Halaman

Kamis, 28 Juli 2016

Kumpulan Naskah Monolog



1.     AENG/ ALIMIN
Karya PUTU WIJAYA

IA BERBARING DI LANTAI DENGAN KAKI NAIK  KE KURSI. DI MEJA KECIL,
DEKAT KURSI, ADA BOTOL BIR KOSONG SEDANG DI LANTAI ADA PIRING SENG.
MUKANYA   DITANGKUP TOPI   KAIN.   DIKAMAR   SEBELAH TERDENGAR
SESEORANG MEMUKUL DINDING BERKALIKALI.

Ya, siapa itu. jangan gangu, aku sedang tidur.

GEDORAN KEMBALI BERTUBI.

Yaaaa! Siapa? Jangan ganggu aku sedang tidur.

GEDORAN BERTAMBAH KERAS. ORANG ITU MENGANGKAT TUBUHNYA.

Ya! Diam kamu kerbau! Sudah aku bilang, aku tidur. Masak aku tidak boleh tidur sebentar. Kapan lagi aku bisa tidur kalau tidak sekarang. Nah begitu. Diam-diam sajalah dulu. Tenangkan saja dulu kepalamu yang kacau itu. hormati sedikit kemauan tetangga kamu ini.

(BERBARING LAGI) Ya diam. Tenang seperti ini. Biar aku dengar hari bergeser mendekatiku dengan segala kebuasanya. Tiap detik sekarang kita berhitung. Aku kecap-kecap waktu kenyang-kenyang, karena siapapun tidak ada lagi yang bisa menahanya untukku. Bahkan tuhan sudah menampiku. Sebentar lagi mereka akan datang dan menuntunku ke lapangan tembak. Mataku akan dibalut kain hitam dan sesudah itu hidupku akan menjadi hitam. Aku akan terkulai disitu berlumuran darah menjadi onggokan daging bekas. Sementara dunia terus berjalan dan kehidupan melenggang seperti tak kekurangan apa-apa tanpa aku. Sekarang kesempatanku yang terakhir untuk menunjukan arti. Mengisi kembali puluhan tahun dibelakang yang sudah aku lompati dengan terlalu cepat. Apa yang bisa dilakukan dalam waktu pendek tetapi dahsyat?

MENGANGKAT TOPI DAN MELEMPARKANNYA KE ATAS

Ketika aku mulai melihat, yang pertama sekali aku lihat adalah kejahatan. Makku di hajar habis oleh suaminya yang kesetanan. Ketika pertama kali mendengar, yang kudengar adalah keserakahan. Para tetangga beramai-ramai memfitnah kami supaya terkubur. Ketika pertama kali berbuat yang aku lakukan adalah dosa. Kudorong anak itu ke tengah jalan dan sepedahnya aku larikan. Sejak itu mereka menamakan aku bajingan. (DUDUK) mula-mula aku marah, karena nama itu diciptakan untuk membuangku. Tetapi kemudian ketika aku terbiasa memakainya, banyak orang mengaguminya. Mereka datang kepadaku hendak berguru. Aku dinobatkan jadi pahlawan. Sementara aku teramat kesepian di tinggal oleh dunia yang tak mau mengakuiku sebagai anaknya.

SEEKOR KECOA BERGERAK DI ATAS PIRING.

Hee bandit kecil kau masih disitu? Kau mau mengucapkan selamat jalan kepadaku, atau hanya mau merampok rasumku seperti biasa? Kau tahau apa artinya dibuang? Kau bisa membayangkan bahwa sejumlah orang di sana merasa berhak menghapus seluruh dunia ini dari mata seorang manusia. Tidak, kamu tidak tahu. Kamu hanya bisa makan dan berak. Berfikir bukan tugas kamu.

MENANGKAP

Sekarang kamu harus menjawab. Bagaimana rasanya terkurung disitu? Bagaimana rasanya diputus dari segalanya? ketika ruangan kamu dibatasi dan tak ada yang lain lagi disekitar kamu kecuali gelap, kamu akan mulai meronta. Kamu ingin di perhitungkan! Kenapa Cuma orang lain yang dimanjakan! Dengar sobat kecil. bagaimana kamu mampu meronta kalau kamu tahu akan sia-sia? Mereka dahului nasib kita, mereka lampui rencana kita. Dia yang sekarang berdiri tuh jauh di sana dengan kaki menjuntai sampai mengusap kepalamu karena kasihan, ya tapi Cuma kasihan, tidak ada pembelaan, tidak ada tindakan apa-apa yang kongkrit. Mereka sudah begitu berkuasa!

TIBA-TIBA BERTERIAK DAN MELEPASKANNYA

Gila. Kamu melawan? (KETAWA) Kamu menghasutku untuk melakukan melawan? (KETAWA) Tidak bisa. Manusia bisa kamu lawan. Tapi dinding beku ini tidak. Mereka bukan manusia. Mereka bukan manusia lagi. itu sistem yang tak mengenal rasa. Tak ada gunanya kawan, tidak.

MEMBURU DAN MENGINJAK KECOA ITU

Kamu tidak berdaya. Kamu sudah habis (TERTEGUN).

MENOLEH KE TOPINYA TIBA-TIBA TERSENYUM RIANG

He, kamu ada di situ Nengsih! Rupanya kamu yang dari tadi melotot disitu. Apa kabar? Sedang apa kamu sekarang? Kenapa lipstik kamu belepotan? Ada hansip yang memperkosa kamu? Jangan diam saja seperti orang bego sayang. Ke mari. Masih ingat pada aku kan?

MENUNDUKAN KEPALANYA, KEDUA TANGAN DI DEKAT TOPI ITU

Aku bukan orang yang dulu lagi. kau pun tidak.ketiak kita sudah ubanan. Tetapi kita pernah bersamasama membuat sejarah dan itu tidak bisa di hapuskan begitu saja. sekeping dari diri kamu masih tetap dalam tubuhku dan bagian dari punya ku masih tersimpan pada kamu. Kita bisa berbohong tapi itu tidak menolong.

MENYAMBAR TOPI

Mari sayang. Temani aku hari ini menghitung dosa. Berapa kali kamu aku tonjok, berapa kali aku elus, berapa kali aku sumpahi. Tetapi jangan lupa berapa kali aku berikan bahagia. Waktu kusedot bibirmu sampai bengkak. Waktu kita berjoged (BERJOGED) diatas rel kereta. Waktu ku bawa kamu naik ke puncak monas, waktu kita nonton wayang dibawah jembatan. Tapi kenapa kemudian kamu lari dengan bajingan itu. sundal !! lonte! (BERHENTI BERDANSA) Aku masih Ingat ketika menyambar parang dan menguber kamu di atas jembatan. Lalu ku tubles lehermu yamg panjang itu. tidak, aku tidak menyesal. Aku tahu janin dalam perutmu juga ikut mampus. tapi itu lebih baik. Biar kamu hanya menjadi milikku. Kamu mengerti (MENANGIS) kamu tak pernah mengerti. Kamu tak pernah mencintaiku. Bahkan kematian tak menyebabkan kamu mengubah sifat bencimu. Kamu menang Nengsih. Kamu mati tapi kamu menang. Sialan. Kok bisa.

MELIHAT MATAHARI NAIK KE ATAS JENDELA



He matahari kamu jangan ngece! Kamu jangan sombong. Kamu tak perlu tertawa melihat bajingan menangis. Apa salahnya? Air mata bukan tanda kelemahan tapi kehalusan jiwa. Kurang ajar kamu terkekeh-kekeh ya! Kau tidak bisa melewati kepalaku. Bukan kau yang paling tinggi di sini. Aku tetap lebih tinggi dari kamu. Kamu tidak bisa melampauiku hari ini.

MENGAMBIL KURSI DAN MELOMPAT KE ATAS MEJA LALU NAIK KE ATAS KURSI

Naiklah lebih tinggi lagi. aku akan membumbung dan tetap yang paling tinggi selama-lamanya. Sampai aku sendiri turun dan menyerahkan tempat ini kepadamu. Besok aku akan mengembara mencari duniaku yang hilang. Tanpa teman, tanpa saudara, mencari sendirian sepanjang malam. Aku putari dunia, aku masuki lautan, aku reguk segala kesulitan, tapi pasti tak akan aku temukan apa-apa. (MEMIKUL KURSI) ke atas pundaku berjatuhan segala beban. Semua orang melemparkan kutukan. Mereka bilang akulah biang keladi semuanya. Kalau ada anak yang mati, akulah yang membunuhnya,. Kalau ada kebakaran, akulah pelakunya. Kalau ada perkosaan, akulah jahanamnya. Kalau ada pemberontakan, akulah biangnya. Tidak! Itu bohong! Harus dihentikan sekarang.

MELOMPAT TURUN DENGAN KURSI DI PUNDAKNYA, BERJALAN
MENGELILINGI RUANGAN

Di dalam ruangan ini aku menjadi manusia. Di dalam ruang ini aku terlahir kembali. Mataku terbuka dan melihat cinta di balik jendela. Melihat keindahan cahaya matahari dan bulan yang romantis malam hari. Aku ingin kembali mengulang sekali lagi apa yang sudah ku jalani. Tapi tuhan datang padaku tadi malam dan berbisik. Jangan Alimin. Jangan melangkah surut. Tetap jadi contoh yang jelas, supaya jangan kabur. Penjahat harus tetap jadi penjahat, supaya kejahatan jelas tidak kabur dengan kebaikan. Dunia sedang galau batas-batas sudah tak jelas. Tolonglah aku, katanya. Kini diperlukan seorang penegas. Dan aku terpilih. Aku harus tetap disini menegakan kejahatan!

MELETAKAN KURSI

Aku bukan lagi anak kamu ibu. Aku telah dipilih mewakili zaman. Menjadi contoh bromocorah. Kau harus bersyukur ini kehormatan besar. Tak ada orang berani menjadi penjahat, walaupun mereka melakukan kejahatan. Aku bukan penjahat biasa. aku ini lambang. Kejahatan ini kulakukan demi menegakan harmoni. Jadi sebenarnya aku bukan penjahat, tapi pahlawan yang pura-pura jahat. Aku tak peduli disebut bromocorah karena aku sadar itu tidak benaraku lakukan semuanya ini meskipun tidak masuk kedalam buku sejarah, karena tidak ada seorang penulis sejarah yang gila melihat kebenaran ini.


BERGERAK KEDEPAN MEJA

Yang mulia hakim yang saya hormati. Saya tidak akan membela apa yang sudah saya lakukan. Saya justru ingin menjelaskannya. Bahwa memang benar saya yang melakukansegalanya itu. hukumlah saya. Dua kali dari ancaman yang telah paduka sediakan. Wanita itu saya cabik lehernya, karena saya rasa itu paling tepat untuk dia. Kemudian harta bendanya saya rampas, karena kalau tidak dimanfaatkan akan mubazir. Saya lakukan itu dalam keadaan yang tenang. Pikiran saya waras. Tapi mengapa? Saya tak bisa menjawab, karena bukan itu persoalanya. Saya justru ingin menanyakan kepada bapak dan kepada seluruh hadirin di sini. Mengapa seorang wanita yang tercabik lehernya mendapat perhatian yang begitu besar, sementara leher saya dan jutaan orang lain yang dicabik-cabik tak pernah diperhatikan. Apa arti kematian seorang pelacur ini dibandingkan dengan kematian kita semua beramai-ramai tanpa kita sadari? Di depan anda semua ini saya menuntut. Berikanlah saya hukuma yang pantas. Tetapi jangan lupa berikan juga hukuman kepada orang yang telah mencabik leher kami itu dengan setengah pantas saja. karena saya cabik leher wanita itu harapan anda semua akan teringat bahwa leher kamipun sudah dicabik-cabik dengan cara yang sama. Dan semoga ingatan itu diikuti pula pada hukuman yang bersangkutan. Kalau sudah begitu apapun yang dijatuhkan kepada saya, dua kali mati sekalipun akan saya jalani dengan rela. Kalau tidak.

