik. Marsinah sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menggugat.
Dia hanya takjub..... Rakyat yang mana yang sempat memikirkan pemulihan kondisi
moneter? Apa yang mampu mereka pikirkan dengan perut melilit? Mereka
terseok-seok terancam kelaparan. Pikiran dan perasaan meraka tercekam mendengar
ratusan orang mati karena kelaparan justru ditempatkan dimana uang sedang terus
ditambang.
Didunia
seperti itulah kalian dilahirkan. Dunia dimana serigala-serigala berkeliaran
mengejar nama dan kemuliaan, dan untuk itu kebodohan dan kelaparan kalian
penting terus dipertahankan. Dunia dimana kemiskinan kalian dijadikan aset
penting, demi lahirnya seorang Pahlawan, Pahlawan Pengentasan Kemiskinan.
Didunia
seperti itulah kalian tumbuh sebagai generasi penerus. Dunia dimana diatas
pundak kalian masa depan sebuah bangsa dipercayakan, sambil pada saat yang
sama, kedalam rongga hidung kalian serbuk yang mematikan akal sehat, terus
menerus ditiupkan. Generasi tumbal..... Generasi yang malang....
MARSINAH MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH
LAIN.
Lalu
kalian.... Entah apa yang aku katakan pada kalian? Terus terang, berhadapan
dengan kalian adalah bagian yang paling aku takutkan. Lengan kananku biru
kejang-kejang dicengkram dengan kasar oleh seorang satpam yang mencoba menjaili
izin haidku dengan merogoh kasar celana dalamku.
Berminggu-minggu
si Kuneng, buruh dibawah usia itu dibelenggu rasa takut ketika satpam lain
dengan kasar meremas susunya yang belum tumbuh, yang masih melekat ditulang
rusuknya. Satpam-satpam itu sama melaratnya dengan kami. Sama menderitanya.
Hanya karena mereka laki-laki dan punya pentungan.....
Mereka
merasa berhak ikut-ikutan melukai kami...... Ikut-ikutan memperlakukan kami
bagai bulan-bulanan. Tapi bukan Subiyanto.
Bagi
kami Subiyanto adalah kekecualian. Subiyantolah yang membawa Kuneng ke ahli
jiwa, ketika perempuan itu satu saat betul-betul terguncang. Dia mencari
pinjaman kesana kemari untuk itu. Bagi kami Subiyanto selalu menjadi
pelindung.... Dan dia dituduh sebagai salah satu pembunuhku ? Gila..... Lalat
hinggap dimakan malamnya dia tidak akan mengusirnya. Itulah Subiyanto.
MARSINAH MEMBUANG PANDANGANNYA,
JAUH. SINIS.
Aku
menyaksikan bagaimana Lembaga Peradilan berubah menjadi lembaga penganiayaan.
Aku menyaksikan bagaimana saksi-saksi utama dibungkam, dilenyapkan..... Menyaksikan
saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.... Dan Subiyanto
ada disana..... Lelaki berhati lembut itu disiksa disana. Dianiaya,
ditelanjangi, disetrum kemaluannya, dan dipaksa mengakui telah ikut membunuhku.
Mereka menciptakan cerita-cerita bohong; Mereka memfitnah; Mereka menghakimi
orang-orang yang tidak pernah ada.
Kalian
semua tahu itu bohong. Kalian tahu persis itu rekayasa. Aku tahu kalian
akhirnya berhasil membebaskan Subiyanto dari rekayasa sinting itu. Lalu
bagaimana dengan aku? Bagaimana mungkin nyawaku lepas begitu saja dari tubuhku
tanpa seorang pelaku?
Apa
yang akan kalian katakan tentang itu? Bahwa Hukum itu gagap? Bahwa Lembaga
Peradilan itu gagap? Bahwa diatas meja, dimana mestinya ditegakkan disitulah,
uang, darah dan peluru lebih dahulu saling melumuri? Demi Tuhan. Aku tidak bisa
membayangkan, bagaimana kelak kalian akan mempertanggungjawabkan itu pada anak
cucu kalian..... Lembaga Peradilan adalah harapan terakhir bagi orang-orang
kecil seperti kami. Satu-satunya tempat yang seharusnya memberikan pada kami
perlindungan. Tapi apa yang kami dapatkan? Apa yang kami dapatkan?
MARSINAH TIBA-TIBA BERHENTI,
MENGALIHKAN TATAPANNYA KE ARAH LAIN.
Nanti dulu. Aku seperti menyaksikan
sebuah pemandangan bagus.
MARSINAH MENGAMBIL TEROPONG DARI MEJA PERLENGKAPANNYA, UNTUK
BISA MELIHAT DENGAN JELAS.
Bukankah bapak yang duduk di pojok
itu adalah seorang anggota DPR? Atau.....
Janganjangan,
beliau ini adalah anggota DPR dari Partai terlarang itu? Hm.... Lagi-lagi
Kuneng.... Lagi-lagi perempuan malang itu mengingatkanku betapa menyakitkannya
menjadi orang tak berdaya. Satu tahun Kuneng berhasil menunda pengosongan
kampung Ijo itu. Kampung dimana Orangtuanya memiliki sepetak kecil tanah yang
dibeli dengan cara cicilan.
Bulak-balik
Kuneng ke kantor DPR. Dia yakin betul para wakil Rakyat itu mampu membelanya
memperoleh ganti rugi yang lebih layak. Satu hari, sepulang kerja, Kuneng
terperangah kecewa. Kampung Ijo itu sudah rata digilas traktor. Kuneng akhirnya
mati gantung diri. Dan sampai akhir hayatnya dia tidak pernah memahami
permaianan apa sebenarnya yang terjadi diatas semua perkara itu.
Sejak
itu, setiap kali gedung raksasa di Jakarta itu disorot dilayar kaca, hatiku
geram. Katanya gedung itu gedung rakyat. Katanya di gedung itu nasib rakyat
dibela. Tapi apa yang menimpa Kuneng, bagiku cukup untuk tidak percaya pada
apapun yang terdapat di gedung itu. Katakanlah nasib kami sebagai buruh tidak
ada dalam catatan. Tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat yang membutuhkan
pembelaan.....
Tapi
aku menyaksikan bagaimana harkat orang-orang dirampas, menyaksikan rumah-rumah
digusur; Ibu-ibu menangis, anak-anak kucar-kacir kebingungan.....
Aku
bahkan menyaksikan bagaimana popor senapan mengamuk merenggut nyawa dan harga
diri. Dan gedung raksasa itu tidak berbuat apa-apa selain bungkam.
Dan
bapak.... Bapak duduk disini, ditengah peluncuran sebuah buku yang ditulis atas
kematian seorang buruh kecil, karena ketidakmampuan kalian membela nasibnya.
Demi Tuhan.... Aku ingin sekali tahu, apakah kesadaran Bapak hadir disini
merupakan hasil proyek pembekalan yang menghebohkan itu?
MARSINAH MENINGGALKAN PAK DPR,
BICARA PADA HADIRIN.
Kalian
lihat itu? Bungkam. apa aku bilang? Wakil rakyat itu, mestinya dibekali Rakyat,
bukan sebaliknya.
DERAP SEPATU ITU KEMBALI TERDENGAR.
MARSINAH SADAR DIA SUDAH HARUS MENYELESAIKAN TUGASNYA. IA SURUT PERLAHAN. MENDADAK
TATAPANNYA BERUBAH, GELAP, GERAM.
Sebuah
buku ditulis atas kematianku.... Lalu diluncurkan.... Lalu kalian semua hadir
disini menunjukan keprihatinan. Keprihatinan apa? Kalau ada yang berhak untuk
prihatin disini, aku. Akulah perempuan malang itu.... Aku Marsinah....
Demi
Tuhan, aku ingin sekali bertanya, "Apa sebenarnya yang kalian pikir telah
kalian perbuat untukku"? Penghargaan-penghargaan itu? Buku yang
diterbitkan itu? Atau jerih payah yang kalian berikan untuk menjadikanku
seorang Pahlawan? Aku tidak pernah bercita-cita jadi Pahlawan.
MARSINAH TERSENDAT OLEH KEMARAHAN YANG MENDADAK MENDESAKNYA.
Aku
nyawa yang tersumbat..... Aku kehidupan yang dihentikan dengan keji hanya
karena aku mengira aku punya hak untuk mengatakan tidak.... Hanya karena
mengira aku berhak untuk punya harapan, Berhak punya jiwa dan raga.....
Memperjuangkan
sesuap nasi untuk tidak terlalu lapar, Memperjuangkan sedikit tambahan uang
untuk meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan. Aku menyaksikan kawan-kawanku
di PHK dibawah ancaman moncong senjata. Dan aku mencoba membelanya..... Aku
hanya mencoba membelanya.... Dan karena itulah aku dianggap berbahaya dan layak
untuk dibunuh.
Kalian tahu apa sebenarnya
yang paling menyakitkan dari semua
itu? Kalian
membiarkan dan menerimanya sebagai kebenaran..... Kebenaran sinting.....
Kebenaran yang tidak bisa disentuh
atau diapa-apakan.....
Kekuatan
apa kira-kira yang mampu meremukkan tulang kemaluan seorang perempuan hingga
merobek dinding rahimnya, kalau bukan kebiadaban?
SUARA-SUARA MASA LALU ITU KEMBALI
MENYERGAP MARSINAH. IA TIBA-TIBA PANIK, SEOLAH SELURUH PENGALAMAN PAHIT DIMASA LALU
ITU MENDADAK KEMBALI KEDALAM TUBUHNYA. IA BERPUTAR....
Aku
ingat betul bagaimana rasa takut itu menyergapku, ketika tangan-tangan kasar
tiba-tiba mengepungku dari belakang, mengikat mataku dengan kain, kencang, lalu
mendorongku masuk kesebuah mobil, yang segera meluncur, entah kearah mana.....
Tidak
ada suara..... Aku tidak tahu seberapa jauh aku dibawa..... Tapi aku ingat
betul ketika mobil itu berhenti, aku didorong keluar kasar sekali. Aku diseret,
asal..... Aku tidak ingat seberapa jauh aku diseretseret seperti itu. Aku hanya
ingat tubuhku menggigil keras didera oleh rasa takut yang dahsyat.
Aku
kemudian mendengar sebuah pintu dibuka tepat dihadapanku. Aku tidak tahu apakah
kepalaku membentur tembok atau sebuah pentungan telah dipukulkan kekeningku.
Aku hanya tahu aku tersungkur dilantai..... Ketika aku mencoba bergerak,
beberapa kaki bersepatu berat dengan sigap menahanku, menginjak kedua tulang
keringku, perutku, dadaku, kedua tanganku....
Kata-kata
kotor berhamburan memaki, mengikuti setiap siksaan yang kemudian menyusul. Aku
tidak tahu berapa kali tubuhku diangkat, lalu dibanting keras.
Diangkat lagi,
lalu dibantinglagi....
|
Kelantai.....
|
Kesudut
meja....
|
Ke kursi
|
.... Sampai
|
akhirnya aku betul-betul tak
berdaya.....
|
||||
Kebiadaban itu
tidak mengenal
|
kata puas.....
|
Aku bahkan
|
sudah
|
tidak bisa
|
menggerakkan
ujung tanganku ketika dengan membabi buta, mereka menggerayangi seluruh
tubuhku.
MARSINAH KEMBALI TERSENDAT, GUGUP.
Tuhan!
Hentikan ini..... Aku merintih dalam bathinku..... Aku meronta. Aku terus
meronta..... Aku berteriak-teriak sekuat tenaga meski aku tahu suaraku tidak
akan terdengar. Suaraku bertarung melawan kain yang disumpal dimulutku. Mulut
dan
rahangku seakan terkoyak. Aku terus
melawan..... Terus..... Sampai aku akhirnya
kehabisan semuanya..... Suaraku....
Tenagaku..... Semua.....
Aku
biarkan mereka melahapku sepuas-puasnya.Aku biarkan tulang-tulangku
diremukremukkan.