MELIHAT SESEORANG DATANG

O Bapak. Mari masuk pak. Silahkan, rumah saya sedang berantakan. Ada apa pak. Tumben. Kelihatanya terburu-buru. Ada yang tak beres. O … soal yang kemarin. Sudah selesai. Sudah saya bereskan. Badannya saya potong tiga. Saya geletakan dua potongf dekat tong sampah. Yang sepotong lagi saya sembunyikan di rawa. Pasti akan ketemu, tapi biar ada kerepotan sedikit. Pokonya beres. Bapak bawa untuk saya sisanya. Apa? Masak? Keliru? Tak mungkin. Tapi anak itu paki anting-anting di sebelah kiri kan? Kanan? Apa bedanya. Kan Bapak bilang Cuma pakai anting-anting, mungkin hari itu dia pakai di sebelah kiri supaya orang keliru. Tapi saya tahu itu dia. Hanya dia yang pakai baju seperti itu dan jalanya sedikit oleng sedikit. Belum sempat berpaling saya beri. Apa? Salah? Gila! Jadi itu anak siapa? Gila, anak pemain Band itu. ya, ya saya kenal. Bajingan. Dia kan orang baik.

(MELONCAT TURUN) Ya tuhan, mengapa kamu tipu saya. Kenapa tak kamu bilang bukan itu orangnya. Keliru sih boleh saja. tapi jangan anak itu. bapaknya baik sekali. Ibunya juga selalu memberi nasehat. (MELIHAT KEDEPAN DENGAN PUTUS ASA) Saya minta maaf. Bukan saya yang melakukanya, tapi setan. Apa alasan saya mengganggu anaku itu, saya justru banyak hutang budi. Dia sering membelikan rokok dan membelikan minuman. Dia sering menegur saya di tempat orang banyak. Saya dikenalkanya kepada kawan-kawanya sebagai orang baik-baik. Dia teman saya. Tidak, itu bukan perbuatan saya, tapi orang lain yang memakai tubuh saya, swaya tak ikut tanggung jawab. Apa? Ya saya tahu. Kesalahan tak mungkin diperbaiki dengan kata-kata. Jadi saya harus menebus? Ya sudah, biar lunas. Kalau begitu potong saja tangan saya ini.

MENYEMBUNYIKAN SATU TANGAN DI DALAM BAJUNYA

KEMUDIAN BERJALAN MASUK KE BAWAH MEJA

Aku sudah potong masak belum lunas. Wajahnya selalu memburuku. Lalu buat apa aku potong kalau masih dikuntit. Orang keliru namanya. Masak terus saja diburu. (MENGANGKAT MEJA) masak aku yang harus memikul ini sendirian. Mana itu mereka ayang menyuruh, ini kan semua gara-gara mereka. Mengapa sekarang Cuma aku yang menanggung akibatnya. Tangkap dong mereka jangan aku saja. lama-lama begini aku tidak kuat ini, yang ditangkap mesti yang dosanya sedikit. Betul. Aku kan punya batas. Hentikan! (MENGELUARKAN TANGANNYA LAGI) ya sudah, kalau begitu Tak jadi saja. (MENARUH LAGI MEJA KE LANTAI) kalau kamu bisa curang, saya juga bisa!


Bertahun-tahun aku alihkan makna kemerdekaan kedalam jiwaku. Pada hari ini aku bebas. Walaupun tubuhku masih dipatok di antara dinding jahanam itu, tapi jiwa ku sudah merdeka. Tetapi mereka saat itu mereka memberi ampunan. Aku diseret lagi keluar untuk berlomba meregut kebebasan jasmani. Aku tak siap. Aku seperti burung yang terlalu lama didalam sangkar. Aku tak bisa lagi terbang. Aku takut. Dunia ini tak kukenal lagi. pada kesempatan pertama kugerogoti barang-barang di warung tetangga. Tetapi tak ada yang menangkapku.



Hansip malah ikut berbagi dan menunjukan warung berikutnya. Dalam kesempatan lain, kuangkat belati kleher seorang penumpang becak. Dari kantongnya keluar jutaan rupiah, yang dibalut kertas koran. Aku kira polisi akan mengejarku. Tetapi ternyata tidak ada yang tahu. Pada kesempatan ketiga ku perkosa seorang anak di pinggir kali. Dia menjerit-jerit dalam tindihanku, tapi tak ada yang menolong, hingga akhirnya kulepaskan karena lasmaniku tak sanggup memperkosa. Karena putus asa aku gebok orang di jalan. Mukanya berdarah. Tapi tak seorang juga yang menangkapku, aku malah diangkat jadi keamanan. Dan banyak orang berbaris jadi pengikutku. Apa yang harus aku lakukan. Nilai-nilai sudah jungkir-jungkiran. Aku tak paham lagi dunia ini. Aku jadi orang asing. Aku tak bisa lagi menikmati kemerdekaan. Bisa-bisa aku edan. Masukan aku ke penjara lagi, biar jiwaku bebas, di sana semuanya masih jelas mana hitam mana putih, di dalam kehidupan sekarang yang ada hanya ada kebingungan.

IA MERAIH BOTOL MINUMAN DAN MENENGGAKNYA

Kalau sudah menderita orang jadi penyair. kalau sudah kepepet orang mulai bernyanyi. Dan kalau ada yang hendak dirampok orang berdoa. Sekarang aku menari, karena sudah putus asa. (MENARI) badanku ringan. Aku melambung keangkasa. Dan tuhan menyapaku dengan ramah. Bung Alimin hendak kemana kamu? Aku mau keatas lebih tinggi. Tapi kamu tidak boleh lebih tinggi dari syurga. Siapa bilang tidak, kalau aku mau aku bisa. Dan aku melenting lagi, tapi terlalu tinggi, terlalu jauh (BERHENTI MENARI DAN TEGAK SEPERTI

BIASA, LALU MELONCAT LAGI KEATAS MEJA)

Aku terlontar jauh sekali, tinggi sekali melewati syurga ke dekat matahari. Tubuhku terbakar. Aku hangus dan hilang dalam semesta. Aku tidak ada lagi aku bersatu dengan semesta. Aku menjadi tuhan.

IA DUDUK DI BIBIR MEJA LALU MEROSOT, TERDUDUK SAMBIL MEMEGANG BIBIR MEJA MENGIKUTI BADANYA. LALU IA MEMBUNGKUK DAN MENGANGKAT MEJA ITU KE ATAS PUNGGUNGNYA. IA ADA DI BAWAH MEJA.

Atau mungkin hanya hantu. enak juga jadi hantu. Tidak kelihatan, tapi bisa melihat. Aku bisa masuk ke kamar mandi mengintip perempuan-perempuan jadi cabul kalau sendirian. Aku masuk kedalam kamar tidur para pemimpin dan melihat ia menjilati kaki istrinya seperti anjing. Aku masuk kedalam rumahrumah ibandah dan melihat beberapa pendeta/pemangku umat main judi sambil menarik kain para pembantu. Tak ada orang yang bersih lagi. semewntara dogma-dogma makin keras ditiup dan aturan banyak dijejerkan untuk membatasi tingkah laku manusia, peradaban makin kotor. Ah, apa ini? Menjadi hantu hanya melihat keberengsekan! Nggak enak ah!

(BERDIRI) tak enak jadi hantu. Tidak enak jadi tuhan. Lebih baik jadi batu. Diam, dingin dan keras. Tidak membutuhkan makan, perasaan dan bebas dari kematian. Aku mengkristal disini menjadi saksi bisu bagaimana dunia menjadi tua. Pemimpin-pemimpin lahir, lalu berhianat. Peperangan hanya permainan beberapa orang. Manusia menyusahkan dirinya dengan peradaban, teknologi menjadi buas. Tak satu pun bersangkutan dengan kehadiranku. Tetapi tiba-tiba kulihat seorang anak kecil dikejar raksasa. Wajah anak itu mirip dengan wajahku waktu masih menyusu. Ia meronta-ronta minta pertolongan. Tapi tak ada orang lain kecuali aku, sebuah batu. Anak itu menjerit-jerit pilu. Tolooongggg! Aku jadi terharu. Akhirnya aku tak bisa diam. Aku meloncat dan menghantam raksasa itu, mengingkari diriku. Raksasa itu mati. Tapi anak itu juga lari. Di mana-mana kemudian ia bercerita, bagaiman membunuh raksasa dengan tinjunya. Dan itulah aku. Kejahatanku yang terbesar adalah jatuh cinta pada diriku sendiri.

TERDENGAR BUNYI LONCENG SATU KALI

Selamat tinggal dinding bisu dengan semua suara yang kau simpan. Selamat tinggal jendela yang selalu memberiku matahari dan bulan. Selamat tinggal sobat kecil, yang selalu mencuri rasumku. Selamat tinggal sipir penjara yang marahnya tak habis-habis pada dunia. Dan (KERAS) selamat tinggal Karpo pembunuh yang tak akan keluar hidup dari penjara ini. Selamat tinggal segala yang kubenci dan kucintai. Inilah salam dari Alimin sahabat semua orang, yang sekarang harus pergi. Ingin kuulang semuanya, walaupun hanya sebentar. Tapi tak bisa. Janjiku sudah lunas. Sekarang aku berjalan dalam kebisuan yang abadi, untuk membeku bersama masa lalu.

(IA PERLAHAN-LAHAN MELAYANG KEATAS) Sekarang baru jelas, apa yang sudah aku lakukan, apa yang masih belum aku lakukan. Tetapi semuanya sudah selesai. Dalam segala kekurangannya ini adalah karya yang sempurna. Aku mengagumi keindahanya. Aku merasakan kehadiranya. Aku memasuki tubuhnya sekarang. Selamat tinggal semuanya.

TERDENGAR BUNYI TEMBAKAN. IA TERSENTAK LALU NAMPAK KAKU, BEBERAPA SAAT KEMUDIAN IA MELOMPAT

Terima kasih atas perhatia saudar-saudar. Bertahun-tahun orang ini dihukum sampai ian tua dalam penjara. Mula-mula ia masih punya harapan akan ada pangadilan berikutnya. Tetapi ternyata putusan itu sudah final. Kemudian ia mengharapkan akan ada pengampunan. Tetapi itu juga sia-sia, karena banyak kasus lain yang mengubur nasibnya. Saudara-saudara kita memang terlalu cepat lupa. Akhirnya ia mencoba menunggu. Hampir saat ia di bebaskan, tiba-tiba seorang wartawan membuka kembali kasus itu. bukti-bukti baru muncul. Dengan tak terduga, ia muncul sebagai orang yang tak bersalah. Tetapi sebelum pintu penjara dibuka kembali untuk memberinya kebebasan, orang yang itu mati menggangtung diri. Bukan karena putus asa. Tetapi sebagai protesnya mengapa keadilan memakai jam karet.

DUDUK DI KURSI DAN MENJADI TUA

Omong kosong! Orang itu menggantung diri karena setelah lima puluh tahun dalam penjara, baru ia sadari segala tindakannya itu keliru. Bahkan ia yakin hukuman mati belum setimpal dengan dosadosanya. Lalu ia menghukum dirinya sendiri. Memang ada kasusu kesalahan menghukum, tetapi itu kasus lain, jangan digado, ini bukan nasi campur!

Harus dicampur supaya jelas kesalahanya!

Itu memutar balik soal!

Apa boleh buat tidak ada jalan lain!

Kamu subversiv!

Kejujuran kamu disalahgunakan!

Tolong!

Biar nyahok!.

Tolongggggg!

Mulut yang sudah kacau, pikiran yang sudah terlalu lentur, penghianatan yang sudah menjadi pandangan hidup harus diberantas! Sekarang juga!

Tolongggggg!!

IA MENCEKIK LEHERNYA SENDIRI LALU MENDORONG SAMPAI NYEROSOT

DARI KURSI LALU BERBARING DENGAN KAKINYA DI ATAS KURSI. TERDENGAR SUARA GEDORAN BERTUBI-TUBI Tolonggggggggg! (JATUH).

SELESAI



2. ALIBI 
Karya : S. JAI

S. Jai Keluarga adalah titik batas paling rumit, sekaligus pertarungan menakjubkan antara kepentingan pribadi dan masyarakat. Sulitnya perjuangan membebaskan pikiran dan kenyataan bahwa apa yang dimakan anggota keluarganya bukan hasil korupsi.



MALAM HARI. PANGGUNG SISI KANAN SEBELAH BELAKANG ADA LUKISAN BESAR. BEGITU BESAR MENYERUPAI LAYAR. BEBERAPA GEDEBOK PISANG. TANAH ATAU JERAMI ATAU APA SAJA. DI ATASNYA SESEORANG TIDUR TELUNGKUP DENGAN POSISI SEPERTI BARU JATUH DARI LANGIT.

MENGGENGGAM SEBENTUK GUNUNGAN. PANGGUNG SISI KIRI ADA MEJA DAN KURSI            MALAS.          SEPASANG    SEPATU.        BEBERAPA BAJU     TERGANTUNG        DI

KAPSTOK DEKAT PINTU. BERSERAKAN KERTAS DAN BUKU. SEBUAH BOLA.

BAGIAN PERTAMA

LAMPU   FADE  IN   PANGGUNG KANAN.  SUASANA  TEGANG MENCEKAM.

SESEORANG MEMAINKAN SEBENTUK GUNUNGAN. GEMURUH BADAI. GELORA

SAMUDERA. SULUK AMUK. SENANDUNG MERONTA.

SESEORANG: (SULUK AMUK) Sesungguhnya aku lahir bukan untuk mengenal kebencian. Tapi sekarang justru kebencian tidak bisa begitu saja aku benci untuk kubicarakan. Begitu aku membencinya kebencian itu, aku malah tersiksa dibuatnya. Aku menjadi sulit tidur karena terus memikirkannya. Bukan karena kusengaja, tapi ia menyerobot masuk dalam alam pikiranku dalam otakku. Tanpa permisi.

SESEORANG: Masuk! Masuk! Cepat masuk. Hei! Yang di kamar semua keluar. Tutup pintu kuat-kuat.

SESEORANG: Enaknya keluar apa masuk?
SESEORANG: Terserah. Masuk lalu keluar. Bisa juga. Kalau perlu itu pintu dipaku.

SESEORANG: Atau keluar dulu baru masuk.



SESEORANG: Paling enak, sama-sama masuk. Sama-sama keluar. Bagaimana sih?

SESEORANG: Cepat sembunyi di lubang yang kemarin kita gali.

SESEORANG: Ya, begitu. Jangan berisik. Tahan. Jangan kencing dan berak di dalam.

SESEORANG: (SULUK) Kalau pun aku bisa tidur, saat otakku mulai agak kendor justru ia sering menggedor-gedor. Begitu kuberi peringatan sepertinya ia malah bernada mengancam. Ketika kubuka mataku, ia yang berwajah menyeramkan itu sudah berdiri hadir persis di depanku.

BANGUN DALAM KONDISI SETENGAH SADAR MENGANGKAT TUBUHNYA

SESEORANG: Lalu aku pun lupa diri bahwa aku tengah bermimpi. Anda tahu, bagaimana rasanya mimpiku? Betul-betul seperti bukan mimpi. Benar-benar seperti aku berada di alam


nyata. Seperti ini. Ya, seperti pertemuan kita hari ini. Mula-mula ia tak bicara apa-apa. Dengan itu pun aku sudah serasa terganggu betul. Namun karena ia datang di setiap tidurku, akhirnya sedikit-demi sedikit ia mulai membuka suara. He, apa kabar? Begitu pertama kali ia menyapa aku. Semenjak itulah aku berkenalan dengannya dan tidurku pun jadi lebih bervariasi. Yang biasanya tak pernah menikmati seteguk kopi, dalam tidurku itu mulai ada kesan aku harus menghidangi tamu aku itu dengan kopi. Nah, mimpi aku seperti di alam nyata bukan. Hebatnya lagi, kesan pertamaku: Sungguh tamuku itu seorang yang ramah. Di susul kemudian dalam mimpi itu kami pun berkenalan.

SADAR DARI AMUK. MELOMPAT. MEMBERSIHKAN TUBUHNYA. SESEORANG:

Begitulah perkenalanku dengan kejahatan. Karena ia datang tiap malam, kami pun jadi akrab. Ia banyak menawarkan jasa baiknya buat bekal aku hidup di dunia yang seringkali sulit kumengerti ini. Hidup yang makin kupikirkan, makin kebingungan pula aku menemukan ada apa di balik selimut misteri ini. Boleh dikata perkenalanku dengan kejahatan itu membuat aku jauh lebih hidup dari hidup. Edan, kok bisa ya?

MELOMPAT KE SISI PANGGUNG KIRI. MEMERIKSA PINTU.

SESEORANG: Malam ini dia datang lagi. Tapi tak aku bukakan pintu. Biar dia di luar sana saja. Menunggu hingga tidurku kelar. Anda tak percaya, silakan coba cek di luar sana. Tunggu sebentar kawan. Masak menunggu barang satu dua jam saja nggak betah? Berilah aku waktu untuk istirahat biarpun sebetulnya berbincang-bincang denganmu itu apalagi pada malam hari rasanya seperti istirahat. Bukankah sebetulnya bersama denganmu itu suatu hiburan? Iseng ala kadarnya saja? Sekadar untuk melengkapi isi dunia ini biar tak serius melulu saja? Jadi begitu, oke? Tunggu sebentar karena aku sedang menjamu tamu lain di ruangan yang sempit ini. Maafkan aku kalau kalian mempersoalkan ruangan yang serba sempit ini. Karena inilah yang kupunya satu-satunya. Begini saja aku sudah amat bersyukur karena ruangan ini memiliki dinding-dinding yang tebal sehingga jika pada suatu ketika ada orang yang bermaksud buruk hendak melenyapkanku dari semesta ini, ia tak begitu mudah untuk merobohkannya. Jadi aku rasa cukup aman untuk sementara aku sembunyi dari orangorang jahat itu. Tapi masalahnya zaman sekarang banyak buldoser. Dan Tuhan telanjur menciptakan buldozer itu begitu kuat dengan tangan dan kakinya yang kokoh tapi tanpa sepasang mata apalagi mata hati nurani.
MENGINTIP LEWAT LUBANG PINTU SESEORANG:

Untunglah pada jam-jam seperti ini tak ada buldozer yang meraung-raung. Jadi benarbenar untuk sementara rumahku ini aman dari gangguan seperti itu. Ya, kadang-kadang ada juga sih, makhluk asing itu jadi kesurupan bila malam tiba. Ia mengamuk. Tapi itu tidak untuk rumahku ini. Itu untuk rumah-rumah penduduk yang ketiban sial saja yang keesokan harinya, lantas pemilik rumah yang dirobohkan itu beramai-ramai mendatangi proyek dan melempari buldozer yang saat itu malumalu kucing. Buldozer itu malu dan begitu malunya sehingga hanya bisa diam di tempat, tak bisa menyusun kata-kata untuk membela diri. Kasihan ya, buldozer itu.

TERDENGAR SENANDUNG KESEDIHAN. SESEORANG:

Apa? Nggak dengar? Ada yang kasihan pada orang kampung? Kasihan sih boleh saja. Tapi orang bilang berkata kasihan tapi tanpa bisa melakukan apa-apa itu sama artinya dengan munafik. Sorry ya, saya tak bisa bila harus berbuat dengan suatu kemunafikan. Tahukah Anda kemunafikan itu jauh lebih tak manusiawi daripada kejahatan? Ya, memang banyak orang jahat ada di bumi ini, tapi itu pun demi keseimbangan semesta dan di luar dugaan tak sedikit para penjahat yang amat manusiawi. Tak sedikit para perampok yang baik hati dan tahu diri ia tengah menjalankan misi mulia dari Tuhan untuk semesta ini. Banyak bukti yang bisa anda sebut. Apa, Robinhood? Ah itu terlalu jauh dan hanya ada dalam dongeng. Terus, Kalijaga? Cuih, yang ini pun cuma cerita dari mulut ke mulut yang amat sulit kita buktikan kebenarannya. Bahasa kerennya, mitologi. Itu sulit kita usut asal-usulnya. Hanya seperti sastra maupun melodrama. Paling-paling isinya kotbah moral untuk anakanak bila tak memilih hitam berarti harus memilih putih. Bila sulit untuk memilih putih, maka dengan sedikit rekayasa dimusnahkanlah si hitam itu agar anak-anak jadi tepuk tangan meriah. Anak-anak tidak tahu bahwa dunia ini sekarang tak cuma sedang jungkir balik, tapi juga miring oleng, berputar, nyungsep ke kanan-kiri, atas-bawah dan depan-belakang. Dan kita tak bisa berbuat apa-apa karena tak satupun tersedia pilihan untuk kita. Ada yang salah dengan isi pikiran kita sejak kanak-kanak. Ada yang keliru dengan cara kerja kita semenjak kecil. Ada yang tidak benar dengan perasaan kita semenjak dini. Hasilnya seperti ini. Contohnya, aku yang berdiri gagah di depan ini. Jangan tanyakan untuk apa aku di sini, jangan tanyakan darimana asal muasalku, berangkat pakai apa, masuk lewat pintu mana, karena itu semua betul-betul tidak penting bagi kita. Bukankah jawaban dari pertanyaan itu bagi kita adalah sama? Barangkali hanya satu yang tak semua kita punya: nyali, keberanian.

KEPADA LUKISAN BESAR MENYERUPAI LAYAR SESEORANG:

Keberanian itu barang mahal. Karena itu jangan biarkan siapapun untuk merampoknya dari kita. Siapapun yang datang dan bertamu ke rumah harus diselidiki dulu, siapa tahu ia hendak merampok satu-satunya milik kita ini, ya? Pesanku kecurigaan harus benar-benar ditumbuhkan semenjak dini. Pada siapapun. Tak peduli tetangga, kerabat, sahabat baik, kawan apalagi lawan. Soalnya, biasanya mereka mulanya datang dengan air muka baik-baik lalu pergi dengan agak baik. Tapi itu pertemuan pertama, begitu pertemuan kedua, mereka bertamu dengan tampak muka begitu pulang tahu-tahu kita sudah tak memiliki apa-apa. Jangan dikira, pesanku seperti ini hanya untuk anda. Untuk aku juga karena aku baru menyadari beberapa jam sebelum ini. Sebab itu, tak seperti biasanya, kali ini aku biarkan tamuku menunggu di luar kamar ini. Aku sedang mempertimbangkan apa-apa yang tersisa padaku yang masih kumiliki dan seberapa besar yang telah dirampok olehnya. Untuk itu pula aku memilih lebih dulu menemui anda. Rupanya, pola pikirku yang baru berkata: Andalah yang layak aku curigai berikutnya. Pola kerjaku menyebutkan aku harus kerjakan dengan penuh tanggungjawab apa yang aku bisa untuk tamu-tamuku. Lalu perasaanku mengungkapkan yang penting aku berbicara penuh kesadaran, tanpa emosi dan yang lebih penting lagi aku tidak dalam keadaan mabuk. Ya, jujur saja saya akui, aku tidak mabuk minuman maupun oleh kata. Aku bukan Guru Nankai, Sang Priyayi Pengetahuan Barat, Sang Pahlawan apalagi Rumi yang menari-nari diiringi musik si jenius Diwan. Sekali lagi bukan.

SENANDUNG KESEDIHAN MAKIN KERAS. KEPADA DIRINYA SENDIRI.

SESEORANG: Aku ini orang biasa. Aku ini suami dari istriku, ayah dari anakku. Aku bukan manusia pilihan Tuhan. Aku datang di tempat ini atas kehendakku sendiri, pilihanku sendiri. Soal yang ini kadang-kadang aku sempat tanyakan apakah Tuhan sedang lupakan aku? Karena tidak ada jawaban, akhirnya aku pun terpaksa menyimpulkan sendiri pertanyaanku dengan pertanyaan lain. Benarkah ini aku sendiri yang bertanya? Atau ada mahluk lain dalam tubuhku yang membisikkan suara sehingga aku mengajukan pertanyaan muskil seperti itu? Pertanyaan itupun tak pernah kutemukan
jawabnya, di rumah maupun di luar rumah. Di tempat sepi dengan dinding-dinding dingin seperti ini, maupun di keluasan udara panas di luar sana. Buktinya, aku toh, bertahun-tahun tetap seperti ini keadaannya. Tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan.


Aku juga tidak jadi lebih pintar dari kemarin. Aku jadi tidak lebih mengerti dari sebelumnya. Aku juga tidak lebih baik keadaannya dari yang dulu-dulu. Apalagi, Aku juga tidak lebih kaya dari kehidupanku yang biasanya. Terus, mau jadi apa aku ini? Seperti ini, yang kuherankan kok, aku masih terus bertanya? Setan apa yang membujuk aku sehingga begini. Lalu, dedemit mana yang menyeretku hingga datang kemari. Bagaimana sih, jadinya kok aku meragukan pilihanku sendiri? Ataukah memang nggak ada bedanya antara aku dengan setan?