Dan.....
MARSINAH TERSENDAT LAGI. TUBUHNYA
BERGETAR KERAS.
Dan sebuah benda, besar, tajam,
keras..... Yang aku tidak mampu membayangkan,
apa.... Dihunjamkan menembus tulang
kemaluanku.....
MARSINAH MENJATUHKAN
TUBUHNYA. IA BERGERAK
SETENGAH
MERAYAP.
Tuhan,
kenapa? Kenapa aku ? Aku ingin sekali menangis, tapi aku tidak mampu.
Aku terlalu remuk bahkan untuk
meneteskan setetes air matapun. Darah.....
|
Aku
|
|
melihat darah
dimanamana. Darah itu menghitam dan kotor..... Kotor sekali.....
|
Dia
|
|
melumuri perutku.....
|
Melumuri kedua pahaku bagian dalam. Berceceran dilantai;
|
|
Belepotan
dipintu, dikaki meja..... Dimanamana..... Itulah saat-saat paling akhir aku
bisa merasakan sesuatu. Sesuatu yang terlalu menyakitkan. Sesuatu yang
menakutkannya.....
|
Yang
kebiadabannya.....
|
Demi
|
Tuhan, tidak layak
dialami
|
||
siapapun.....
|
|||||
Aku merasa
hina......
|
Aku
merasa kotor.....
|
Dan aku sendirian
|
.....Aku betul-betul
|
||
sendirian......
|
|||||
Aku berusaha mengangkat tubuhku
mencari
|
...... Entah apa.....
|
Entah siapa yang
|
|||
kucari? Nenekku Poerah dan
adik-adikku? Ayahku
|
....Kawan-kawanku? Dimana
|
||||
kawan-kawanku? Dimana kalian waktu
itu?
|
|||||
Tuhan, kenapa......
|
Kenapa kau biarkan kebiadaban
merobek-robek kesucianku?
|
Kenapa
kau biarkan ketidakadilan menggerayangi harkat dan kehormatanku? Kau ajarkan
kepadaku tentang cinta..... Tapi kau biarkan buasnya keserakahan
merampas hakku memilikinya......
|
Kau beri aku rahim......
|
Kau janjikan kepadaku
|
tentang mukjizat-mukjizatnya.....
|
Tapi kenapa
kau
|
biarkan ia remuk
oleh
|
menakutkannya kekuasaan. Kenapa?
Kenapa?
|
DENGAN SANGAT BERAT MARSINAH BANGKIT. DIA
BERGERAK SEMPOYONGAN SEOLAH IA BARU SAJA DIPERKOSA.
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku
yang masih tersisa, lalu mencoba berzikir.....
Tapi ketika aku
hendak membuka mulutku memanggil asmanya....
Tuhan....
Mulutku terasa kelu... Aku merasa
tidak layak..... Aku merasa terlalu kotor..... Kotor
sekali......
Aku
lalu mulai menghitung.... Satu, dua, sepuluh, seratus,...... Terus..... Aku
terus menghitung.... Enam ribu. Tujuh ribu. Sepuluh ribu...... Aku ingin sekali
dapat melupakan ketakutanku. Aku ingin sekali dapat membunuh perasaan jijik
yang
menyerangku,
tapi aku tidak berhasil......
|
Dalam keadaan remuk, aku berusaha keras
|
||||||
untuk bangkit,
lalu mulai berputar......
|
|||||||
MARSINAH MULAI MEMUTAR TUBUHNYA,
PELAN, SAMPAI MENJADI
|
|||||||
KENCANG. Aku
berputar......
|
|||||||
Aku terus berputar.....
|
Berputar.....
|
Berputar......
Berputar,......
|
|||||
MARSINAH TERSUNGKUR
JATUH, HENING. TERDENGAR
SUARA
|
|||||||
MEMBACAKAN LA ILLAH HA ILLALLAH
(KOOR)
|
|||||||
Aku rayakan
|
kegilaanku
|
pada
|
penderitaanku
|
yang tak
tertahankan....
|
Aku
|
||
pertontonkan
|
dalam
|
pesta
|
dosa
|
dan
|
kenistaan
|
..... Aku
nyalakan bara
|
dalam
|
dadaku..... Aku biarkan asapnya
mengepul dari setiap pori-poriku..... Api mengaliri
pembuluh darahku..... Api nafas
didalam paru-paruku..... Seluruh diriku hangus,
terbakar oleh kebencianku pada
ketidak adilan.....
CAHAYA
VERTIKAL MENIMPA KERAS TUBUH MARSINAH. MARSINAH
MENGULURKAN TANGANNYA DAN MERAUP
TANAH DISEKITARNYA
KE DALAM GENGGAMAN, BICARA LIRIH.
DIKEJAUHAN, SESEORANG
MEMBACAKAN
"
Yaa ayyatuhan nafsul...." Tanah..... Tanah ini.... Tanah yang dulu
memberiku kehidupan dan harapan, kini menyatu dengan daging dan tulang-tulangku
Kini, aku adalah tanah dan debu sekaligus.
MARSINAH MERAYAP UNTUK MENCAPAI BALE
DAN MULAI BICARA
dimana kekuasaan adalah segalanya. Sebuah Bangsa dimana
apapun halal, demi kekuasaan.
Namun,
kepadamu semua aku ingin mengingatkan! Kalian telah membiarkan kehidupanku
terenggut. Jangan kalian biarkan ia terenggut sia-sia..... Menemukan siapa
pembunuhku yang sesungguhnya, bagiku tidak lagi berarti apa-apa.
Namun, dengan sangat aku memohon, setidaknya, demi kawan-kawanku,
" Temukanlah"!!!..... Jauhkan mereka dari tangan-tangan kotor!
Selamatkan mereka dari ketamakan orang-orang yang dengan pongah menganggap
dirinya pemilik negeri ini,
Ketahuilah.....
Menyelamatkan mereka, kalian telah menyelamatkan Negeri yang kalian cintai ini
dari dosa dan kehancuran....... TERDENGAR SUARA
MEMBACAKAN
TARHIM, CAHAYA PERLAHAN FADE OUT. 27 SEPTEMBER 1997
SELESAI
7. MAYAT TERHORMAT
Karya : AGUS NOOR & INDRA
TRANGGONO
Dimainkan Butet Kartaredjasa
Pemandu Pengolah Gagasan: Adi
Wicaksono
Supervisi Penyutradaraan: Jujuk Prabowo
Penata Musik: Djaduk Ferianto
Pemusik: Djaduk, Indra Gunawan,
Jono, Koco, Margiyono, Vievien
Dimainkan pertama kali di Graha Bakti Budaya, TIM, 27 s/29
Maret 2000, dan di Purna Budaya
Yogyakarta, 7 & 8 April 2000.
PROLOG
“Selamat malam bla, bla, bla
(improvisasi)
Sebelum
pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun kesepakatan, yaitu
hendaknya pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi tu-la-lit-tu-la-lit
ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi ilegal untuk sementara diharamkan. Maka
saya memberi kesempatan kepada anda untuk mengeksplorasi naluri-naluri purba
anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan handphone anda ! Ini
jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau membacok, hanya karena
perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti ternyata masih
tu-la-lit-tu-la-lit, nikmatilah risikonya dipisuhi penonton lain.
Baiklah
saudara. Meskipun saya berdiri di sini dengan wajah coreng moreng kayak badut,
sesungguhnya saya ini bukan badut. Karena terus terang saja, saya tidak ingin
memperbanyak jumlah badut di negeri ini yang dari hari ke hari jumlahnya terus
menggelembung. Kita sudah polusi badut, over kuota. Semua posisi sudah diisi
oleh orang-orang yang lucu dan menggemaskan, sampai-sampai tukang monolog yang
sok nglucu terancam kehilangan sandang pangannya.
Oke,
sekarang saya ingin mengajak para penonton yang terhormat untuk sekejap
menengok keberadaan mayat-mayat. Tapi saya harap anda jangan membayangkan
suasana horor seperti yang sering terlihat dalam sinetron-sinetron misteri di
televisi. Kalau horor di televisi itu, tidak menakutkan. Tapi justru malah
menggelikan. Tidak
membikin
bulu kuduk berdiri, tapi malah membikin satu-satunya elemen dalam tubuh saya
berdiri. Yah…itulah salah satu kelebihan bangsa kita: terlalu cerdas
sehingga apapun yang dilakukan
seringnya meleset dari sasaran. Mau bikin horor
malah
menggelikan. Mau mengusut perkara dan menuntaskan kecurangan-kecurangan,
ee…hasil yang diIapai malah penundaan-penundaan dan
pengampunan.
Nah sekarang, kita mulai saja
pertunjukan ini dengan pantun pendek:
Kapal keruk talile kenceng,
nyemplung laut dihadang gelombang
Nonton monolog obat puyeng,
asal rileks dan dada lapang
BAGIAN PERTAMA
Sebuah sel
panggung. Remang dan sayup. terdengar jeruji dipukul monoton. Lalu perlahan
sepotong cahaya bagai lembing perak, menghujam tubuh Siwi yang
lunglai kepayahan bersandar di jeruji sambil memukul-mukul
piring seng.
Sesekali mengerang,
bahkan meraung…. Siwi terus memukul-mukul piring seng. Sampai kemudian muncul
suara derap sepatu. Semula pelan, kemudian mengeras dan mengeras. Siwi
tergeragap. mendadak piring seng itu berhenti bersuara. menolak dibunyikan.
Siwi sekuat tenaga berusaha terus membunyikan piring itu ke jeruji sel. tetapi
piring seng itu tertahan diam. Siwi marah kepada piring seng)
Kenapa?
Takut? Kamu ini aneh lho, cuma piring seng saja kok langsung gemeter begitu
mendengar derap sepatu. Ayo terus bersuara. Bernyanyilah. Karena hanya kamulah
satu-satunya sahabat saya di sini.
Siwi mencoba sekuat
tenaga menggerakkan piring itu, tetapi piring itu tetap tak bergerak
Dasar
piring pengecut! Ingat, eksistensimu ini sudah kuangkat, sehingga kamu tidak
sekadar menjadi alat makan, tapi subyek yang bersuara. Kamu punya hak bersuara.
Ayo bersuara!
Kembali Siwi berusaha membunyikan piring itu, tetapi tetap
tak bisa
Ayo,
toh, sebagai perkakas yang nasibnya sudah saya naikkan derajatnya, mestinya
kamu harus tunduk kepadaku. Ngerti!
Malah mendadak, piring itu menyerang kepala Siwi
Eit,
kok malah menyerang. Oo, tahu saya, pasti kamu sudah kongkalingkong dengan para
aparat itu untuk melawan saya, iya kan?! Pasti diam-diam, saat saya tertidur,
kamu keluar sel ini kasak-kusuk dengan mereka, dan menyusun rencana supaya
tidak loyal lagi padaku.
Piring itu menggeleng
Sudah
jangan mungkir. Di sini, kamulah satu-satunya sahabatku. Saya berteman dengan
kamu, karena hanya dengan beginilah saya bisa memelihara akal saya. Menjaga
kemampuan saya untuk memelihara harapan, impian. Alangkah konyolnya jika saya
sudah tidak mempunyai harapan. Dan lebih konyol lagi, jika
saya
tidak punya kemampuan untuk memelihara harapan. Jadi, tolong, janganlah
sekali-kali kamu membelot, melawanku, Terimalah ketulusan cintaku …. Atau
jangan-jangan kamju ingin agar saya “ad interim” kan? Dik piring kamu harus
bersyukur, karena kamu mempunyai
kedudukan yang sejajar denganku. Jangan bertingkah, lu. Saya mutasi jadi kakus,
di-beol-in kamu !
Mendadak seperti
terdengar lagi langkah kaki — atau entah apa — begitu pelan, seperti bisikan,
membuat Siwi menajamkan pendengarannya, mendekatkan telinganya ke piring seng
itu. Mendadak piring seng itu meloncat melacang, seperti kaget dan ketakutan.