KEPADA PENONTON

SESEORANG: Maafkan aku, kalau apa yang kukatakan ini kurang anda mengerti. Maafkan aku jika bicaraku ternyata malah membingungkan pikiran semua yang hadir di sini. Bukan maksudku untuk mengusik ketenangan Anda sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Bukan. Jadi silakan yang tak sudi mendengarkan bicaraku, silakan menunggu di luar saja. Karena toh, jujur saja kuakui, apa yang kubicarakan ini tak lain adalah tentang diri pribadi aku. Betul-betul menyangkut privasi aku. Silakansilakan jika keluar. Menunggu di luar. Pesanku, di luar sana sekarang juga sedang menunggu seseorang yang semenjak tadi memang tak kuizinkan untuk masuk.. Tahu alasannya? Karena ini adalah rumahku. Tahu alasan lainnya? Karena yang berdiri di luar pintu rumah ini adalah sosok yang harus kucurigai. Kejahatan. Ah, tapi rupanya ini kata-kata yang amat umum di telinga kita. Tak ada yang asing. Boleh jadi pengakuannya, tentang kejahatan itu tak persis dengan kenyataannya.

DIKEJUTKAN GEDORAN PINTU BERTUBI-TUBI

SESEORANG: Tunggu sebentar! Aku masih menjamu tamu. Bagaimana sih? Sabar sedikit do g. “ssttt… Beginilah caraku mengolor-olor waktu. Aku harus pura-pura sibuk berbicara dalam pertemuan ini untuk secara halus menolak membuka pintu untuk tamuku yang jangan-jangan untuk kali ini benarbenar mewujudkan niatnya: Merampok nyaliku. Karena tanda-tanda bahwa aku sedang menuju kekalahan itu sudah ada sih. Ya, perkiraanku, sedikit lagi aku pasti diperdaya. Kadang-kadang, aku ini juga merasa tidak bisa bertanggungjawab atas diriku. Seringkali aku meragukan batas-batas kemanusiaanku. Antara diriku sendiri dengan orang lain. Antara apa yang kuyakini dengan yang mendesak untuk membujuk aku. Antara pikiran dan emosiku. Bahkan antara kemanusiaan dan kebinatangan. Antara homo ludens dan homo sapien. Tahukah anda, masalah ini aku sudah mencapai titik klimak. Buktinya, bila suatu kali muncul dendam, timbul amarah, di luar dugaan, maksudku tak ada dugaan apa-apa, aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa, takut pun tidak, berani juga nggak, apalagi gamang. Coba bayangkan bila orang biasa seperti aku tiba-tiba dengan amat cepatnya tak punya perasaan apa-apa. Bukankah segalanya bisa terjadi? Mulai dari kemungkinan tak terjadi apaapa hingga amuk yang menghancurkan setiap garis hidup yang diatur Tuhan. Aku bisa gila dalam waktu cepat, setelah itu sembuh lagi, gila lagi, sembuh, lagi-lagi gila, gila-gila lagi. Sebaliknya, aku juga bisa membunuh, merampok, memperkosa, apalagi cuma berbohong, menipu, korupsi. Yang meski belum ada pengalaman tapi sudah mulai terpikirkan olehku karena beberapa kali TV menyiarkan adalah: Memakan daging manusia. Sepertinya, nikmat karena manusia itu makan-makanan empat sehat lima sempurna. Jika nantinya, keinginan itu muncul, aku ingin memulai
mengunyah dari jari kelingking. Pasti gurih. Kalau gadis, emm kira-kira dari bibir atau daging lain yang bisa disedot lebih dulu aiヴミya. “uputttt…..

MENOLEH KE  LUKISAN  BESAR   SEBENTUK LAYAR.   PANGGUNG MULAI MENYATU

SESEORANG: Apa? Kejujuran? Itulah salahku. Aku tak berani berkata jujur. Tapi baiklah, mulai hari ini berawal dari masukan Anda, aku akan mulai berani berkata jujur pada tamuku itu. Kalau aku tak mau menerimanya lagi sebagai tamu, aku akan katakan tidak. Jadi tak perlu aku kucing-kucingan karena aku meragukan diriku sendiri. Tak perlu aku mengolor-olor waktu karena banyak pekerjaan lain yang bisa kukerjakan demi kelangsungan hidup keluargaku. Ya, aku harus berani berkata jujur pada anda, bahwa aku telah berkeluarga. Satu-satunya, yang membuat aku menjadi manusia sekarang ini adalah karena aku punya keluarga. Punya istri dan punya anak. Ya, anjing pun sebetulnya punya pasangan dan punya anak juga. Barangkali anda mulai sulit untuk membedakan keluargaku dengan keluarga anjing? Baiknya aku berikan contoh dan itu tidak ada salahnya karena ini untuk kepentinganku agar anda tak melihat keluargaku seperti halnya melihat kerumunan anjing. Begini, dalam pertemuan ini aku bisa respect dengan anda atau sebaliknya, anda bisa respect padaku. Nah, sikap respect-ku terhadap istriku, itu biasa disebut cinta. Kalau kepada anjing, aku hanya bisa suka pada anjing dan sebaliknya, anjing bisa suka padaku. Tapi soal suka anjing padaku itu tentu saja tanpa sepengetahuanku apa artinya. Demikian juga antara anjing dengan anjing serta anak anjing. Lalu, adakah di antara mereka perasaan cinta? Di sini anjing bisa saja diganti dengan kambing atau kucing. Jadi meskipun aku di rumah ini memelihara kambing dan kucing, tapi jika aku bicara keluarga, keduanya tak kumasukkan sebagai anggota keluarga. Ya? Karena soal makan dan tempat tidur? Oh, itu. Benar, semua tahu kambing makan rumput jadi istri saya tak perlu ajak dia jalan-jalan ke pasar. Tapi kucing? Kami seringkali makan sama-sama di kamar makan. Tidur juga si manis itu terbiasa menyusul di kasur. Pertanyaannya sekarang mengapa aku jadi sibuk dengan kucing? Apakah ada yang sedang jatuh cinta dengan kucing di sini? Kalau ada, mungkin benar tai kucing rasa coklat.

PANGGUNG JADI SATU. TIDAK ADA BATAS MIMPI - KENYATAAN

SESEORANG: Kenapa aku ingin bicara tentang keluarga? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak tepat betul. Bisa saja aku ganti pertanyaan lain. Kalau bukan aku yang bicarakan lantas siapa lagi? Toh, kalau ada orang lain yang membicarakan keluargaku, atau ada orang lain yang membicarakan keluarga milik orang lain lagi, itu namanya turut campur urusan dapur orang. Dan ini bisa jadi masalah besar. Ini bisa berujung perang yang lebih dahsyat ketimbang perang dengan senjata supercanggih. Kita pasti pernah tahu bila terjadi perang mulut dengan tetangga akibat ikut campur itu tadi. Tapi kita juga tak pernah lupa banyak terjadi pembunuhan juga karena perang mulut. Si istri membunuh suaminya, atau suami membunuh istri orang lain. Lantas, ini mengingatkan aku pada pepatah lama, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Maaf kalau untukku, pepatah ini sama sekali tak berguna. Aku bisa saja menggantinya dengan: Mengurusi rumah tangga orang, lebih keji dari perang. Perang itu ada aturannya, tapi satu yang aku bicarakan ini sama sekali tak pernah ada konsensusnya.. Yang pernah berkeluarga tentu tahu arah bicaraku. Tapi yang belum berkeluarga, bukan maksudku untuk mencemooh dan tak peduli dengan status yang memang masih manusia setengah baya itu. Yang mau aku katakan, bagi yang belum berkeluarga cepatlah memutuskan untuk menikah, punya anak dan banyak masalah agar cepat dewasa. Apa, masalah sebetulnya menjadikan kita cepat dewasa? Itu kasuistis, bisa benar juga tak mustahil bisa salah. Yang, benar adalah berkeluargalah! Pasti banyak masalah! Dulu waktu aku masih muda dan sedang berpacaran. Satu rumusku: Buat masalah agar calon istriku tak pernah sedetikpun untuk berpikir mencari pengganti aku. Jadi, makin banyak masalah, akhirnya timbul masalah baru. Tahukah anda, dari semua masalah itu tak satupun yang tak bisa kupecahkan. Dan satu-satunya yang bisa mematahkan adalah perkawinan. Bukan maksudku menceritakan ini semua tanpa tujuan. Jadi janganlah terlebih dulu memvonis aku orang yang egois apalagi individualis. Sama sekali sifat itu jauh dari pemikiranku. Oh, ya untuk yang satu ini aku bisa ambilkan contoh dan aku bisa membuktikan itu benar tak ada pada diri aku. Sebagai intelektual, aku tak pernah menjual gagasan-gagasanku untuk diriku sendiri. Memang, aku tak pernah menjual gagasan satu kali pun. Swair. Untunglah, hingga kini terbukti tak ada seorangpun lembaga, negara, pemerintah apalagi asing yang tertarik membeli gagasanku. Jadi boleh dikata aku selamat dan aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Sering aku melihat dan berpikir, makin banyak saja orang menjual gagasannya, intelektual, seniman, sastrawan dengan harapan menerima segebok uang. Lalu, dimakanlah uang itu untuk keluarga, anak-istri dan mentraktir kawan. Tanpa berpikir apakah gagasangagasannya itu berguna untuk orang atau tidak. Merekalah yang pantas anda sebut individualis. Merekalah yang harus dimelekkan pikirannya, agar tak hanya mempertimbangkan perut besarnya. Bahwa, masih banyak yang harus diperjuangkan untuk atas nama manusia.

TIBA-TIBA MATANYA TERTUJU KE ARAH BOLA. DIHAMPIRI. DILEMPARKAN KE ATAS.            DITANGKAP. DIMAINKANNYA  DARI  SISI PANGGUNG     SATU  KE SISI PANGGUNG LAIN.

SESEORANG: Di muka bumi seperti ini manusia bisa berbuat dosa. Walaupun aku tidak paham betul apa artinya kata-kata ini, tapi setidaknya di tempat ini aku jadi bisa berpikir dari perkataan orang lain tentang dosa. Karena itu, bukan maksudku berkata demikian jadi orang yang sok moralis. Itu jauh dari sifatku. Jika pun benar adanya moral itu hanya masalah pribadi yang kurang pantas aku umbar untuk diperbincangkan di sini, karena aku memang tak sedang membicarakan masalah pribadi. Para cendekiawan berkata, seluruh pertanyaan di muka bumi ini termasuk yang termutakhir adalah pertanyaan ilmu pengetahuan, kecuali masalah-masalah pribadi. Dengan kata lain, tak ada soal yang tak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bila itu tak ditemukan jawabannya, dipastikan itu adalah masalah pribadi. Setidak-tidaknya itu problem kelompok. Maaf bila yang beginian kurang mendapat porsi perhatianku. Maksudku menceritakan keluarga adalah karena mata kecendikiawananku baru terbuka melihat dunia saat sesudah aku berkeluarga. Ya, meskipun ada juga sih kadang-kadang sedikit masih tersisa dan mengganggu aku, seperti tadi aku terusik oleh dosa. Bagaimana manusia bisa melihat dosa di tengah hiruk pikuk zaman dan semesta seperti ini. Betapa sulit mencari tempat kita berpijak di saat bola ini ditendang ke sana kemari. Di lapangan, bola mata para bola mania seringkali tertuju pada kaki-kaki bintang lapangan dan bukan pada bolanya, bukan? Lalu, apa yang bisa dipecahkan dari permainan seperti ini. Kemudian ini soal macam mana pula sebetulnya.

SAMBIL TERUS MAIN BOLA. MAKIN MEMAINKAN BOLA DENGAN LIARNYA

SESEORANG: Mustahil. Mustahil. Itu bukan watak intelektual. Masak manusia bisa dijadikan bola? Yang benar saja. Kalau itu ada sih, itu kan ada di dunia nyata tapi tidak ada di sini. Jangan salah. Sejak tadi aku belum sedikit pun bicara tentang dunia nyata. Soalnya menjijikkan, sih. Kok, tiba-tiba pikiran kamu nylonong saja? Pasti karena terinsiparasi dari permainan bolaku. Yang begitu-begituan terlalu kasar, tidak cocok untuk kita. Orang awam pun tahu kalau itu dosa. Masak kita bicarakan lagi? Itu sudah ada yang mengurus. Sudah ada petugasnya. Jangan kuatir, mereka bersenjata lengkap, lebih canggih dan yang pasti petugas itu sudah piawai menggunakan. Tapi kalau pemain bolanya, bersenjata? Masak yang begitu-begitu terus kamu tanyakan. Jawabannya, sudah jelas dan maaf itu yang amat menggangguku. Semula bagi aku, tidak ada dosa paling besar yang diperbuat manusia kecuali berpikir tentang masalah-masalah pribadi. Karena itu, aku bisa paling tersinggung jika diajak seseorang untuk bicara masalah-masalah kepribadian. Inilah menurut aku cikal-bakal dari pikiran manusia untuk berbuat korup, bertindak menyimpang dan buta aturan. Kepada mereka di mataku, tak lebih berharga dari seorang laki-laki pencuri mayat di kuburan. Kisah pencuri mayat itu sudah kusiapkan sejak semula.

MELEMPAR  BOLA  TINGGI-TINGGI.  LALU  SIBUK  MENCARI  KERTAS-KERTAS.

MEMBACA.

SESEORANG: Nah ini. Dengarkan baik-baik cerita yang tertulis di kertas ini. Dusun Kemalangan Desa Plaosan, Kecamatan Wonoayu-Sidoarjo diguncang kasus pencurian mayat. Warga heboh, persis kehebohan kasus Sumanto si pemakan daging manusia. Pelaku disinyalir kurang waras. Tulang belulang dari mayat yang telah digali itu pun lantas dibuat mainan oleh pelaku. Peristiwa menghebohkan itu terjadi menjelang hari kebangkitan. Mula-mula dipicu adanya temuan 5 kuburan yang digali seseorang dan 3 kuburan lainnya sempat diobrak-abrik. Entah bagaimana bisa luput dari perhatian juru kunci. Motif pembongkaran kuburan itu sungguh tak masuk di akal sehat. Konon, diperkirakan untuk mendapatkan jimat atau untuk kepentingan ilmu tertentu. Apalagi diketahui pelakunya adalah Agus Susianto Budiman, seorang warga yang diketahui tidak waras. Namun di duga ada orang lain yang saat ini tengah dalam pengejaran polisi. Pembongkaran mayat itu semula diketahui Sawi, selaku juru kunci makam. Ia kaget begitu mendapati 5 kuburan dibongkar dan 3 lainnya diobrak-abrik. Sawi pun lantas memberitahukan pada kerabat terdekat ahli kubur yang dibongkar itu. Salah satunya, Sholeh. Segera saja Sholeh mencari tahu. Caranya, dengan menghubungi orang pintar di Banyuwangi. Dari orang pintar itu diperoleh petunjuk, salah seorang yang melakukan pembongkaran adalah seseorang yang jiwanya kurang waras. Orang yang dimaksud tak lain adalah Agus Susianto Budiman. Kemudian warga beramai-ramai mencari Agus. Warga tak menjumpai kesulitan mencari Agus. Saat ditemukan ternyata yang bersangkutan tengah memainkan tulangbelulang yang baru ditemukan itu. Mulanya warga sempat emosi, namun setelah mengetahui Agus kurang waras, akhirnya tidak diapa-apakan. Agus terus digelandang ke balai desa setempat lalu diserahkan ke polisi. Dalam pemeriksaan, Agus yang kurang waras tersebut menyebut pelaku lain bernama Katib, warga Krian Krajan. Menurut penuturan Agus, Katib membawa tulang belulang itu akan digunakan untuk jimat. Dia sendiri mengakui ikut membongkar kuburan lantaran diajak oleh Katib. Akan tetapi dalam keterangan yang lain Agus melakukan pembongkaran itu atas perintah gurunya. Saat ini pihak kepolisian tengah mengejar Katib karena dicari di rumahnya ternyata yang bersangkutan tidak ada di tempat.

GILIRAN MELEMPARKAN KERTAS-KERTAS.

SESEORANG: Sungguh dunia ini betul-betul sudah jungkir balik. Polisi bertindak tegas dan hasil kerjanya gemilang karena dibantu paranormal. Paranormal malah dijuluki orang pintar. Lantas, apa pendapatku tentang itu? Siapa yang paling bisa menjadikan aku lebih manusia dari manusia? Tak lain adalah si pencuri mayat itu. Sekalipun disebut orang tak berakal sehat, toh ia sama sekali tak berniat melenyapkan manusia dari muka bumi ini. Tak ada niat di benaknya untuk membunuh, dan tak ada tata kehidupan kosmos di situ yang dirusak . Ia hanya mencuri mayat dan di balik itu ia berpikir tentang keilmuan. Jadi ia, tidak berpikir tentang pribadi. Aku semakin tidak mengerti siapa yang waras, siapa yang kurang waras, dan siapa yang sama sekali tidak waras. Karena itu, tak ada seorang pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Setiap saat, setiap waktu, setiap orang yang bertamu ke rumahku bukan mustahil punya rencana buruk untuk melenyapkan aku dari kehidupan ini. Sebetulnya, sebelum aku berpikiran untuk menutup pintu rumah rapat-rapat, aku ada rencana untuk bertindak mendahului daripada didahului. Semula aku menyiapkan pedang dan kugantung di sebelah pintu. Harapanku, sebelum tamu-tamuku itu membunuhku, aku akan mendahului untuk membunuhnya. Saat itulah, menurutku perang yang sesungguhnya pantas disebut perang: Mempertahankan keluarga agar bisa hidup terus. Tapi entah mengapa, tanpa sempat berpikir, tibatiba ada yang membisikkan padaku, hei jangan kau balas kejahatan dengan kejahatan. Kalau engkau melakukan itu, maka engkau sendiri akan menjadi makhluk yang sia-sia diturunkan ke bumi ini. Kalau semua orang hidup dengan cara seperti hidupmu, semesta ini tak akan berumur panjang. Itulah yang kemudian membuatku tahu arti kejahatan. Pedang kusimpan kembali dan satu-satunya caraku mempertahankan hidup ya, seperti sekarang ini, menutup pintu rapat-rapat. Aku bisa sedikit menenangkan jiwa tanpa harus dihantui dengan parang atau senapan milik tamu atau tetangga. Lalu aku juga bisa sedikit demi sedikit mengurai duduk perkaranya, mengapa aku jadi manusia?

MEMBOLAK BALIK KURSI KEMUDIAN DUDUK

SESEORANG: Duduk perkaranya sekarang mengenai kedudukanku. Maaf bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Ya, bicara tempat duduk memang kedengarannya lebih filosofis. Lain halnya bila bicara tentang kursi. Meskipun banyak orang menyamakan saja antara tempat duduk dan kursi. Bukan rahasia lagi, kalau banyak orang berebut kursi. Itulah yang aku maksud dengan permohonan maafku. Meskipun sebenarnya ini hanyalah ungkapan yang penuh basa-basi. Lalu apa sebenarnya yang terjadi, jika itu tanpa basa-basi. Mau coba di sini? Silakan! Silakan! Tentu anda sedang berpikir aku sedang capai, tidak salah, sah dan boleh-boleh saja. Tapi apa yang terjadi sesungguhnya? Tidak ada yang tahu bahwa aku hanya berani duduk di kursi milikku sendiri. Duduk seperti ini, sesuatu yang sama sekali tak pernah aku lakukan bila di luar rumah. Karena di sinilah satu-satunya kursi yang kumiliki dan berhak untuk kududuki. Di luar rumah tak ada hak bagiku untuk duduk. Kalau aku memaksakan diri, barangkali saat ini aku sudah tak bisa lagi hadir dalam pertemuan ini karena leherku sudah terpisah dari batang tubuhnya. Aku tidak sedang mengidap penyakit paranoia. Kenyataannya di luar memang sudah demikian kejamnya dan nyawa manusia tak lebih mulia dari belalang. Sekelompok manusia tak ada bedanya dengan sekawanan belalang. Apa ada yang mengusik kursiku? Siapa yang mengusik manusia atau belalang? Ini kebangetan, di rumahku sendiri, di kursi milikku sendiri, ternyata masih juga ada yang mengganggu ketenanganku. Aku minta maaf maksudku biar tak mempersoalkan aku. Ini kebangetan!!!! Mau aku taruh dimana lagi mukaku? Pasti itu perbuatan orang-orang yang kurang pekerjaan. Mana bisa aku disamakan dengan pejabat-pejabat yang duduk tenang di kursi mereka. Berbekal sebuah bolpoint dan selembar kertas saja, bisa mengguncangkan jagad. Yang benar saja!

MEMUNGUT KERTAS DAN PENA. LALU  PENA DITANCAPKAN DI TENGAH KERTAS DI ATAS MEJA

SESEORANG: Aku begitu percaya pada kata-kata, ujung pena lebih tajam dari sebilah pedang. Maaf kalau untuk masalah ini aku kurang sepakat dengan anda. Betapa hanya dengan ujung pena pembunuhan terjadi dimana-mana, pelaparaan jadi gejala, korupsi merajalela, dan kejahatan berubah wujudnya. Aku hanya bisa percaya, dan satu-satunya yang masih kupunya diantara keduanya hanyalah pedang. Lalu apa yang bisa kuperbuat dengan pedang? Melawan? Siapa yang dilawan? Bagaimana aku bisa melawan kalau membuka pintu rumah saja, jantungku berdegub kencang? Ya, aku sudah berpikir keras memeras otak soal itu. Tapi hasilnya nol besar. Musuhku terlalu kuat untuk dihadapi. Lawanku terlalu hebat untuk kulayani. Biarpun aku sudah belajar keras selama bertahuntahun untuk melenyapkannya, kenyataannya untuk tahu dimana batang hidungnya saja aku tak sanggup. Apalagi untuk memastikan letak kelemahannya, jantungnya, sungguh aku tak bisa. Mulamula aku belajar silat karena dugaanku musuh itu jago silat. Lalu aku latihan menembak untuk mematikannya. Kemudian aku menyamar jadi pelayan untuk mencegatnya bila sedang makan. Aku belajar catur siapa tahu ia pintar berpolitik. Terakhir aku tekun belajar agama barangkali musuhku itu menyamar jadi setan. Ya, aku sempat ditawari jadi wali sih, tapi aku mulai ragu. Aku tetap memilih jadi manusia biasa. Karena itu tawaran kutolak. Jadi semua usahaku itu gagal total. Musuhku sebenarnya ternyata bukanlah manusia. Bukan juga setan. Lalu mahkluk apa ini? Apa? Laki-laki atau perempuan? Aku tidak tahu persis. Ha? Namanya kebudayaan?

TERTAWA NGAKAK

SESEORANG: Bukan maksud aku meremehkan kamu. Habis kamu menggelikan. Sudah jelas aku duduk di kursi malasku sendiri, tapi tetap saja kamu mencurigai aku. Kalau hanya sikap apriori sih, boleh saja. Bahkan itu baik sekali agar aku bisa lebih kritis. Tapi kalau kamu mencurigai aku karena kursi ini hasil dari tindakanku yang korup itu berarti berlebihan. Apalagi tuduhan kamu bahwa aku sengaja menyebarkan virus korupsi itu sama sekali tidak benar. Terus terang tuduhan kamu itu menggelisahkan aku. Betapapun ini rumahku, kursi malas inipun milikku sendiri. Tidak masuk di akal aku korupsi.

TERCENUNG

SESEORANG: Ya, Tuhan! Aku baru ingat sekarang. Jadi kamu menuding aku bertindak korup karena aku capai dan berhenti berpikir, begitu? Kamu menuduh aku mengkorupsi waktu karena aku tidak sedang bekerja apa pun begitu? Benarkah yang kamu maksudkan karena aku tak melakukan kontrol apa yang tengah diperbuat istri dan anakku, lalu kamu sebut itu aku korupsi? Kalau itu yang kamu sebut, maka jawabannya adalah: Ya. Okelah, aku terima. Tapi jangan sebut aku ini koruptorlah. Kalau aku yang seperti ini koruptor, lalu apa bedanya dengan mereka yang koruptor beneran? Kalau kamu sampai hati menyebutku demikian, betapa dunia ini sungguh kejaammm.