Siwi Berbicara pada piring seng
Hai, mau kemana? Jangan tinggalkan
aku. Cepat turun sini. Jangan ngambek gitu
….Ada apa?
Piring seng itu masih melayang-layang, bergerak-gerak
seperti bicara
Kamu
ngomong apa, sih? Ngomong saja terus terang?
Piring seng itu turun mendekati Siwi, nampak berbisik
Ayo toh
jangan bisik-bisik begitu. Ah, yang bener! Kamu jangan sembarangan bisik-bisik
lho. Atau kamu mau jadi tukang bisik? Semprul! Yang menentukan kamu mau jadi
apa itu aku. Nasibmu sepenuhnya di tanganku. Aku bisa saja menjadikanmu
terhormat, tapi juga bisa menjadikan kamu sekadar barang rombengan. Begitu saja
kok repot. Sini, apa kamu ingin saya jadikan barang rombengan?!
Piring menggeleng
Makanya,
sebagai aparat kamu ini jangan semena-mena, apalagi dengan orang sipil macam
aku. Piring ngambeg, lalu melayang lagi menjauhi Siwi Lho,lho…jangan kabur….
Percayalah, meskipun aku ini sipil yang sedang berkuasa — setidak-
tidaknya
atas dirimu — aku tidak akan menyakiti kamu, apalagi menculik atau melenyapkan
kamu. Aku justru ingin menjadikan kamu pouring merdeka….
Di gertak begitu,
piring itu langsung mengkerut, takut. Lalu SIWI berusaha membunyikan piring itu
kembali, tetapi mendadak terdengar suara derap sepatu, membuat SIWI ketakutan.
Setelah suara sepatu itu berlalu, Siwi ngomong kepada piring seng
Ternyata
kita ini sama-sama penakut, ya. Ternyata ada yang lebih berkuasa daripada saya
yang orang sipil ini. Ternyata ada yang lebih aparat daripada aparat macam
kamu. Mereka adalah aparat yang hanya bisa membentak, memerintah dan memaksa
kita untuk patuh melalui teror dan ketakutan. Ternyata kita ini senasib.
Ternyata kita ini sama-sama sipil! Sama-sama rombengan! (Membanting piring seng).
Siwi terpuruk.
Musik tipis mengalun. Sel itu kembali ditangkup kesunyian yang menekan. Siwi
menggelar tikar. Minum.. suasana kendor ….Siwi mengambil
kartu, lalu
membanting-banting kartu seakan-akan sedang Berjudi …. Siwi setengah mengeluh,
setengah meracau
Penjara..
kuburan ……apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak
ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan
dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu
mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara, karena
juga sering kali berujung kematian …
Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali menerawang keluar
jeruji, memukul-mukul piring seng, kemudian bergerak pelan ke arah bibir
panggung, dan suara musik yang sayup perlahan menghilang, bagai angina yang
bergerak menjauh… Kepada penonton.
Anda
pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap
kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militant. Wouw,…
betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus
merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit terhibur.
Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang orang
penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.
Tapi,
sebentar …… Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya
ini memang orang besar……..setidak-tidaknya ada yang besar di dalam
diri
saya …. Iya lho, jangan-jangan saya ini benar-benar pemberani, militan dan
cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu
mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini
punya potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya
jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau
nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya jadi
petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu bukan
soal
pengkhianatan.
Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu tidak konsisten…..
Pause)
Tapi
celakanya, saya ini cuma seorang juru kunci. Kekuasaan saya cuma sebatas
kuburan dan tulangtulang berserakan. Itupun cuma juru kunci kuburan umum.
Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik, misalnya, kalau saya ini juru kunci
Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman Makam Pahlawan tentu
lebih
prestisius
dan memiliki banyak privilige. Lha ya jelas, lha wong yang diurusi itu jazad
para pahlawan. Ingat… Pahalawan (sambil
menggelembungkan mulut).
Meskipun
yang disebut pahlawan itu lebih pada orang-orang yang memegang senapan. Istilah
yang digunakan saja beda. Kalau orang bersenapan yang mati maka ia disebut
gugur dalam tugas: Gugur satu tumbuh seribu, tunai sudah janji bhakti …. Lho
mati saja ada lagunya. Coba kalau orang biasa yang mati, paling banter disebut
meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang mati, maka dengan semena-mena ia
disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok nggak ada ya kere mati disebut
gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada galibnya juga punya tugas
mulia, karena kemuliaan itu ada ukurannya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana
kita memaknai kemuliaan itu, meskipun ya kebangetan jika jika tiba-tiba ada
kere yang merasa benar-benar mulia. Gila masyarakat kita ini, ternyata
masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh kelas, tergantung dari status
sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para pendekar, cenderung menganggap senapan
sebagai ukuran kepahlawanan. Bukan pada kecemerlangan otak, ketulusan
pengabdian, dan ketegaran integritas dirinya.
Tapi,
saya tidak ambil peduli. Meskipun mayat-mayat yang saya urusi tidak
dikategorikan sebagai pahlawan, saya toh bangga. Bangga sekaligus terharu,
karena mayat-mayat yang saya urus tak pernah mengeluh, meskipun tempat
persemayamannya panas, gerah,, sumuk…., mereka tidak minta AC untuk ruang kuburnya.
Sangat berbeda dengan mayat-mayat di kuburan Senayan, baru sekali saja jadi
mayat, sudah macem-macem menuntut ini-itu, minta kenaikan gaji …Akhirnya saya
paham. Kalau toh mereka itu tak banyak menuntut ini-itu, barangkali mayat-mayat
itu memang sudah lama terdidik dan terbiasa hidup menderita ketika hidup di
dunia. Sehingga wajar, misalnya, jika mereka lebih merasa nyaman di kuburan.
Karena di dalam kubur mereka tidak pernah mengalami tekanan-tekanan dalam
bentuk apa pun. Mayat-mayat yang urus itu begitu santun. Mereka adalah
klien-klien saya yang terhormat, meskipun bisa jadi mereka mati tidak dengan
cara terhormat. Mungkin saja ada yang terpaksa diseyogyakan untuk mati karena
diberi bonus peluru, atau mendapatkan kehormatan dengan dijerat lehernya, atau
dipaku kepalanya, diperam dalam kulkas… Dan ada satu mayat perempuan yang membisiki,
bahwa ia mati karena kemaluannya dimasuki benda bulat, panjang dan tumpul:
selomjor besi. Ya… selonjor besi yang bulat, panjang dan tumpul itu dimasukkan
pelan-pelan, kemudian ditekan sekuat tenaga. Sehingga rahimnya hancur, kemudian
ia dibuang di sebuah hutan. Saya benar-benar terkesima dengan nasib mayat
sahabat saya itu. Mbak, Mbak, Mbak Wahai mayat yang selalu hadir dalam mimpi
burukku, dimanakah kamu? Ceritakan padaku tentang dirimu….
-
Apa sih status Anda waktu hidup di
dunia?
-
+ Saya hanyalah seorang buruh
-
Lalu kenapa Anda sampai meninggal?
-
+ Saya dituduh memimpin demonstrasi
kenaikan gaji.
-
- Bukankah Anda yang bernama…..
-
+ Jangan sebut nama saya. Nama saya
telah menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-orang yang dengan bangganya
menghabisi saya demi perut mereka.
-
- Tapi nama Anda sudah sangat
terkenal. Bahkan menjadi legenda yang cukup menggoncang dunia peradilan…
-
+ Dunia peradilan hanya terguncang.
Namun tak mampu berbuat apa-apa. Nama saya hanya berhenti sebagai fakta,
sebagai data yang disimpan dalam berkas-berkas mereka.
-
- Apakah Anda bisa menyebut nama
orang-orang yang melenyapkan Anda?
-
+ Tidak. Kalau saya sebutkan, mereka
pasti akan membunuh saya lagi. Saya takut untuk mati yang kedua kali.
SIWI (tersadarkan. Lalu berkata):
Kenapa aku justru dleweran ngurusi persoalan besar yang
masih gelap ? Bukankah persoalanku sendiri masih gelap ? Aku sendiri tak pernah
tahu, bahwa diriku memiliki kelayakan untuk dikurung seperti ini. Tapi soalnya
barangkali bukan layak atau tidak layak untuk dipenjara. Yang jelas, kasus ini
butuh korban. Butuh tumbal. Dan aku menolak untuk ditumbalkan !
Besok,
kepada interogrator akan saya katakan persoalan yang sesungguhnya. Biar
semuanya jelas. (Siwi mengantuk) Oalllah…..interogasi, interogasi….. lagi-lagi
Lagi-lagi interogasi …..
Mendadak terdengar
derap suara sepatu. SIWI ketakutan. Ia segera bersembunyi dan tidur meringkuk
di salah satu ruangan sel.
BAGIAN DUA
Ketika SIWI
tertidur, setting jeruji penjara berubah menjadi gerbang kuburan yang mendadak
terbuka. Terdengar suara deru truk, mengeram dalam kelam. lalu mengendap derap
kaki, memasuki kuburan, teriakan-teriakan yang seakan menyembunyikan rahasia,
tetapi diucapkan dengan tergesa. Semua menggambarkan suasana pemakaman ratusan
mayat, yang serba darurat: cepat dan gawat. SIWI, perlahan-lahan bangun dari
tidurnya, tergeragap menyaksikan semua itu. Lalu ia pelan-pelan mengendap dalam
gelap. Sampai
kemudian suara truk
menderu, menjauh. Siwi mengamati timbunan tanah, sesekali mengoreknya dengan
tangannya gugup, gugup…. satu.., tiga… sepuluh… Empat ratus….seribu lima
ratus….lima ribu…. Terus menghitung
Dari malam ke malam semakin banyak saja mayat yang mereka
lemparkan ke kuburan terpencil ini. Ini sudah malam yang ke sepuluh atau entah
ke berapa. Otak saya jadi malas mengingat, karena begitu seringnya hal ini
terjadi. Aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Sepanjang saya jadi penjaga
makam, baru kali ini saya mengalami kejadian seaneh ini. Saya memang mendengar
kalau saat ini sering terjadi pembunuhan. Jangan-jangan ini bukan sekadar
pembunuhan, tapi pembantaian….. Siwi terus Hergerak ke sekeliling panggung,
mengamati mayat-mayat yang terkubur bergelimpangan tak sempurna. Ia terkepung
oleh hamparan mayat yang begitu mengenaskan. Berulangkali ia memungut sesuatu
dan mengamati “benda” yang ada ditangannya, dan ia selalu kaget terbelalak.
Kepala… Bji mata….. tangan…… kaki….. gila…. Tubuh manusia
dicerai berai seenak
wudelnya sendiri.
Rupanya iblis sudah menjelma pada diri manusia. Perilaku mereka jauh lebih
iblistik daripada iblis itu sendiri. Siwi terus Bergerak mengamati
“mayat-mayat” yang
bergelimpangan.
Musik. Siwi menguburkan mayat-mayat dalam suasana yang karikatural, sampai
akhirnya terhenti ketika menjumpai mayat perempuan berkuning langsat
Astaga…saya
kenal perempuan ini. Kenapa ia harus mati. Gila… aroma kematiannya masih terasa
menyengat, dan dari selangkangnya masih mengalir darah. Sempat-sempatnya
pembunuh itu menyempurnakan keiblisannya sehingga hancurlah kehormatan
perempuan ini . Mayat perempuan itu merintih)
“Saya
tidak tahu apa kesalahan kami. Tiba--tiba saya lihat puluhan orang datang
menyerbu toko kami. Harta benda kami dijarah. Mereka seperti menumpahkan
kebencian kepada kami. Papah dan mamah saya disiksa, sementara saya dan cacik
saya dijadikan pesta. Keluarga kami
dibantai.
Toko kami dibakar lalu papah saya dilempar ke dalam lautan api. Juga mamah
saya, cacik saya, engkoh saya, dan saya…”
Gila!