TERJATUH DAN ROBOH DARI KURSI

SESEORANG: Betapa dunia ini tak kenal kasihan. Aku sudah hidup menyendiri dengan keluargaku sendiri, menjauh dari urusan-urusan kemasyarakatan, tetangga, negara, arisan sampai pemilihan presiden, tapi masih saja aku dicap koruptor hanya karena soal yang begini amat sepele: duduk di kursi malas melepas capai fisik dan pikiran, melupakan sejenak urusan keluarga. Sayangnya, aku tak sempat mengajukan pertanyaan bagaimana dengan orang yang sehari-harinya tidur duabelas jam, sampai umurnya 60 tahun? Bukankah itu berarti umur sebenarnya cuma 30 tahun, itupun belum dipotong saat ia kongkow-kongkow, atau duduk melamun alias menganggur, lalu mana sebetulnya bagian hidupnya? Aku belum sempat tanyakan itu tapi kamu keburu pergi. Ini tidak adil! Kamu telah janjikan keadilan di alam sana, apakah itu artinya kamu menawari aku untuk cepat pergi ke sana saja daripada nggendon di sini tanpa kejelasan nasib? Ya, beginilah rasanya jadi orang yang ragu-ragu bahwa apakah yang kukerjakan selama ini adalah korupsi atau bukan. Mungkin ya, mungkin juga tidak. Begini rupa rasanya. Mungkinkah rasanya sama dengan seorang teman yang tidak bisa membedakan kambing dengan anjing? Soal yang ini, seorang kawan saya tukang becak mengayuh becaknya

untukku. Ketika begitu cepat laju becaknya karena kuat tarikannya, tiba-tiba seekor kambing tanpa sungkan menyeberang. Begitu kagetnya si kawanku itu, ia pun berkata ‘He asu! Minggir
“ Aku katakan binatang itu bukan asu tapi kambing. Baru kemudian dia mengulnag perkataanya “He kambing, Minggat” Anehnya suatu hari tanpa perasaan apa-apa becak yang

saat itu kududuki, pada hari lain sudah ditempati kambing. Meskipun saya tidak menyeberang, toh kawanku si tukang becak itu tetap saja “He, asu !!!!!!!!!

TERCENUNG LEBIH DALAM. NYARIS MENANGIS.

SESEORANG: Baiklah jika itu yang menjadi kehendak kamu. Dengan penuh kesadaran dan keikhlasan yang seiklas-iklasnya, aku akan buktikan bahwa dalam istirahatku, dalam tidurku, sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur korupsi. Sekaligus aku akan buktikan bahwa sesungguhnya, akulah yang menjadi korban karena ada sesosok makhluk asing yang melibatkan aku ke dalam persoalan yang demikian pelik. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melawan. Apalagi untuk menghasut melakukan perlawanan. Jadi maafkan kalau ini nanti menyeret-nyeret dan melibatkan anda dalam persoalan ini. Sekali lagi aku hanya ingin membuktikan diriku sendiri. Inilah yang namanya pembuktian terbalik. Anda juga bisa melakukannya terhadap anda sendiri.

LAMPU BLACK OUT

BAGIAN KEDUA

MUSIK DAN TEMBANG BERTEMA KEBEBASAN. LAMPU FADE IN. NYANYIAN

FADE OUT. PANGGUNG SISI KANAN SESEORANG MENGGENDONG GEDEBUK

PISANG.   MEMELUKNYA.   MENGENDARAINYA. MENGAJAKNYA BICARA.

BERGANTIAN.

SESEORANG: (SULUK) Kubayangkan bila orang selamat dari sebuah ancaman pembunuhan siapapun akan memiliki insting yang tinggi untuk giliran bernafsu membunuh. Tapi di sini bagaimana bila orang selamat dari begitu banyak ancaman pembunuhan.
SESEORANG: (SULUK) Bila orang yang selamat dari pembunuhan lalu berteriak-teriak minta senjata untuk membunuh siapa lagi, termasuk istri dan anaknya. Bagaimana di sini? Apakah tak menjadikan kita seperti babi yang buta? SESEORANG: (SULUK) Bila setiap menulis maupun bicara membabi buta, kubayangkan negeri ini dipenuhi babi-babi buta yang bisa berbicara tanpa bisa didengarkan isi pembicaraannya. Karena orang sibuk mengatasi atau menikmati perbuatan yang juga membabi buta.

MENGHADAP KE DEPAN MEMIKUL BEBAN

SESEORANG: Kekuasaan ini entah milik siapa. Aku pernah mendengar perkataan Tuhan, manusia tidak akan bisa membanggakan kebesaran, kekuasaan Tuhan. Paranormal yang menyembuhkan penyakit kanker paling kronis dengan memindahkannya ke tubuh kambing pun berkata, ini jauh di luar batas kuasa manusia. Tapi aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri , bagaimana pembunuhan, saling bunuh itu terjadi jauh dari mimpi manusia. Betapa itu dilakukan oleh kecanggihan sistem yang di luar kuasa manusia. Aku menarik nafas panjang dan dalam, sedalam kuburanku sendiri yang sepertinya sudah menganga dalam tubuh aku. Betapa justru manusia sanggup melakukan suatu yang jauh di luar batas kemanusiaan? Mana yang benar?

SESEORANG: Tapi itu cuma membunuh. Tuhan dan juga manusia tak cuma mengurusi soal membunuh. Buktinya, biarpun begitu banyak pembunuhan orang oleh orang lain, nyatanya kasus bunuh diri masih tergolong bisa dihitung dengan jari.

SESEORANG: Apa pendapatmu tentang bunuh diri?

SESEORANG: Bunuh diri itu jalan yang paling mulia setidaknya untuk saat ini, sepanjang belum menemui jalan baru.

SESEORANG: Begitu?

SESEORANG: Ya untuk tidak menjadi pembunuh, itulah jalan. Itulah pilihan antara menjadi pembunuh atau dibunuh.

SESEORANG: Begitu dahsyat bicaramu.

SESEORANG: Ya, kita diam-diam sudah digiring ke sana. Kemanusiaan, kebenaran, keadilan, persamaan itu sedang menuju kuburannya. Satu-satunya jalan kita jangan lagi bicara kesunyian, keadilan, kebenaran, persoalan seperti sebagaimana sekarang ini.

SESEORANG: Kedengaraannya memang mengasyikkan, membunuh, bunuh diri atau dibunuh, samasama mati. Biarpun sama-sama menuju mati.

SESEORANG: Kamu belum jawab pertanyaanku tentang bunuh diri yang memuaskan aku?

MEMBUNGKUK KARENA BEBAN YANG KIAN SARAT.

SESEORANG: Begini. Hidup kami ini, seperti juga kehidupan kamu sesungguhnya menggelisahkan apakah benar-benar disebut hidup. Sejak dari makan, minum, dan semuanya, juga pengetahuan yang ada pada kamu itu benar-benar menumpang kehidupan yang hanya itu-itu saja. Membebani kehidupan yang bahkan cenderung merosot karena kamu kian terpaksa bertahan sekalipun ditempuh dengan berbagai cara—ini tanda-tanda kemerosotanmu. Kemungkinannya hanya ada dua. Kamu mampu atau tidak. Bagiku keduanya sama saja. Bagiku kamu tidak benar-benar hidup. Kamu telah secara kebetulan dihidupkan oleh sesuatu yang sesungguhnya omong kosong. Jikapun kamu ulang, makin di situ sesungguhnya kamu telah mulai menjadi pembunuh dan dijauhkan dari kemanusiaan? Ah, yang satu ini aku susah untuk meyakininya. Lalu bila gagal kamu akan dibuat sekarat. Lalu dibunuh atau saling bunuh diantara orang-orang yang sekarat itu. Anehnya, kehidupan ini sebenarnya memperkenalkan pada kita bahwa itu bukan tindakan yang kejam atau lalim. Itu hanya suatu kebiasaan yang harus terjadi. Kalau mau jujur saat ini itulah yang telah terjadi. Eropa dan Amerika telah menggembar-gemborkan pembunuhan lebih dari yang ia bicarakan dan kita tinggal menunggu percepatan waktu bagai mereka.

TAK KUASA MENAHAN SAMPAI ROBOH DAN TERJENGKANG.

SESEORANG: Lalu?

SESEORANG: Ya, kita bisa temtukan sendiri waktu tepat dan jangan kita tak mau disebut pembunuh atau dibunuh.

SESEORANG: Kamu seperti orang gila dan pikiranmu sesat.

SESEORANG: Tidak aku hanya bicara dengan penuh kelembutan.

SESEORANG: Kamu mencoba mempengaruhi aku?

SESEORANG: Lebih beruntung karena aku tidak membunuhmu.

SESEORANG: Benar-benar gila kamu Tidakkah kamu tahu bahwa pembunuh pun tahu orang-orang yang ingat? Dan pembunuhan juga menumbuhkan hasrat yang tinggi untuk bunuh diri.

SESEORANG: Itu bagianmu untuk menceritakan kepadaku. Bagianku sudah habis.

SESEORANG: Bukankah mungkin kalau terlalu banyak yang dibunuh, manusia itu lantas menikmati jalan akhir untuk membunuh diri, bila tak seorang pun yang kemudian kunjung sanggup membunuhnya?


SESEORANG: Bagi aku orang seperti itu akan menjadi gila. Dan orang gila jarang punya hasrat untuk bunuh diri. Seperti juga tak mampunyai hasrat untuk hidup waras.

SESEORANG: Lalu?

SESEORANG: Tapi orang yang sakit jiwa dan dalam sakitnya itu dia punya hasrat untuk bunuh diri, itu artinya dia tengah berharap menemukan jalan untuk sembuh.

SESEORANG: Lalu dimana kamu berada

SESEORANG: Ya, di situ. Gimana sih kamu ini?

MELEMPAR KEDEBUK PISANG. MEMBEBASKAN DIRI DARI SEGALA BEBAN.

SESEORANG: (SULUK) Kisah yang ditulis pada waktu malam hari, entah mengapa lebih banyak bertutur tentang kemuraman, kegelapan dan ketakutan, seolah lebih menakutkan dari nasib para calon korban kaum yahudi oleh nazi di kamp konsentrasi Jerman.

MENGISAHKAN KEGELAPAN SEPERTI SEDANG BERNOSTALGIA

SESEORANG: Tiap malam bagi aku kurasakan jauh lebih menakutkan. Orang sudah mengalami kesulitan untuk bermimpi lantaran semua mimpinya sudah muncul dengan gamblang di layar-layar TV. Aku justru sering bermimpi buruk di saat tidur pendekku karena sesungguhnya aku terhitung sulit untuk tidur bila malam hari tiba. Orangtua bilang mimpi itu kembangnya tidur, tapi orangtua juga bilang mimpi itu—mimpiku yang sering berjumpa orang tua berwajah lurus berambut putih berjenggot—kemudian mengajakku ngobrol adalah pertanda kemurahan, kesedihanku. Namun aku tidak bagitu meresahkan mimpi-mimpi itu jika aku tidak hendak mau lebih dibebani lagi hidupku. Biarkanlah mimpi itu hadir dan pergi semaunya, aku juga tidak pernah pedulikan apa isi pembicaraan orang tua dalam mimpiku sepenting apapun. Tapi kata katanya, dalam mimpi itu orangtua yang menjumpai anaknya jarang sekali buka suara. Ya, begitulah aku tak pedulikan apapun mimpi itu, atau sepenting apapun tentang akal bawah sadar manusia soal mimpi itu. Mimpi itu atau alam bawah sadar itu amat mengganggu gerak jantungku, nafasku dan kemudian keluarlah erangan hebat atau igauan dahsyat yang lebih hebat dari mimpiku sendiri. Ya, igauan yang kurasakan banyak misteri terkadung di dalamnya.