Peradaban apa ini ? Bagaimana mungkin nafsu dan kekejaman bisa bekerja sama
secara kompak begini? Manajemen kekejaman macam apa yang mereka gunakan? Apakah
ini yang disebut kekejaman dengan paradigma baru? (Pause) Paradigma-paradigma
ndasmu!
Siwi mengangkat
satu persatu mayat itu, dengan perasaan tertahan. Ia berulangkali mau muntah
mencium anyir darah. Ia mematung diantara “mayat-mayat”. Cemas
Barangkali
kuburan ini tak cukup menampung mayat-mayat tak bernama itu. Ribuan orang mati,
serapuh daun rontok ditiup angin. (Pause) Kenapa begitu gampang orang mati?
Kenapa begitu ringan orang membunuh, seringan orang mencabuti bulu ketiak?.
Mereka tak lagi butuh alasan untuk membunuh. Dan para korban pun dipaksa tak
boleh tahu kenapa harus mati. Apakah mereka harus mati hanya karena berbeda
warna kulitnya, beda bentuk matanya, berlainan cara bicara dan bahasanya, atau
hanya karena tidak sama ketika menyembah Tuhannya. Kenapa untuk semua perbedaan
itu, sekarang ini orang harus mati ?
Aneh,
begitu banyak orang tak berdosa mati. Sementara orang yang dosanya luar biasa
banyaknya malah tidak mati-mati. Ini sangat-sangat tidak fair. Ini sudah
kebangeten. (Pause) Saya jadi percaya, maut ternyata tidak bisa bekerja
sendirian. Sebab, maut bisa diciptakan.
Maut
bisa diselenggarakan oleh siapa pun yang berkuasa. Mereka bisa menaburkan maut
kapan saja, sehingga udara yang terhisap selalu berbau kematian…... Ya…kematian
yang bias disorder kapan saja ….
Siwi
menyulut rokoknya. Menghembuskan asap kuat-kuat. Siwi tiba-tiba tersadar jika
dirinya telah ngelantur
Lho,
lho….saya ini kan Cuma penjaga makam, juru kunci kuburan, kok heroic banget ta?
Seharunya saya tak perlu repot-repot memikirkan soal ini. Biarin aja, gitu aja
kok repot. Bukankah bagi saya kematian itu sudah menjadi hal biasa. Malah,
kalau sehari tak ada orang mati, bagi saya justru aneh. Saya jadi kehilangan
peluang. Penghasilan pun berkurang. Jadi mestinya kalau ada orang mati,
diamdiam saya bersyukur. Itulah sebabnya, — jangan bilang-bilang ya — setiap
hari saya sering berdoa agar Tuhan memperbanyak jumlah angka kematian: Tuhan
kirimkan kematian ke kuburan kami, Gusti Allah paringanah sripah…
Tapi
tentu saja, saya cuma berharap pada kematian yang wajar. Yaitu, orang yang
benar-benar mati karena dipanggil tuhan, bukan karena dimatikan .
Lho…jelek-jelek, saya ini penjaga makam yang sedikit tahu etika, tahu fair
play, win and win solution, cingcay….. Karena itu pula dikuburan sini saya
tidak pernah main kadal-kadalan. Saya ogah melakukan korupsi, habis memang
tidak ada yang layak dikorupsi di sini. Apa, bunga? Masih lumayan kalau bunga
bank! Apa, kemenyan? Lumayan juga, bisa untuk mut-mutan. Mosok, saya harus
rebutan dengan dhemit?
Kalau
toh saya harus melakukan tindakan ilegal, paling banter saya cuma menyewakan
tempat bagi pasangan yang nggak kuat sewa hotel. Short-time di sini lebih
murah..
Nah, lihat, di pojok yang gelap
sebelah sana biasanya mereka main. Cukup menggelar koran.
Heran
saya, apa ya mereka nggak takut ganthet! Tapi ini juga keuntungan sampingan
yang cukup lumayan. Di samping dapat uang sewa tempat, sekali-kali saya juga
bisa… mengintip mereka… Jadi setiap malam saya bisa lihat siaran langsung “BF”
Pada awalnya memang seru dan syur. Tapi lama-lama bosan juga. Habis gayanya
monoton sih…… Mereka kurang berani melakukan terobosan kreatif dan penjelajahan
estetik. Terlalu kuno dan konvensional!
Ya,
begitulah, saudara-saudara. Ternyata saya tak cuma berurusan dengan mayat, tapi
juga dengan bermacam orang dengan beragam watak. Ada yang memang datang untuk
ziarah kubur. Tapi ada juga yang datang untuk minta berkah. Itu lho, di
tengah-tengah itu, biasanya puluhan orang bertirakat di bawah pohon beringin
besar itu. Katanya sih ada yang menunggu pohon beringin itu. Kata orangorang
itu juga, di bawah pohon beringin itu tersimpan harta karun yang luar biasa
banyaknya. Pikiran gendheng macam apa ini. Apa ya memang dulu ada raja yang
menguras duit negara lalu menyimpannya di bawah akar-akar beringin itu,
sehingga harta korupsinya tak terlacak?! Tidak faham saya. Lho percaya kok sama
beringin…
BREAK.
ISTIRAHAT.
SIWI tersentak. Ia
mendengar suara mengerang. Suara itu sesungguhnya sudah mulai terdengar sayup
saat Siwi masih asyik bicara. Sampai kemudian erangan itu menyadarkan SIWI dan
membuatnya segera mencari asal suara. Lalu ia mendapati satu tubuh yang
tergolek, kotor dan payah, setengah hidup-setengah mati, tangannya menggapai-gapai
minta tolong. segera SIWI membopong tubuh itu, kepayahan menyeretnya ke tempat
yang lebih terang. Dengan satu gerakan, SIWI berubah posisi: menggeletak payah
dengan tangan menggapai-gapai. Siwi berubah peran jadi mayat (seorang
mahasiswa)
MAHASISWA (Mengerang kepayahan)
Tollooonggg….. aduhhhh… aduhhhh…
panas….panas… panas (Terus mengerjat-ngerjat)….
Tolongg…. air…. air…..kalau ada teh
panas juga boleh…..
Dengan satu gerakan
mayat itu kembali berubah jadi SIWI: Mencoba menolong dan menenangkan
SIWI
Tenang,
Mas…. Tenang…. Saya Siwi. Ya… Si…Wi… (Es -ai - double you- ai)! Penjaga makam
di sini. Nggak usah takut. Ayo, duduklah. Mau minum lagi? (Siwi bergerak mengambil air
minum, kembali, dan meminumkannya pada mahasiswa itu, imajiner) Nah, begitu
kan enak. Mas aman di sini. (SIWI berubah jadi Mahasiswa)
MAHASISWA
Apakah
saya ada dineraka? Kok panasnya bukan main…. Aduhhhh jangan masukkan saya ke
neraka… jangan…. Jangan siksa saya….. jangan potong kemaluan saya. Percayalah
….selama
hidup
jadi mahasiswa, saya selalu menggunakan kemaluan saya untuk hal-hal yang tidak
memalukan. Tapi kalau toh luka sesekali pernah juga…. Tapi,…tapi… itu saya
lakukan
dengan
amat sangat terpaksa, karena nggak kuat nagpmept. Tapi itu Cuma sekali she, dua
kali…. Dua kali pertama dengan pacar saya… kedua Kedua, dengan ibu kost
saya….Tapi
percayalah,
dialah yang memaksa saya, sehingga saya pun terpaksa dengan penuh suka rela,
memenuhi permintaannya yanhg penuh paksaan itu…. Itupun terpaksa saya lakukan,
karena
saya mencoba menghargai paksaannya
yang memang saya harapkan
SIWI
Anda
ini kok bikin pengakuan segala… Ehhh Mas… Berdosa ya berdosa, tapi jangan
jujur-jujur amat. Mestinya Anda ini justru harus berbelit-belit, bahkan kalau
perlu bikin segala macam trik, biar pemeriksaannya bisa lebih dramatik. Pakai
pura-pura sakit, siapa tahu nanti dikasihani, terus diampuni. Tapi ngapai pakai
ngaku-ngaku segala, lha wong situ masih di alam kubur. Belum di alam sono….
MAHASISWA
Lho,….saya
masih di alam kubur? Pantesan kok gelap. Trus.. anda ini siapa? Interogrator
alam kubur ya? Aduhhhhhh….jangan periksa saya. Jangan. Saya tidak siap
diperiksa. Jangan…. Jangan…. ! jangan…. cecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan
yang sulit, Jangan. Selama
hidup
jadi mahasiswa, saya sudah terlalu capek menjawab pertanyaan yang sulit-sulit
dari dosen saya, apalagi untuk pertanyaan bersifat esai,…. Saya malah sering
bingung. Kalau you mau bertanya kepada saya yang gampang-gampang saja ya… chek
point saja, jadi saya tinggal melingkari saja.…. SIWI
Saya
ini Siwi…..Penjaga kuburan. Tenanglah,…. Anda nggak usah panic. Anda ini belum
mati. Ayo diminum lagi…. Nah, segar khan.? Nah duduklah dengan tenang. Ambil
nafas dalam-dalam lalu hembuskan pelan-pelan. Tak perlu khawatir, …. Disini
anda aman
MAHASISWA (kembali panik)
Tapi
orang-orang bertopeng itu ? Jumlah mereka banyak. Sangat banyak. Lihat ! Lihat
! Mereka berderap-derap kemari. Jangan…. Jangan… siksa saya! Jangan Bunuh saya!
Bukan saya penggeraknya. Bukan. Jangan…. Jangan copot jantung saya….
SIWI
Jantung? Bukankah jantung anda masih ada? Coba… raba dada
anda…. Nah masih berdenyut kan? Anda masih hidup
MAHASISWA
Benarkah saya masih hidup. Kemarin
saya merasa sudah mati. Dada saya terasa pecah. Entah
oleh
apa. Entah oleh siapa. Tapi saya melihat kelebat orang-orang bertopeng itu
meringkus saya, membekap saya, mencekik saya….. Tubuh saya berulangkali
dibanting, diinjak, diludahi.
Dan mendadak ada tangan-tangan
berkelebat menghujamkan belati di dada saya. Ya….. darah
segar
muncrat. Terus mengalir. Deras. Amat deras. Sampai berliter-liter. Pandangan
saya berkunang-kunang. Saya jatuh…terkapar…tak berdaya…. Di dalam kesadaran
saya yang
timbul
tenggelam, saya rasakan mereka menyeret tubuh saya, terus menyeret sampai jauh.
Sampai saya sadar…. Sampai akhirnya anda menemukan saya disini… di kuburan
sunyi iani…
(Pause).
Mas
Siwi,…saya berterimakasih karena anda telah menyelamatkan saya. Tapi meski
nasibnya cukup beruntung, saya toh tetap sedih. Puluhan, bahkan ratusan teman
saya mati mengenaskan di jalanjalan, di selokan-selokan. Mereka beramai-ramai
dibantai, justru ketika mencoba menghentikan pembantaian gila ini.
Kami
memperjuangkan pikiran waras, tapi orang-orang bertopeng itu menjawabnya dengan
nyalak senapan dan gebukan pentungan. Mas Siwi, kita harus menghentikan proyek
gila ini ! SIWI: Kita ? Kita siapa ? bagaimana pun kita ini beda. Anda
mahasiswa. Saya cuma juru kunci.
Mahasiswa
itu masa depannya jelas, bisa lulus sarjana, jadi birokrat, jadi politikus,
jadi peミ gusaha…. Sedang juru kunci? Mau jadi apa ? Juru kunci itu
jabatan paripurna. Pol. Mosok, ada
juru kunci terpeleset jadi Dirjen
Pemakaman…..
MAHASISWA
Meskipun
mas Siwi ini cuma juru kunci, tapi Mas Siwi tahu banyak soal pembantai ini. Mas
Siwi mesti berani jadi saksi kunci untuk membongkar kasus ini …
SIWI (kaget, bahkan setengah takut)
Saksi
kunci ? Aduhhhhh… jangan Mas…apalah saya ini. Saya ini cuman teri yang gampang
diuntal oleh ikan-ikan kakap
MAHASISWA
Justru
karena kita teri, maka kita harus berani bersaksi, agar ikan-ikan besar itu
tidak sewenangwenang melalap jutaan teri yang lain. Tapi semuanya terserah mas
Siwi. Saya Cuma menganjurkan….