Misteri? Ya, sebut saja begitu. Betapa tidak, hanya itu satu-satunya yang mengingatkanku akan manusia, bila bangun pagi, sehabis gosok gigi atau bangun dari tidur. Sehingga malam bagiku tidak cuma berlalu dan sekadar malam. Tidur juga tak cuma tentang tidur. Demikian pula mimpi. Apalagi igauan, erangan tidak sadar, teriakan spontan mengingatkanku akan masih dan memang punya jantung dan hidup apapun maknanya dan bagaimanpun aku punya kesadaran atau tidak. Punya kesadaran atau tidak ini hanya masalah sepele dalam sepersekian detik, dalam sepersekian tarikan nafas. Pendeknya untuk menyebut kata Tuhan saja boleh jadi tak sempat lengkap. Jawaban pertanyaan itu hanya ada pada saat aku tidur yang sebenar-benarnya tidur, berapapun lamanya, semenit, sepuluh menit, satu jam sepuluh jam? Mengapa demikian? Sebab pada waktu tidur tidak ada yang terhenti sedikitpun. Kesadaran tentang apapun juga bahkan tentang kesadaran itu sendiri. Bahkan tentang berpikir, gerak jantung dan desah nafas. Tidur yang sebenar-benarnya sempurna ketenangan yang sungguh-sungguh nyaman. Tak ada teror urusan hidup mati, kebutuhan dunia akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Tidak ada. Bahkan Tuhan pun tidak terlintas hadir di situ. Rupanya inilah hidup yang bagiku benar-benar hidup. Bukan hidup apa yang disebut orang-orang tua sekadar mampir ngombe itu. Hidup ini begitu nyaman, tenang dan penuh kedamaian, tanpa mimpi—barangkali

begini pula rasanya hidup orang-orang kaya, orang-orang yang tidak pernah punya persoalan duniawi, orang-orang yang sulit untuk bermimpi karena hidupnya sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di layar TV. Begitulah, perihal mimpi bagiku sudah kuceritakan padamu. Semenjak awal dan jujur saja aku benar-benar tidak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada tempatnya dan salah alamat. Yang sungguh kuperlukan adalah waktu untuk tidur dan bagiku siang dan malam bukan hal yang penting sebab ini hanya perkara apakah matahari menyaksikan aku atau tidak. Toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu. Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk memata-matai orang—mungkin seperti aku yang tidak mempedulikannya. Kupikir apalah artinya matahari atau bulan bila aku tak benar-benar mempedulikannya. Bukankah aku bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan tentangnya lalu kuceritakan pada waktu aku bangun? Namun bukan hal itu sungguh yang menggelisahkan aku. Malam memang menakutkan, tapi bagi aku siang dan malam sama-sama menakutkan dan aku tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda ada apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup kalau penuh ketakutan? Atau untuk apa mati kalau penuh ketakutan. Mati itu beda sedikit dengan hidup sebab hanya beda waktu, tempat dan alamat.

Lantas apa yang kamu bayangkan tentang aku, yang siang dan malam tiada beda lantaran terus menerus diselimuti ketakutan? Di mana satu-satunya bagian hidupku adalah pada saat tidur yang hanya sepersekian siang dan malam itu? Bedanya aku hanya diperkenalkan matahari pada keduanya dan ia tak memperkenalkan kehidupan. Tuhan yang memperkenalkan aku pada tidak saja kehidupan tapi juga keberanian dan di mataku ia selalu datang pada malam hari. Barangkali karena aku lahir pada waktu malam hari dan hari-hari berikutnya aku sering bermimpi dengannya dalam rupa-rupa bentuk, kadang ia berseragam yang membunuh orang dengan senapan meriam, kadang ia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan dengan orang berseragam. Seringkali pula Tuhan rela menjadikan dirinya teroris dengan membawa bom ke sana kemari meledakkan hotel-hotel tempat tidur santai dan rekreasi

orang mencari hidup. Namun pernah pula ia hadir dengan ramah dan berbaik hati berseragam putih dengan berkalung stateskop di lehernya, sembari mengucapkan “maafka saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin” kepada orangtua mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Ya,

meskipun yang sering terjadi, orang berseragam putih itu diberi hak untuk tahu bahwa koruptor ini sedang sakit, koruptor itu perlu istirahat.

SESUATU TELAH MEMBUATNYA MENDADAK TERHENTI

SESEORANG: Sebentar! Sebentar! Tunggu Sebentar. Kelihatannya ini permainan yang tidak fair. Aku tidak melihat seorang juri pun yang menilai pledoi aku. Kalaupun ada boleh dong aku meragukan track recordnya? Karena itu mulai sekarang, biarpun gembel seperti aku yang bicara tetapi tetap harus dinilai. Demikian pula dengan kesaksian-kesaksian yang dihadirkan di ruang sidang ini. Tahukah Anda siapa salah satu saksi yang minta kuhadirkan? Diantaranya, setan dan kebudayaan. Aku juga minta kepada keduanya untuk dinilai apa dan bagaimana dirinya membuktikan secara terbalik kesaksiannya. Oke? Ini baru namanya pengadilan yang paling ciamikkk, paling keren abis! Karena itu, jangan dulu keburu pergi. Kita harus sama-sama mendengar kesaksian setan dan kebudayaan pada sesi berikutnya.

MUSIK PENGANTAR GANTI ADEGAN


SESEORANG: Kenapa kebudayaan dan mengapa setan? Karena antara keduanya aku benar-benar sulit membedakan. Kebudayaan sungguh sulit kutemukan. Juga setan. Tapi siapa yang meragukan keberadaan keduanya? Karena itu saya minta tolong kepada Yang Mulia untuk menghadirkan keduanya di sini, di depan kita semua pada pertemuan ini. Saya tunggu. Agar kita bisa saling membuktikan diri saat tepat menerapkan pembuktian terbalik ini. Baiklah, sambil menunggu aku akan lanjutkan pembelaanku.

MENGHADAP KE DEPAN. MENCURI WAKTU.

SESEORANG: Bagi saya, kebudayaan itu seperti kecantikan, maksud saya baik kebudayaan maupun kecantikan tidak dimulai dengan kata. Beda dengan sastra, mula-mula adalah kata. Terus terang saya sulit menemukan kebudayaan. Sejak mula saya menduga kebudayaan itu persis tarian, karena itu bila Anda ingin menjadi budayawan, belajarlah menari. Tetapi fatalnya tarian pertama yang saya kenal dan saya pelajari adalah tari tiban. Dengan cambuk setiap pasang diantara kami saling melukai dengan cambuk itu. Karena itu kebudayaan saya pun di kemudian hari selalu penuh dengan aroma dendam. Jadi untung-untung saja saya bisa hidup sampai sekarang, meskipun seringkali saya nyaris terbunuh oleh bekas lawan-lawan saya dari belakang. Siapa dia? Anehnya, sering saya jumpai sosok yang nyaris membunuh saya itupun juga bernama kebudayaan. Itulah yang saya maksud di tempat ini kebudayaan telah menyamar jadi kejahatan dan setan. Lalu, apakah saya ini orang baik sehingga harus dienyahkan? Ah, setidak-tidaknya sayalah yang berani menghadapinya dengan membuka baju celana dan telanjang dada seperti ini

BUKA BAJU MEMPERLIHATKAN KULITNYA PENUH BEKAS LUKA

SESEORANG: Hei! Lihat seperti inilah buah dari sikap budaya saya. Maaf kalau saya tak cukup menantang anda untuk menunjukkan dada. Mana dadamu, ini dadaku! Tapi saya harus katakan mana badanmu ini badan saya. Tapi itu bagi saya tidak cukuuuupppp!!!! Karena badan saya yang penuh luka ini tidak pantas saya perlihatkan pada kebudayaan yang sorri, seperti gadis cantik tadi. Malu aku ah, masak jeruk minum jeruk? Bagi saya kebudayaan itu spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Hidup lebih hidup. Jangan tunda esok apa yang lusa bisa kerjakan sekarang. Di situ, jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kehidupan kosmos. Untuk itulah saya perlu moral sebagai saksi kunci. Jadi saya harap dalam pertemuan ini cukup menghadirkan saksi-saksi atau tersangka demi proses hukum pembuktian terbalik ini, untuk membuktikan apakah korupsi itu budaya atau kejahatan. Sehingga tak perlu saya minta menghadirkan saksi kunci, si moral itu tadi. Kalau tidak? Apa boleh buat! Apa, sudah datang? Syukurlah permintaan saya pada Yang Mulia sudah dikabulkan.

MENDENGAR SESUATU. MELIRIK KE RUANGAN SEBELAH.

SESEORANG: Sssttt!!!! Jangan berisik, istriku. Sembunyilah di tempat aman yang kita siapkan seperti biasa. Jangan biarkan anak kita bermain lampu. Kalau perlu tidurlah. Aku sedang ada urusan. Sudah, tutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan ngintip, ah.

BERGEGAS   MENDEKATI  PINTU.    MENYAMBAR    BAJU     DAN SEPATU.

MENGENAKANNYA CEPAT-CEPAT. LALU BERSIAP PERGI.

SESEORANG: Begitu cara saya melindungi keluarga saya. Oh, ya anda belum tahu bagaimana cantiknya istri saya, bagaimana lucunya anak saya. Dia penurut dan sama sekali tidak pernah mempersulit saya untuk melindunginya dari bahaya di luar rumah. Karena tidak mungkin saya harus serahkan tanggungjawab saya pada orang lain, tetangga apalagi negara. Saya harus atasi sendiri. Syukurlah tidak ada kesulitan meskipun dengan cara apa adanya. Di sini apa-apa yang pernah saya dapatkan dari buku-buku bacaan amat membantu saya. Saya ajari istri dan anak saya untuk tidak mengkonsumsi daging seperti apa yang pernah dilakukan Mahatma Gandi. Segala kesulitan hidup betul-betul saya tanggung sendiri. Pendidikan anak-anak saya tangani sendiri tanpa harus bergantung pada negara. Ekonomi keluarga kami kelola sendiri demi menjaga diri bukan hasil korupsi. Baiklah, saya harus hentikan sementara ocehan saya.

LAMPU  BLACK  OUT. BAGIAN  KETIGA  LAMPU  FADE  IN.  DI PANGGUNG  SISI KANAN BERDIRISESEORANG MENGENAKAN SERAGAM KANTOR. LENGKAP DENGAN SEPATU DAN DASI.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Nama saya Budiawan. Ya, kadang-kadang orang memanggil saya Budiman. Namun saya tidak merisaukan betul dengan panggilan itu. Satu hal yang tak saya ketahui mengapa ibu saya memberikan nama kecil seperti itu. Tapi saya bisa menduga kurang lebih kemana arahnya. Tak lain agar saya menjadi orang baik, pintar dan berakal sehat. Tapi apakah selama saya hidup di dunia ini sudah seperti apa yang tertulis pada nama saya? Saya tidak tahu persis karena seperti yang terjadi pada saat ini, saya juga tak tahu persis mengapa berada di tempat ini di hadapan Yang Mulia Hakim. Tidak seorang pun yang tidak mengharapkan keadilan di tempat ini. Demikian juga dengan saya. Saya datang kemari untuk mencari keadilan atas nama diri saya sendiri. Ya, saya sering mendengar tempat seperti ini sering diperjualbelikan. Hukum bisa diperdagangkan bahkan di pengadilan bukan rahasia lagi sering jadi target pemerasan. Tetapi untuk kasus saya ini, untuk kali ini saja saya betul-betul percaya dengan Yang Mulia Hakim. Habis sudah tidak ada jalan lain sih. Toh, di sini bukan hakim yang membuktikan saya bersalah atau tidak. Saya sendiri yang akan memastikan keadilan. Jadi mohon anda dengarkan apa pun pembuktian saya, oke Pak Hakim? Nah, seperti itu baru namanya hakim. Putuslah keadilan dengan santai, jangan tegang-tegang. Agar anakistri anda juga tenang di rumah. Kalau anda tegang, ibu anda jangan-jangan ikut terserang jantungan.

SESEORANG: Perlu Yang Mulia Hakim ketahui, saya adalah orang yang sangat mencintai ibu saya. Saya adalah orang yang satu kali pun tak pernah membantah perintahnya dan saya menghormatinya lebih dari manusia biasa. Karena saya tahu ibu adalah perempuan pilihan dewa. Semenjak kecil hingga dewasa saya selalu memohon restu kepada ibu setiap melakukan tindakan apa saja. Karena saya jelas merasa beruntung masih memiliki ibu seperti dia. Dan saya sama sekali tak memiliki keberanian untuk membayangkan bagaimana bila kelak ibu saya tiada. Beda dengan apabila saya membayangkan orang lain dengan ibu-ibu mereka. Dari kepala desa sampai kepala negara, dari mantri hewan hingga menteri-menteri negara, dari penjahit sampai pejabat. Apakah mereka sudah tak lagi memiliki ibu sampai berbuat demikian merugikan orang? Apakah bukan mustahil mereka telah tak merasa memiliki ibu? Jika benar demikian apakah sebenarnya mereka-mereka ini anak haram jadah? Harapan saya semoga tak pernah betul terlintas di benak saya, bagaimana bila ibu saya tiada.
                                                                                                                                  

MENUTUP MULUTNYA

SESEORANG: Inilah bukti kejujuran saya, biarpun tak semestinya saya kemukakan ternyata keluar juga itu dari mulut saya. Ini sudah menjadi naluri saya yang mengatakan saya akan terus berbicara mengenai kebenaran-kebenaran yang begitu jelas, biarpun saya jadi sakit. Tapi kebenaran di sini jadi absurd. Kebenaran di sini menyakitkan. Kebenaran jadi kejam. Bahkan kebenaran di sini jadi mengerikan. Anehnya, saya memilih semuanya. Apakah kemudian saya harus katakan kebenaran itu aneh? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Jadi aneh karena memang langka, tapi jadi tidak aneh setidaktidaknya menurut ibu saya. Entahlah, saya begitu kukuh untuk percaya, bahwa ibulah satu-satunya yang bisa saya percaya. Ketika saya memutuskan keluar dari pekerjaan, dan melepas seragam ini, ibulah yang meluluskan permohonan saya dan mengerti penjelasan saya. Bahkan sebaliknya, ibu malah menyuntikkan sebagian sisa spirit hidupnya demi saya, anaknya yang baru saja sadar dan bangun dari kejahatan terbesar di negeri ini, yakni berpikir untuk diri sendiri dan bukan demi ilmu. Aku sekarang benar-benar menjadi anak ibu kembali. Ibuku mengajarkan kejarlah ilmu sampai tua. Tak cuma kata-kata, buktinya ibu telah membekali saya anaknya dengan ilmu hingga ibu tak memiliki apa-apa. Lalu betapa munafiknya saya bila ternyata di kemudian hari ilmu saya itu sungguh tak berguna. Sudah dapat saya duga, restu ibu membuat saya sadar kembali kebenaran ilmulah yang musti dipegang teguh. Tapi tentu ibunda tak mau menjawab pertanyaan saya, bahwa pilihannya untuk saya ternyata membuat keluarga saya berantakan karena jatuh dalam kemiskinan. Saya malu. Sungguh malu pada ibu. Tapi saya bangga. Sungguh bangga. Malu tapi bangga. Saya kira, semua yang hadir di sini bakal kelewat sulit mencari padanan kata malu tapi bangga. Hanya orang gila seperti saya yang bisa. Dan inilah keberanian saya sekarang. Membayangkan bagaimana bila bumi saat ini dipenuhi sesak dengan orang gila yang malu dengan bangga. Dugaan saya, evolusi akan bergerak lamban dan mengasyikkan kurang lebih seperti gadis jawa.

SESEORANG: Mohon Yang Mulia izinkan saya berhati-hati untuk mengucapkan malu dengan bangga . Tapi apa yang terjadi di sini? Betapa banyak pejabat dan para penguasa atasan saya yang sungguh bangga dengan kemaluannya”. Mereka-mereka seperti inilah yang menurut ibu saya, orang-orang yang benar-benar gila. Gila kuasa dan gila wanita. Ya, saya sih beberapa kali diajak dan turut membantunya, tapi itu dulu. Sekarang kan saya sudah sadar seratus persen.

SENTIMENTIL

SESEORANG: Eh Pak Hakim suatu ketika saya diminta untuk mencarikan atasan saya seorang gadis Jawa, tapi sebelum itu tentu saja, saya diharuskan memastikan keberadaan istrinya secara aman. Begitu, saya pastikan aman. Langsung saya bawakan itu perempuan yang emh..sebut saya namanya Sri. Tak perlu saya ceritakan pada Pak Hakim bagaimana cantiknya dia. Yang perlu saya ceritakan adalah, bagaimana atasan saya itu minta saya tak lupa membawakan kaset lagu-lagu Jawa Didi Kempot, kesukaannya. Saya putar, lalu menyanyilah si Didi Kempot itu, (menyanyi). Sri kapan kowe Hali. Longamu ora [amit aku. Jarene menyang pasar pamit tuku trasi tapi kowe lungo ora Bali …Ndang Balio…… Tapi betapa kagetnya saya dengar atasan saya itu menyanyi lagu lain … ndang mlumaho Sri, ndang mlumaho.

SESEORANG: Yang Mulia Hakim yang saya hormati. Kalau Yang Mulia sudi dan bersedia membaui mulut saya, barangkali saat ini masih sedikit tersisa aroma alkohol. Hanya sisa Yang Mulia, karena tak lain yang mengajari saya adalah atasan saya. Karena itu
maafkan saya jika apa yang saya perankan tentang atasan saya ini kurang menjiwai dan jika Yang Mulia Hakim menghendaki, alangkah baiknya menghadirkan atasan saya. Tugas saya di sini hanya membuktikan bahwa atasan saya jelas-jelas orang yang melakukan kejahatan terhadap semesta. Bukan hanya melakukan kejahatan terhadap negara apalagi terhadap keluarga saya. Karena itu saya kira hukuman apa pun yang akan Yang Mulia jatuhkan padanya, saya kira kurang berat. Yang paling pantas menjatuhi hukuman adalah semesta.

MELEPAS SEPATU. JADI  BOTOL MINUMAN  KERAS. MENENGGAK ISINYA. MABUK.

                                                                                                                                  

SESEORANG: Akulah manusia avantgard. Akulah mahkluk terkini yang mewakili dunia. Karena akulah yang sanggup mengejawantahkan ide-ide cemerlang dengan otak jeniusku ini untuk menjelaskan kepada umat manusia bahwa puncak dari segala puncak ekstase kehidupan adalah bila saat kita menemukan jawaban: Kejahatan bisa dilakukan bersama-sama dengan kebaikan. Bila saat kita menemukan sebuah jalan dimana tak perlu lagi kesulitan dan sibuk untuk membedakan antara kejahatan dan kebaikan. Jadilah kejahatan itu adalah saudara kandung kebaikan. Karena itu antara keduanya bisa saling bertukar pikiran dan bisa saling menggeser tempat. Siapapun manusia yang melampaui masa untuk itu, dialah manusia yang sungguh-sungguh manusia. Dialah manusia pilihan Tuhan untuk memimpin manusia lain. Karena Tuhan dengan demikian telah mengetahui sedikit jawaban untuk apa ia menciptakan itu semua. Ekstase hidup saya mampu membuat Tuhan istirahat sejenak sebelum akhirnya meneruskan kembali kebiasaannya untuk bermain dadu. Maafkan saya kalau saya harus sampaikan dengan demikian arogan, Tuhan. Oh, iya, saya juga temukan dalam perjalanan hidup saya bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus arogan. Pemimpin yang saya maksudkan adalah pemimpin yang benar-benar pemimpin dan bukan pemimpin gadungan. Ya itu tadi pemimpin yang telah sanggup membuat kejahatan dan kebaikan seperti gado-gado. Mengapa saya katakan kejeniusan jadi syarat mutlak? Karena antara arogan dan kejeniusan itu ibarat laki-laki dan perempuan yang saling membutuhkan demi kelestarian semesta. Kejeniusan adalah muatan isi otak untuk menjadi arogan. Demikian juga dengan arogan, adalah mustahil tanpa kejeniusan. Tahukah Tuhan, ini adalah gejala akhir mahkluk di bumi? Sayangnya, anda hanya tahu soal moral dalam kitab suci. Kalau itu sih, saya percaya seratus persen, tiada yang sanggup menandingi kehebatan Anda. Tapi yang lain-lain, saya kira anda hanya bermain dadu. Tahukah, derajat keilmuan terakhir di bumi ini bukan untuk kesejahteraan umat manusia? Bukan. Karena terbukti tujuan seperti itu banyak mengandung cacat dan banyak diselewengkan. Kesejahteraan umat hanya ada dalam dongeng. Kesejahteraan umat itu non-sense. Pertanyaan saya, salah siapa umat ini kamu buat berbangsabangsa, bersuku-suku, berkelompok dan bahkan kamu hidupkan sentimen SARA! Derajat keilmuan terakhir yang subur di semesta ini adalah yang berorientasi pada kejeniusan dan arogan itu tadi, yang berorientasi pada jiwa pimimpin. Maaf, saya harus beritahukan satu hal lagi kepada Tuhan. Kalau dulu masalah-masalah terakhir di semesta ini adalah masalah keilmuan dan bisa dipecahkan, kecuali masalah pribadi. Sekarang apa yang terjadi Tuhan. Seluruh masalah-masalah sampai masalah terakhir di semesta ini jadi buntu jika diselesaikan dengan keilmuan. Tapi berjalan mulus jika dituntaskan dengan kekuasaan. Jadi enteng bila diatasi dengan jiwa arogan. Apalagi hanya soal sepele semacan KKN dan sebangsanya itu. Enteng, Bung!

SESEORANG: Karena itu, saya adalah orang yang paling benci dengan pemimpin yang ia raih kekuasannya dengan jalan menjilat. Dia hanya setengah manusia, karena terbukti keberhasilannya itu sebagai upaya pembuktian dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih dari seekor anjing. Kekuasaan yang ia raih dengan jalan seperti itu hanya menghasilkan penguasa yang tahu bagaimana KKN tanpa bisa menciptakan dan menjelaskan konsep-konsep KKN yang mendidik dan menyegarkan badan. Ibaratnya cuma bisa minum irek saja, tapi mandul! Apa yang terjadi jika pemimpin-pemimpin di negeri ini bisanya cuma minum irek saja tapi mandul? Yang terjadi kurang lebih ya seperti di negeri kita ini Yang Mulia. Maaf kalau saya harus katakan kurang tepat bila unsur-unsur KKN di negeri ini hanya disebut “Tindakan yang merugikan keuangan negara”, padahal penjelasan tentang perbuatan yang menguntungkan negara juga tak pernah tuntas dibicarakan. Maksud saya, kalau kami dituntut untuk menjadi warga negara, saya juga menuntut apapun perbuatan warga negara harus dihitung untung dan ruginya. Apalagi cuma KKN. Jangan hanya perbuatan subversif saja yang dihitung, Yang Mulia. Kasihan mereka itu masih muda tapi sudah dibonsai hidupnya. Yang sedikit sopanlah, biarkan anakanak muda itu sampai tua baru nanti kita jelaskan bahwa ide-idenya sudah terlalu usang. Pasti mereka nanti timbul penyesalan. Penyesalan. Ya, rasanya penyesalan itu cukup mendidik bagi orang macam kita. Ya, setidak-tidaknya seperti apa yang terjadi pada bangsa kita ini. Penyesalan terus dijadikan pelajaran. Kiranya ini bisa lebih gawat. Kalau perlu ganti saja kurikulum pendidikan moral di sekolahsekolah dengan mata pelajaran baru: Penyesalan. Jadi apa yang terjadi di sini, menurut saya hanya sia-sia saja dan sia-sia itu perbuatan korupsi juga lho, Yang Mulia.

SAMBIL TERUS MABUK MINUMAN DARI SEPASANG SEPATUNYA

SESEORANG: Yang terbaik adalah, dilihat dari sisi keilmuan tercanggih saat ini: Bertarung. Jangan bernostalgia dan jangan bersikap sentimentil. Bertarung satu lawan satu itu lebih fair, lebih menjanjikan, dan yang penting adalah lebih beradab. Berilah hak kepada setiap orang untuk membuktikan diri, seperti malam ini. Ajaklah beradu konsep dan perkenalkan diri masing-masing adalah calon pemimpin di dunia perhelatan. Ya, memang susah. Tapi usaha sekecil apapun harus dimulai, misalnya dengan menumbuhkan kebiasaan untuk membaca cerita silat. Betapa di situ penjahat dan pahlawan sama-sama punya kesempatan untuk membuktikan diri kecanggihan ilmunya. Tahu referensi saya? Barangkali orang segenerasi saya dan Yang Mulia Hakim itu sama: Ko Ping Hoo, Panji Tengkorak. Ya setidak-tidaknya kalau anak muda sekarang mustinya baca impecable twins-lah. Biar tahu bagaimana jurus-jurus di dunia kangow.

MELEMPAR SEPATU KE ATAS.

SESEORANG: Jujur saja saya akui. Memang benar, saya korupsi. Tapi, korupsi saya ini saya lakukan dengan tingkat kesadaran yang amat tinggi. Korupsi yang saya lakukan justru mempertontonkan bahwa saya adalah orang yang beradab. Korupsi yang saya lakukan tak lain adalah demi menjaga ekosistem dan demi kelangsungan hidup. Dan tahukah saudara-saudara jalan saya ini saya tempuh tidak dengan cara mudah. Sulit. Memang sulit jalan peradaban ini. Seperti