Dan kelebat bayangan orang-orang bertopeng itu bagai
bermunculan dari rimbun kelam.
SIWI ketakutan, mencoba sembunyi. Sementara SIWI sendiri
langsung pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian, kelebat
bayangan “orang-orang bertopeng”
itu juga
menghilang. SIWI merasa selamat dari ancaman, meski ia masih juga cemas dan
ngos-ngosan.
SIWI
Orang-orang
bertopeng itu lagi. Siapakah sebenarnya mereka? Apa hubungan orang-orang
bertopeng itu dengan pembantaian demi pembantaian yang kini berkecamuk di
mana-mana?! Apakah orangorang bertopeng itu yang mengirim mayat-mayat ke sini?
(SIWI mengamati sekeliling, melangkah hati-hati, takut menginjak mayat-mayat
yang bergelimpangan memenuhi kuburan) Bau kematian yang berpusaran memenuhi
udara. Apakah mereka tak bisa lebih beradab sedikit dengan memberi penghormatan
yang layak bagi mayat-mayat ini? Boleh jadi ketika hidup, mayat-mayat ini
memang pencoleng, perusuh, pemberontak — atau apa saja. Tetapi bukan berarti
mayat-mayat ini boleh dilempar begitu saja ke kuburan, tanpa penghormatan.
Lalu SIWI bergerak
ke satu sudut, mengambil bendera-bendera putih mungil yang terikat pada
batang-batang bambu kecil. kemudian mencapkan bendera-bedera putih itu ke
tanah, seperti tengah menanam nisan sambil terus berbicara ….
SIWI
Aku tak
kenal kalian, tapi aku tak bisa membiarkan kalian terkubur tanpa penghormatan. (Menancapkan bendera-bendera putih itu) Anggap
saja ini upacara kecil bagi kematian kalian.
Semoga saja bisa membuat kalian sedikit terhibur. Aku tak punya banyak dana
untuk membiayai upacaya besar bagi penguburan kalian. Aku cuma penjaga kuburan.
Maafkan, kalau
upacara
ini kurang sempurna. Tak ada terompet yang mengringi pemakaman kalian, tak ada
tembakan salvo, tak ada liputan televise, taka da bunga, taka da kembang api….
Terus menanami
bendera-bendera putih itu, sampai hampir memenuhi semua sudut kuburan.
Sementara itu bagai doa yang mengiringi upacara kecil SIWI, terdengar suara
gemeremang, seperti suara-suara orang bertahil. Seperti suara-suara orang
berdoa yang menggigil. Begitu gaib. Suara itu menjadi bagian dari upacara
penguburan yang tengah dilakukan SIWI
Istirahatlah
dengan damai. Tak usah kalian mengutuk mereka yang membantai kalian. Aku tahu,
kalian marah dan menyimpan dendam karena kematian kalian yang terasa begini
hina. bagikupara pembantai kalianlah yang jauh lebih hina. Siapa pun yang
membantai kalian, sungguh luar biasa menjijikkan. Memuakkan! Kukira hanya setan
— setidaknya mereka yang
bersekutu
dengan kekuasaan setan — yang bisa melakkan pembantaian macam ini.. Celakanya,
kita tak pernah tahu siapa mereka itu. Ya…bagi mereka …orang-orang macam kalian
lain tak
lebih
dari seekor hama yang selalu dianggap mengancam hasil panen kekuasaan mereka.
Padahal mereka tidak pernah menanam. Tidak pernah, kecuali memaksa memeras
keringat orang lain untuk bercocok tanam. Mereka tak lebih dari mandor-mandor
yang menganggap kekerasan sebagai kebenaran.
Sambil terus
menanam bendera-bendera putih kecil itu, dalam benak SIWI berkecamuk
kegelisahan bercampur kecemasan. Sampai kemudian terdengar suara tangis bayi
yang menyayat-nyayat. Tangi itu mula-mula terdengar sesekali, membuat SIWI
menajamkan pendengarannya. Lalu tangin itu menghilang. Siwi kembali menanam
bendera-bendera putih itu denga khusyuk. lalu kembali terdengar suara bayi
melengking, SIWI mencari sumber suara. Tapi sia-sia. Suara bayi itu selalu mendadak
lenyap ketika SIWI mendekat.
SIWI
Aneh…..
jangan-jangan bayi itu anak jin yang dibuang ke kuburan ini. Tapi untuk apa jin
itu membuang anaknya sendiri? Dia bukan termasuk mahluk yang tidak
bertanggungjawab seperti manusia yang gemar membuang bayi dari hasil hubungan
yang tak resmi.
Kembali terdengar suara tangis bayi.
Kali ini segera di susul tangis bayi-bayi yang lain. Tangis bayi itu bagai
bermunculan dari segala penjuru, menjadi nyanyi keperihan yang berkumandang
memenuhi malam. SIWI benar-benar dikepung suara Hayi….
SIWI
Saya
curiga, suara-suara itu adalah taミgis arwah bayi. Saya curiga …… ada
begitu banyak bayi dibunuh. Jangan-jangan…. pembantaian tidak hanya menelan
korban orang-orang tua…tapi juga bayi-bayi….
SIWI bergerak ke
sekeliling panggung. Ia berjalan di antara hamparan mayat-mayat…. saマ pai kemudian ia terpekik kaget ketika di antara timbunan
mayat, ia menemukan puluhan mayat bayi.
SIWI:
Edan!!!
Ternyata dugaan saya tidak meleset. Mereka juga membantai bayi-Hayi…. Bayi-bayi
pun dibunuh tanpa ampun. Bayi-bayi pun dibantai secara beruntun. Rupanya mereka
tak ubahnya raksasa yang meramu nyawa bayi menjadi jamu, yang direguk supaya
bisa hidup
abadi.
Gila. Langkah generasi sedang dimatikan. Generasi demi generasi dilenyapkan
dari rahim zaman, untuk diganti mesin-mesin yang hanya bisa patuh….
SIWI mencoba
mengubur puluhan mayat bayi itu dengan khidmat, sambil menembangkan keperihan….
terkadang ia seperti menimang-nimang ….
SIWI (Menembang)
Di bening matamu kuberkaca
mencari makna duka lara
Di tangismu kudengar nyanyian
adakah itu nyanyian Tuhan …..
Tidurlah tidur anak kehidupan
Tidurlah tidur dalam kedamaian ….
Sambil terus
menembang, Siwi mengubur dan menancapkan bedera-bendera putih itu. Ia tak
pernah menyadari, betapa puluhan mata menatapnya dari balik belukar. Sampai
kemudian SIWI terkejut, ketika puluhan orang bertopeng telah mengepungnya. SIWI
merayap mundur.
Orang-orang
bertopeng terus mengepung …. Ketika SIWI menyadari bahwa ia tak punya
kesempatan untuk meloloskan diri, ia lalu mencoa memberanikan diri untuk
menghadapi puluhan orang bertopeng itu. Keberaniannya bangkit, seperti
keberanian orang yang sudah tak punya pilihan. Maka SIWI mencoba berdiri tegar,
meski tetap saja gemetar. Ia berusaha berkata tegas meski tetap saja cemas. Di
puncak kegeramannya ia mengaum:
SIWI
Barangkali
otakku terlalu beku untuk bisa mengurai silang sengkarut persoalan yang membuat
begitu banyak orang takut. Atau barangkali aku terlalu gegabah untuk menjamah
masalah yang
mendadak
tumpah ruah. Atau barangkali, aku terlalu nekad, terlalu berani untuk memasuki
rimba persoalan yang nggegirisi ini…..
Kalau
akhirnya kuputuskan untuk bersaksi, bukan karena aku ingin jadi pahlawan.
Bukan. Sebab kepahlawanan itu rapuh. Dan kepahlawanan itu dari hari ke hari
semakin merosot harganya. Aku bersaksi karena aku sekadar ingin menebus rasa
bersalah, dan rasa berdosa saya
terhadap
mayat-mayat sahabat saya. Sebab selama ini aku lebih banyak diam, lebih banyak
bungkam…. Ternyata tidak selama diam itu emas.
Kenapa tragedi kemanusiaan yang
jelas dan gamblang, selalu dibuat ngambang ?
Kenapa orang yang sudah jelas
bersalah, justru dilindungi dan diberi ampunan ?
Kenapa orang-orang yang jelas
menjadi korban justru dinistakan dan diberi hukuman ?
Aku jadi curiga, ada begitu banyak
kepentingan sedang dipertahankan.
Aku
jadi curiga, ada begitu banyak nama yang hendak diselamatkan demi kehormatan
yang dipaksakan. Kehormatan yang dipahatkan dan dijulangkan di antara
nisan-nisan tak bernama.
Aku
jadi curiga, ada begitu banyak fakta sedang ditenggelamkan.
Aku jadi curiga banyak kisah nestapa,
hanya dijadikan cerita yang asyik untuk dopidatokan.
Aku
jadi curiga terhadap segala kecurigaan yang dibudidayakan untuk menciptakan
ketakutan. Aku jadi curiga terhadap semua sandiwara yang dimainkan.
Aku jadi curiga, bahwa kecurigaanku
pun selalu dicurigai
Aku jadi curiga….
Aku curiga….
Aku curiga….
Aku curiga….
Aku curiga….
Mendadak ada
jaring-jaring besar turun yang memerangkap SIWI. SIWI berjuang keras untuk
lolos dari jaring itu. Ia berteriak-teriak marah dan terus bergulat mencoba
meloloskan diri dari belitan jaring raksasa itu. Tapi jaring itu ternyata lebih
kuat.. Jaring itu terus membungkus, meringkus. Siwi terus saja mengerjat
meronta-ronta mencoba membebaskan diri. Teriakannya kian lama kian melemah.
tenaganya terkuras, lantas perlahan lemas. Lampu perlahan meredup.Kemudian
terdengar sayup suara jeruji dipukuli, seperti bagian
awal. Dentang itu perlahan mengeras, dan mengeras. Sampai
panggung menggelap. Dan yang tersisa hanya cahaya yang bagai lembing perak
menimpa kisi-kisi jeruji. Sementara dentang jeruji dipukuli masih sesekali
terdengar….
SELESAI
8. PIDATO
Karya : PUTU FAJAR
ARCANA
SEORANG
LELAKI SETENGAH BAYA TIBA-TIBA TERJAGA DARI TIDURNYA. IA MENGUSAP MUKA,
MENGUCEK, DAN MENGERJAP-NGERJAPKAN MATANYA. LALU MENOLEH SEKELILING DENGAN PANDANGAN HERAN. SESEKALI MEMPERBAIKI SISIRAN
RAMBUTNYA. MATANYA LUCU KETIKA MENYADARI BEGITU BANYAK ORANG DI SEKELILINGNYA.
KETIKA TERDENGAR TERIAKAN-TERIAKAN
YANG MEMINTANYA SEGERA BICARA, PERLAHAN IA BERDIRI. TUBUHNYA TERHUYUNG BEBERAPA KALI,
TAPI KEMUDIAN IA MULAI BISA MENGUASAI DIRI
Saudara-saudara,
saya diundang kemari untuk berpidato. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan
selama hidup saya. Sebab pidato bagi saya lebih merupakan sebuah kesaksian,
ketimbang melontarlontarkan pepesan kosong. Apalagi sekarang saya harus
berpidato di hadapan Saudara-Saudara, orang-orang berpengetahuan luas, kaum
intelektual yang sering
nonggol
dalam talk show di televisi. Saya hanya orang kecil, orang desa yang sama
sekali tidak memiliki referensi tentang politik. Politik? “sttt…
(MENUTUP BIBIR DENGAN TELUNJUK, LALU
BERBISIK)
jangan keras-keras…… dan tolong jangan dikabarkan kepada
yang tidak hadir, saya tak suka politikus. Mereka ini kaum mencla-mencle, tak
ada logika yang lurus. Seperti besi ditempa, semakin dibakar semakin mudah
dipeot-peotkan. Tak ada istilah sahabat atau seteru, semuanya adalah alat untuk
mencapai kuasa. Terkadang saya pikir mereka .
(CELINGUKAN MENOLEH KE SEKELILING)
serombongan
tikus yang hidup dalam got di sepanjang jalan-jalan kota. Di musim kemarau
mereka bisa berkeliaran semaunya, untuk mencuri roti mereka bisa menggerogoti
pintu-pintu rumah Saudara, tetapi di musim hujan bisa menebar leptospirosis.
Makanya banyak orang kota yang berpikiran tidak waras, karena kencing tikus.
Tentu tidak termasuk Saudara, bukan? Karena saya tahu SaudaraSaudara adalah
orang-orang yang berpengetahuan luas dan tidak suka mencla-mencle. Apakah
Saudara-Saudara bersedia dipimpin oleh serombongan tikus? Saya kira pasti
tidak, karena kalau bersedia Saudara-Saudara saya cap sama dengan para
politikus itu, yaitu anggota dari gerombolan tikus…
(SEPERTI MENDENGAR CELETUKAN ORANG)
Apa? He-he-heh, sssttt…ingat jangan sampai terdengar yang
lain. Saya bisa diciduk. Nah ini, soal Iidukmenciduk, mungkin Saudara-Saudara
masih ingat sewaktu saya diculik dari rumah saya. Itu sudah terjadi pada bulan
Desember tahun 1965. Kira-kira usia saya waktu itu 20 tahun. Mestinya saya sudah
tamat SMA, tetapi karena kami termasuk keluarga miskin yang hanya hidup dari
hasil sawah, saya terpaksa putus sekolah. Kemudian saya memang diajak untuk
rapat-rapat, bagaimana mendapatkan tanah-tanah sawah kami kembali. Selama ini
orang tua saya hanya menjadi petani penggarap di bekas sawahnya sendiri. Sudah
lama sawah kami diambil oleh para tuan tanah. Mereka
menjerat kami dengan utang lalu mencuri periuk nasi kami.
Malam itu, saudara hujan gerimis dan
lolong anjing begini.. ….Aaauuu….Auuumm
(MELOLONG SEPERTI ANJING).
Saya
baru saja menyulut rokok jagung, ketika tiba-tiba serombongan orang berseragam
hitam dengan selempang pedang, ah bukan, mungkin kelewang di punggungnya
membekuk saya.
“Saudara ikut kami!” kata salah
seorang yang bertubuh paling besar. Ia mencengkeram tangan
kanan
saya. Lolong anjjing terdengar lagi, Aaauuu... Aaummm.. saya bergidik. Ketika
kemudian ia menambahkan berkata: “Saudara antek-antek PKI.” Saya baru sadar
bahwa nyawa
saya
diujung tanduk. Waktu itu saudara tahu, tuduhan seperti ini bagai vonis. Nyali
saya tiba-tiba ciut. Darah di kepala saya seperti disedot vacuum cleaner, muka
saya jadi pucat pasi. Saya seperti mayat yang begitu saja dilemparkan ke liang
kubur.
Ketika
rombongan yang kukira para jagal itu menyeret saya, meski dengan memelas saya
memberanikan diri berkata , “Bapak-bapak pasti salah tangkap,”
Sebaiknya
pergunakan kesempatan ini untuk mengatakan hal-hal penting eert pesan kepada
keluarga,” kata yang berkepala plontos
“Bapak-Bapak pasti salah tangkap.
Pasti bukan saya yang dimaksud,”kata saya lagi.
Saudara-Saudara
dalam situasi seperti ini saya pikir tindakan Saudara akan sama dengan tindakan
saya. Saya harus menolak tuduhan menjadi antek PKI itu. Sebab, terus terang,
saya terpaksa buka kartu di hadapan Saudara-Saudara, saya memang pernah diajak
untuk menjadi anggota partai komunis itu, tetapi saya menolak. Seperti juga
Saudara tahu, saya tak mau terlibat politik. Urusan saya urusan yang sangat
pragmatis, saya cuma ingin kami semua di desa memiliki tanah yang cukup sebagai
tumpuan hidup kami sehari-hari. Tak ada lagi yang bisa diharapkan di zaman
partai-partai sibuk merebut kekuasaan. Nasib rakyat kecil seperti saya
tergeletak di ujung kaki mereka. Setiap saat dengan mudah mereka menunjuk ke
arah mana kami mesti berjalan. Ah, nasib sudah tidak lagi berada di tangan
masing-masing.
Jelas
nama saya sudah dikorupsi. Saat-saat kampanye mereka dengan mudah akan
memanipulasi begini: Saudara-Saudara partai ini partai milik wong cilik, partai
yang berjuang untuk orang-orang kecil dan pinggiran seperti Saudara-Saudara.
Saudara-Saudara tahu kami tidak akan membiarkan nasib Saudara-Saudara
tergantung di ketiak para tuan tanah, di mana Saudara-Saudara menjadi buruh di
tanah milik Saudara sendiri. Kami datang membawa harapan, kami adalah matahari
yang tiba-tiba terbit dari balik bukit. Dan memberi sinar kepada kesuraman
hidup Saudara-Saudara. Cuma, kalau Saudara-Saudara tidak berada satu barisan
dengan kami, bagaimana kami bisa memperjuangkan nasib Saudara-Saudara. Apa Saudara-Saudara
mau bergabung bersama kami?
Kalau Saudara-Saudara menolak berarti Saudara-Saudara juga
menolak memperbaiki nasib bangsa. Dan itu pengkhianatan yang tidak bisa
dimaafkan, tidak bisa dimaafkan, karena Saudara-Saudara berarti juga berlindung
di balik punggung para tuan tanah, yang selama ini menghisap darah di kepala
Saudara-Saudara…
Nah, Saudara-Saudara sudah dengar tadi kan? Saya jijik, saya
muak dengan ajakan-ajakan begini. Kenapa semua orang yang datang kepada kami
selalu membawa janji-janji. Mereka tidak pernah datang
sebagai sahabat yang tulus, yang begitu sungguh-sungguh ingin mengangkat hidup
kami yang melarat ini…. Eh sudah begitu pakai mengancam lagi.
Huk-huk….izinkan
saya saudara. Sudah lama kita lupa bagaiamana caranya menangis yang baik.
Tangis-tangisan yang setiap hari saya saksikan di televisi, telah menjadi
semacam sandiwara, yang berusaha membuat kita terharu. Padahal semuanya adalah
semu, kita bagai
hidup
di tengah bayang-bayang. Tak ada lagi ketulusan di negeri ini. Bahkan untuk
sekadar menangis, kita pun tega bersandiwara huk..huk…
“NAMA
saudara ada di dalam daftar….!” Kata laki-laki yang berbadan besar dan kekar.
“Makanya jangan rewel.. “
“Bapak-Bapak
salah taミgkap… “Mulut saya lalu seperti terkunci. Saya tidak mampu
mengatakan hal lain. Karena saya pikir hanya kata-kata ini yang bisa
menyelamatkan nyawa saya sekarang.
“Saudara
benar bernama tell, Tell…. Saya menunggu untuk menguji apakah para penjagal
benar-benar mengetahui nama saya. Karena saya yakin pastilah ia salah tangkap.
Saya tidak pernah merasa menjadi aktivis partai untuk memperjuangkan hak-hak
petani. Saya cuma tahu bahwa kami tidak lagi bisa seenaknya mengolah tanah.
Ayah saya hanya buruh yang diupah untuk bekerja di atas tanah miliknya. Semua
hasil panen tidak pernah lagi mengisi lumbung-lumbung rumah kami. Setiap panen,
kami hanya bisa melelehkan air mata menyaksikan padi-padi itu, ah padi-padi
itu, oh tebu-tebu itu, diangkut entah ke mana. Dan kami dibiarkan seperti tikus
yang mengais-ngais sisa. Apalah daya seekor tikus di bawah batang padi yang
telah dipanen. Hanya rumput yang tersisa. Dan kami, para pemakan rumput yang
tumbuh di bawah kaki-kaki para tuan tanah. Oh hidup ini sungguh kejam, para pemilik
pun tak berdaya berhadapan dengan penguasa, karena pemilik belum tentu
berkuasa. Oh, huk-huk… (Menangis…) Ah, saya menangis lagi, Mohohn maaf kalau
saya tiba-tiba jadi cengeng, Saudara-Saudara.
Saudara
teller ini bukan saatnya menangis. Kalau masih percaya tuhan ini saatnya untuk
berdoa. Kami mentolerir soal-soal itu, “kata yang berkepala plontos kemudian.
“udah saya
duga, mereka pasti salah tangkap.
“Nama saya Meler pak, Pak…” Saya
sebut nama saya yang sebernarnya. Tentulah dengan
maksud
agar para penjagal ini segera sadar bahwa saya bukan orang yang dimaksud. Dan
kemudian dengan memohon maaf, saya akan dilepaskan. “Mau teller kek, Saudara
sudah terlanjur kami tangkap, pantang untuk mengembalikan barang yang telah
kami ambil…., kata
yang
bertubuh besar. Barang? Coba, coba, apakah cerita saya ini tidak menyentuh hati
Saudara-Saudara. Seharusnya Saudara-Saudara bersimpati kepada saya dan kalau
mungkin membantu saya agar terbebaskan dari orang-orang yang menyeramkan itu.
Bagaimana mungkin seorang manusia, yang dilindungi oleh aturan seperti HAM,
disamakan seperti barang. Apakah dunia ini sudah begitu bengisnya.
Manusiamanusia yang hidup di dalamnya sudah tidak sanggup lagi membedakan mana
barang dan manusia. Sesosok tubuh yang tidak bernyawa sekali pun, nilainya
tidak bisa disamakan dengan barang. Apalagi saya, seseorang yang masih memiliki
hak atas nyawanya sendiri. Tetapi begitulah di zaman itu Saudara, penangkapan
seorang anak manusia disamakan dengan memungut kerikil dari tepi jalan. Kapan
pun dikehendaki kerikil itu akan dilemparkan ke dasar jurang. Dan Saudara tidak
bisa protes, kalau sewaktu-waktu
nyawa
Saudara disamakan nilainya dengan sebuah kerikil. Artinya semestinya anda siap
mental kapan pun akan disembelih seperti saya…..
TERDENGAR SUARA GURUH DISERTASI
KILAT MENYAMBAR, LANGIT GELAP,
GERIMIS TURUN… SUASANA INI SANGAT
MENCEKAM
Saudara,
di malam yang gelap saya digiring ke sebuah tempat. Kepala saya ditutup dengan
baju kaos yang saya kenakan ketika duduk di beranda tadi sore. Mereka menaikkan
kami ke sebuah truk yang kemudian membawa kami kemari, sebuah gudang tua yang
saya kira letaknya di pinggiran kota. Sewaktu dijerumuskan seperti membuang
bangkai anjing ke kali, saya masih bisa merasakan panas cuaca perkotaan. Asap
dari cerobong pabrik gula masih tercium hidung saya. Tapi di daerah ini memang
bertebaran pabrik gula, tentu saja saya tidak bisa membedakan
aroma
masing-masing pabrik itu. Apa Saudara sanggup membedakan pabrik gula ini
aromanya begini, pabrik itu aromanya begitu… “saya yang hidup di sekitarnya
perkebunan tebu saja perlu
belum
memiliki penciuman setajam anjing, apalagi Saudara yang hidup di perkotaan dan
bahkan tidak mengenal pohon tebu…
Di
dalam gudang yang pengap, saya lihat puluhan orang duduk di lantai dengan
tangan terikat. Sekilas beberapa di antaranya saya kenal. Mereka sebagian besar
para petani yang hidupnya serba kekurangan seperti saya. Bagaimana mungkin para
petani miskin, tak melek huruf, apalagi politik, menjadi lokomotif penumbangan
sebuah rezim. Ah, Saudara banyak yang tidak bisa dimengerti di sini.
Ketika saya ditendang agar bergabung
dengan orang-orang ini, saya baru sadar kalau lantai
yang
saya pijak penuh genangan darah. Samar-samar genangan itu hampir-hampir
mencapai mata kaki saya. Ketika saya jongkok untuk memastikan bau amis di atas…
saya kira di sebuah
balkon,
terdengar derap sepatu tentara. Dalam beberapa saat para tentara telah berbaris
mengambil posisi di sepanjang balkon.
Oh,
Tuhan, di sinilah masa muda saya akan berakhir. Saudara, hanya malaikat yang
bisa menolong saya. Sebentar lagi kalau bedil sudah di kokang, hingga terdengar
suara, krakk… krakk… krakkk… dan kemudian bergema letusan berkali-kali,
timah-timah panas akan
bersarang
dalam tubuh saya. Dan saya, kami semua akan roboh, setelah itu, setelah itu,
darah kami akan membanjiri lantai ini. Mungkin tingginya akan mencapai lutut
Saudara-Saudara.
Diam-diam
saya berdoa. Saya mengucapkan rasa syukur diberi pilihan mati di ujung moncong
senapan. Paman saya, Juwena, sebagaimana cerita yang kemudian saya dengar harus
mati dengan kepala terpisah dari badannya. Setelah diculik seperti saya, ia
digiring ke sebuah tepi jurang di pinggir pantai. Di situlah para algojo
memenggal lehernya.
Kepalanya
berguling dan tubuhnya jatuh ke pantai. Bersamanya juga dibantai begitu banyak
manusia yang belum tentu mengerti riwayat kesalahannya. Ketika air surut
mayat-mayat itu seperti ikan lemuru yang terdampar dan busuk. Baunya menyusup
di antara pohon-pohon kelapa sepanjang pantai. Lalu menabrak pintu-pintu rumah
warga. Tetapi tak ada yang berpikir itu bau mayat, apalagi perduli. Sebab
keperdulian saja sudah cukup mengantarkan Saudara-Saudara ke tempat-tempat
penjagalan. Sementara, saudara ooohh… kepala mereka dipamerkan di pos-pos jaga.
Konon itu menjadi contoh buat orang-orang yang terlibat. Apakah Saudara-Saudara
tidak berpikir, sebagaimana yang saya pertanyakan sekarang ini, mengapa bangsa
yang konon ramah-tamah dan mengerti sopan-santun ini, bisa begitu liar dan
bengis. Saya bergidik. Di sinilah di negeri yang konon dilahirkan ketika para
bidadari bertemu dengan dewadewa, ketika bulan bersatu dengan matahari, tangis
sudah kehilangan maknanya. Tak ada gunanya lagi menangis. Air mata ini
tiba-tiba kering, ketika terdengar ratusan ribu orang dibantai sebagai sekawanan
anjing yang dituduh menyebar rabies. Mereka ketakutan ketularan
gila,
mereka ketakutan dari mayat-mayat itu akan muncul belatung. Kalaupun
mayat-mayat itu kemudian dikuburkan, bukan karena mereka tahu bagaimana
selayaknya memperlakukan jenazah, tetapi karena mereka takut dari jasad-jasad
itu akan menyembur penyakit. Dan pada suatu hari seluruh penghuni kota akan
tertular. Artinya Saudara-Saudara, mereka juga memiliki ketakutan yang sama
sebagaimana ketakutan saya sekarang ini.
Karena
tempias cahaya lampu saya melihat genangan darah di lantai berkilau. Sebentar
lagi ketika seruan tembaaaaaak….! Menggelegar menembus gelap, darah saya, darah
kami mala
mini
akan menjadi bagian dari genangan itu. Apakah bau amis darah kami tidak cukup
menjadi pemuas naluri setan yang bersarang di hati para penjagal ini. Apakah
harus jatuh ratusan ribu korban lagi dengan dalih menebus kesalahan yang
diperbuat oleh segelintir elite, yang namanya pun tidak pernah kami dengar.
Maaf
Saudara-Saudara, saya lupa, saya harus berdoa. Sebab mati bagi saya adalah
peristiwa sakral, yang mesti didahului dengan doa-doa. Apalagi sekarang saya di
beri anugerah untuk mengetahui kapan saya harus mati. Saya yakin tak ada satu
pun di antara Saudara-Saudara yang sudah tahu hari kematiannya. Tetapi, tetapi
sebentar… apa gunanya berdoa, toh sebentar lagi saya akan mati. Saudara-Saudara
jangan salah paham, doa-doa diturunkan bukan hanya untuk memohon pertolongan,
tetapi yang lebih penting adalah membuat ketenteraman, sehingga tabah menghadapi
hari kiamat sekalipun. Jadi biarkan saya berdoa dengan khusyuk sebentar….
SAUDARA
belum sempat saya membuka mata, tiba-tiba berondongan peluru menghujani kami.
Banyak di antara kami yang panik karena tidak menduga akan secepat itu kami
harus menjemput ajal. Di tengah keputus-asaan yang dalam, sejak tadi diam-diam
kami tetap berharap akan datang penyelamat, seseorang yang mampu memberi
pencerahan bahwa apa yang sekarang menimpa bangsa ini hanya kekeliruan di dalam
memahami ideologi. Perbedaan ideologi tidak harus berakhir dengan saling
bantai. Bukankah Saudara-Saudara juga tahu, ideologi hanyalah kendaraan yang
pada akhirnya membawa kita pada tujuan yang sama. Kalau Saudara-Saudara
menyadari itu, bukankah berkuasa hanya sebuah kesempatan yang diberikan dan
bahkan ditakdirkan untuk membawa kita semua, apa pun ideologinya, pada
keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Dengan
tenang saya menyelinap di balik drum. Saya pikir kalau kematian itu belum
disabdakan betapa pun buruknya situasi, saya akan selamat. Dalam temaram
cahaya, dari balik drum di sudut ruangan itu, saya lihat banyak orang yang
terkapar. Beberapa di antaranya berupaya menyelamatkan diri dengan mencoba
menggapai balkon. Tetapi tentu saja berondongan peluru jauh lebih cepat
ketimbang mereka yang merangkak dalam genangan darah. Mereka pun akhirnya
terkapar. Dan darah-darah mereka tumpah entah untuk apa, saya tidak paham.
Inikah politik itu? Beginikah caranya mencapai cita-cita adil dan makmur itu?
Saudara-Saudara
mungkin sependapat dengan saya, bahwa jalan kekerasan hampir pasti akan menuai
kekerasan yang lain. Lagi-lagi saya begidik …Kalau toh saya harus mati
sekarang,
apakah
kekerasan akan berhenti di sini? Apakah kekerasan akan berhenti di balik pintu
gudang tua ini? Siapa yang bisa menjamin bahwa tumpukan jasad kami sudah cukup
berarti untuk menghentikan pembataian.
Saudara?
Saudara bisa dan berani? Kalau tidak ada yang berani menjamin, saya tidak rela
menjadi tumbal karena kerakusan Saudara-Saudara. Bahkan dengan alasan
memulihkan stabilitas pun, apakah Saudara-Saudara akan membiarkan orang-orang
yang tidak mengerti politik seperti saya dibantai seperti anjing. Apakah
Saudara-Saudara yakin kelas petani seperti kami bisa mengancam kekuasaan?
Kami
orang-orang berpikiran sederhana. Bisa turun ke sawah untuk meneruskan hidup
esok hari saja sudah cukup. Pendidikan tidak menjadi prioritas, apalagi
kekuasaan. Apa yang kami mengerti tentang kekuasaan? Kami tidak perduli siapa
pun yang berkuasa, apa pun ideologinya, karena kami cuma mau hidup. Tetapi kami
tidak mau menumpang hidup di ketiak para tuan tanah. Kami ingin bebas
menentukan nasib kami.
Sungguh tak saya duga,
Saudara-Saudara, drum di mana saya merasa akan selamat, tiba-tiba
diberondong
peluru. Dalam beberapa saat, drum itu meledak dan api membubung menjilat sampai
ke atap. Dan saya…saya…terbakar saudara. Seluruh tubuh saya terasa panas,
panas.
Bau hangus daging menyebar ke
mana-mana. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi keIuali
berteriak:
berhak, tembak saya. Meski saya tidak rela, tetapi izinkan saya mati dengan
cara yang beradab… tembak, tembak saya, Bajingan!“ Saya roboh. Tetapi tak saya
dengar letusan
senapan.
Pastilah saya akan mati hangus. Samar-samar saya lihat atap rumah mulai runtuh.
Kobaran api rupanya telah membakar seluruh gudang. Orangorang itu? Ah, saya
tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Saya tidak bisa melanjutkan cerita
ini, karena ingatan saya mulai kabur dan pelan-pelan menghilang …
Itulah
Saudara-Saudara saya ingin sekali bercerita banyak kepada Saudara-Saudara.
Tetapi saya tidak pernah diberi kesempatan, sampai akhirnya saya datang lewat
tubuh saudara saya ini. Ia tak lain saudara bungsu saya. Tolong setelah saya
pergi sampaikan kepadanya, bahwa
saya
sangat berterima kasih atas pinjaman tubuhnya. Semoga ia selamat dan tidak mati
konyol seperti saya….
TUBUH
LELAKI ITU TIBA-TIBA MELOROT DAN KEMUDIAN JATUH TERTIDUR.
KETIKA PERLAHAN BANGUN DAN
MENGUSAP-USAP MATA, LALU MENGERJAP-
NGE‘JAP LUCU BE‘KATA…
Mengapa
Saudara-Saudara berkumpul di sini? Saya tidak apa-apa. Sudah ya saya harus
kembali bekerja, bubar-bubar. Ah apa, jatuh, tadi saya jatuh, pingsan? Saya
pingsan … Ah saya Haik-baik saja kok. Mungkin Saudara-Saudara yang pingsan,
lalu bisa saja menganggap saya juga ikut pingsan. Ayo bubar dong, saya sibuk
dan harus kembali memeriksa pasien-
pasein
saya. Saudara perlu tahu, Puskesmas ini letaknya begitu jauh dari permukiman,
jadi terkadang saya ngeri tinggal di sini. Untung juga ya Saudara-saudara
dating…. Ah, apa?
Saudara-Saudara
semua pasien? Saya tidak sanggup mengobati begitu banyak orang … Kita perlu
psikiater!
SELESAI
9. RACUN TEMBAKAU
Karya : ANTON CHEKOV TERJEMAHAN
JIM ADHI LIMAS
Pelaku
: Ivan Ivanovich Nyukhin, seorang suami dipingit yang punya istri punya sekolah
musik partikelir dan indekos buat anak perempuan.
Setting : sebuah panggung kecil di ruang pertemuan.
(DENGAN CAMBANG YANG PANJANG, KUMIS
DICUKUR KLIMIS, MEMAKAI JAS
HITAM YANG SUDAH TUA DAN TERLALU SERING DIPAKAI. IA MUNCUL
DENGAN SIKAP YANG AGUNG,
MANGGUTMANGGUT MEMPERBAIKI DASINYA.)
Omong-omong,
Tuan dan Nyonya. (mengusap-usap cambangnya) pada istri saya datang sebuah
permintaan untuk tujuan amal, saya membacakan sebuah ceramah yang bersifat
umum. Nah, kalau saya harus ceramah, tentu saja bagi saya tidak menjadi soal
sama sekali. Jelas saya ini bukan profesor, dan saya tidak punya satu gelarpun.
Tapi meskipun begitu, selama 30 tahun terakhir ini, bahkan sampai merugikan
kesehatan saya segala, tidak ada hentinya saya mengerjakan persoalanpersoalan
yang sifatnya ilmiah melulu. Saya orang berfikir, dan saya pujangga.
Kadang-kadang saya juga menulis tulisan-tulisan ilmiah. Maksud saya bukan
ilmiah yang sok, tapi maaf saya katakan ini, boleh digolongkan ke kelas ilmiah.
Sebelum
lupa, kemarin dulu saya menulis sebuah artikel panjang berjudul “ bahaya dari
jenis-jenis serangga tertentu. Anak perempuan semua menyukainya. Terutama
bagian-bagian yang mengenai kutu-kutu tembok, tapi setelah dibaca kembali, saya
robek lagi. Sudah tentu, seberapa pandainyapun orang menulis, obat anti kutu
memang harus dibeli. Sampai-sampai saya punya piano, eh..didalamnya digigitin
kutu…..
Untuk
ceramah hari ini saya mengambil pokok masalah yaitu bahaya yang disebabkan oleh
perilaku manusia, yakni menghisap tembakau. Saya sendiri merokok, tapi istri
saya yang
menyuruh
saya ceramah tentang bahaya tembakau hari ini, dan karena itu, tak ada jalan
lain. Baik, tentang bahaya tembakau, …. Tembakau adalah adalah……..bagi saya tidak
jadi soal
sama
sekali, tapi bagi hadirin? Saya anjurkan untuk sebisa mungkin menanggapi
ceramah ini dengan segala kesungguhan, demi mencegah terjadinya sesuatu yang
tidak terduga. Namun, siapa yang takut ceramah ini akan terlampau kering
ilmiah? Yang tidak suka macam begini, mereka tidak perlu ikut mendengarkan, dan
saya tidak keberatan kalau mereka mau pulang saja. (MEMPERBAIKI DASINYA)
Saya
terutama minta perhatian dari para anggota lingkungan kedokteran yang hadir di
sini, agar mereka bisa memperoleh keterangan yang berguna dari ceramah ini.
Berhubung tembakau selain punya akibat buruk, juga digunakan dalam dunia
kedokteran. Begini misalnya, kalau saya masukkan seekor lalat ke dalam botol
berisi tembakau, binatang itu kemungkinan besar mati karena sarafnya terganggu.
Tembakau kita kenal sebagai tumbuh-tumbuhan,….. biasanya kalau saya ceramah,
kata-kata saya selalu kekedipan, yang hadirin tidak perlu risaukan, itu
lantaran senewen. Saya orang yang sangat gugup pada umumnya. Dan kekedipan mata
ini sudah mulai sejak lama, sejak 1989. Kalau mau tepatnya tanggal 13
September, di hari istri saya melahirkan anak perempuan
kami yang keempat, namanya Barbara. Anak perempuan saya semuanya lahir pada
tanggal 13. tapi… (MELIHAT ARLOJI) karena sempitnya waktu, ,
sebaiknya saya jangan menyimpang
dari pokok permasalahan.
Oh.ya ,
sebelum lupa, saya bisa ceritakan bahwa istri saya punya sekolah musik, dan
membuka indekos partikelir, maksud saya bukan indekos biasa, tapi ..ya
begitulah. Antara kami, istri saya paling suka ngomel tentang kesusahan jaman.
Padahal dia punya simpanan 40 sampai 50 ribu
rubel
di suatu tempat tersembunyi. Sedang saya?, saya ini tidak dikaruniai sesenpun,
tidak sesenpun. Tapi yaah…buat apa ngotoot tentang yang begituan? Saya turut
mengatur indekos
dengan
menjaga urusan rumah tangga. Saya yang belanja persediaan makanan, saya
mengawasi para pembantu, saya basmi kutu-kutu, saya ajak jalan-jalan anjing
kesayangan istri saya, saya tangkap tikus. Malam kemarin saya membeli tepung
terigu dan mentega untuk koki, berhubung hari ini kami bikin kue dadar gulung.
Singkatnya, hari ini setelah dadar gulungnya jadi, istri saya masuk ke dapur
untuk menyampaikan bahwa tiga dari murid-muridnya tidak dapat makan dadar
gulung karena sakit gendeng. Jadi, kebetulan saja ada dadar gulung yang
tersisa. Lantas mau diapakan? Istri saya tadinya suruh simpan di almari,
kemudian dia berpikir
lagi,
dan setelah dipertimbangkan dia berkata: “sudah makan saja dadar gulung itu
begong,…” Kalau sedang marah dia selalu menyebut saya demikian, “Begong” atau
“Cacing”, atau “Setan alas.” Orang macam saya begini masa setan?. Dia sering
marah-marah begitu. Lalu dadar
gulung
itu tidak saya kunyah perlahan-lahan, malahan dadar gulung itu saya telan
bulat-bulat, karena saya selalu kelaparan. Kemarin misalnya, saya tidak dikasih
makan, dan tidak ada gunanya kata isteri saya. Tapi..(MELIHAT ARLOJI). Saya
sudah nglantur lagi, sudah menyimpang dari pokoknya. Mari kita lanjutkan.
Meskipun tentu saja hadirin lebih senang
mendengarkan
roman atau simfoni atau sebuah nyanyian. (MENYANYI)” dalam api perjuangan kita
tidak gentar …..” saya kurang ingat dari opera mana lagu itu. … Sebelum lupa,
saya
belum sebut bahwa selain menangani urusan rumah tangga, di sekolah musik istri
saya, tugas saya termasuk juga mengajar matematika, ilmu hayat, ilmu kimia,
ilmu bumi, sejarah, do-re-mi, sastra , dan seterusnya. Untuk les dansa, nyanyi
dan menggambar, istri saya minta bayaran ekstra, meskipun sebenarnya sayalah
guru dansa dan nyanyinya.
Sekolah musik kami ada di jalan Lima
Anjing no. 13. Barangkali itu yang membikin hidup saya sial karena tinggal di
rumah nomer 13. lagipula semua anak perempuan saya lahir pada tanggal 13, dan
rumah kami punya 13 jendela. …..tapi, ya untuk apa diributkan semua ini?.
Istri saya
selalu di rumah, setiap waktu bisa terima kunjungan pembicaraan, dan prospektus
sekolah bisa didapat dari portir. Tiga ketipan satunya. (MENGAMBIL BEBERAPA
CONTOH PROSPEKTUS DARI SAKUNYA). Dan kalau perlu, bisa dapat dari saya juga.
Tiga ketip sehelai, siapa mau?. (HENING) tidak ada yang mau? Sudahlah dua
ketip? (HENING). Sayang sekali. Nomer rumah kami jalan Anjing nomer 13. saya
memang gagal dalam segala hal, saya sudah tua dan lagi bodoh. Sekarang saya
sedang ceramah, dan kelihatannya riang saja, tapi sesungguhnya saya ingin
berteriak setinggi langit, atau lari ke ujung dunia …. dan kepada siapa saya
bisa mengadu. Saya malah ingin menangis ….. kita mungkin bisa hilang dan
“kaukan punya anak perempuan itu apa.. “ ya… tapi anak perempuan itu apa?. Saya
ngobrol dengan mereka, mereka cekikian melulu ….. istri saya punya 7 Αnak
perempuan, eh bukan maaf, kalau tidak salah 6 …. (RUSUH) ya tentu saja 6, yang
sulung umurnya 27 tahun dan yang bungsu sudah umur 17. Tuan-tuan.. (MELIHAT
SEKELILING) aku sengsara, aku sudah jadi dungu, tidak berarti, tapi tetap di
depan sini berdiri seorang ayah yang paling bahagia. Bagaimanapun, begitulah
mestinya dan aku tidak berani mengatakan bahwa tidak begitu. Tapi kalau kalian
tahu, aku sudah bersama biniku selama 33 tahun, dan aku bisa saja katakan bahwa
itu tahun-tahun yang paling subur, maksudku bukan terbaik, tapi secara umumlah.
Telah lalu semua dalam satu
kata, seperti satu detik kebahagiaan, tapi terus terang persetan segalanya.
(MELIHAT
SEKELILING) aku kira dia belum dating. Bibiku belum disini, jadi aku bisa
bicara sesukaku. …aku sangat penakut… aku takut kalau dia pandang aku. Nah,
seperti sudah aku katakan, anak perempuanku belum pada kawin. Kemungkin besar
karena mereka pemalu, dan juga karena jejaka-jejaka tidak diberi kesempatan
melihat mereka. Biniku paling tidak suka bikin pesta, dia tidak pernah undang
siapapun makan, dia klewat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok,
sehingga tidak ada yang mau bertemu, tapi…… ini aku kasih tahu karena aku
percaya pada saudara-saudara. (MAJU KE UJUNG PANGGUNG) pada hari raya petang
anak perempuan biniku bisa dijumpai di rumah bibi mereka Natalia Semirzovna,
itu nyonya yang menderita sakit reumatik dan selalu memakai gaun kuning
ordo-ordo hitam. Seperti itu. Di sana makanannya betul-betul enak. Dan kalau
kebetulan biniku tidak ikut, kita bisa (MENGANGKAT SATU TANGAN SEBAGAI ISYARAT
MINUM) maklum, aku bisa saja mabok dari satu gelas anggur, dan di saat demikian
aku mampu merasakan bahagia sekaligus sedih yang aku tidak bisa gambarkan
kepada hadirin. Aku teringat lagi masa muda. Dan ada sesuatu yang membikin aku
ingin lari ingin minggat segera…. Oh.. jikalau saudara- saudara bias merasakan bagaimana aku ingin melakukan
itu. (SEMANGAT) lari, meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok lagi mke
belakang ……kemana? Tidak peduli kemana…. Asalkan bisa minggat dari kehidupan
yang hina, kejam. Marah ini yang sudah menjadikan aku tua bangka bobrok, galak,
dengki, yang jiwanya sempit serta menjengkelkan itu. Biniku itu….. yang sudah
menyiksa aku selama 33 tahun lamanya. Minggat dari kemunafikan, dari dapur,
dari urusan duit, dari persoalan-persoalan seperti vulgar…. Lari untuk
berhenti di suatu tempat yang jauh,
jauh sekali. Di suatu padang, untuk berhenti, berdiri
menjulang
seperti sebuah pohon, seperti tiang, seperti hantu pengusir burung, di bawah
langit yang lebar, dan terus memandang bulan sunyi di atas kepala, lalu
melupakan, melupakan… Oh betapa aku rindukan kemampuan tidak meningkat…. Betapa
aku tidak sabaran lagi untuk menjambret jas tua ini yang 33 tahun yang lalu
kupakai pada hari pernikahannku…..
…(DENGAN
KATA MEMBUKA JAS) yang selalu mesti aku pakai buat ceramah-ceramah pada
kesempatan amal…… rasian lu!!… (MENGINJAK-INJAK) rasain! Aku tua, melarat,
sengsara seperti jas tua ini, dengan punggungnya tambal-tambal. (MEMPERLIHATKAN
PUNGGUNG JAS ITU) aku tidak mau apa-apa! Aku lebih baik dan lebih bersih dari
itu. Aku
pernah
muda, aku pernah belajar di universitas, aku pernah bercita-cita, aku pernah
menganggap diriku seorang lelaki…… sekarang aku tidak tau apa-apa! Tidak
apa-apa selain
istirahat.
(MELIHAT KE BELAKANG, LALU CEPAT MEMAKAI JAS LAGI) isteri saya sudah ada di
belakang panggung …. Ia sudah dating menunggu saya di sana….. (MELIHAT
ARLOJI)
waktunya sudah habis … kalau ditanya isteri saya saya mohon dengan sangat
jawablah pemberi ceramahnya, bahwa begong, eh maksud saya, saya sendiri telah
melakukan tugasnya dengan sopan. (MELIHAT KE PINGGIR, BATUK-BATUK) istri saya
sedang memandang saya. (SUARA DIPERKERAS) Setelah kita bertitik belok dari pola
bahwa tembakau mengandung racun yang jahat, seperti tadi saya uraikan, maka
hendaknya kebiasaan merokok, harus dihapus. Dan omong-omong saya mengharapkan
sekali bahwa ceramah saya mengenai “bahaya dari tembakau” ada manfaatnya bagi hadirin
sekalian. Sekian, selamat malam (MENGHORMAT, MENGUNDURKAN DIRI DENGAN AGUNG).
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar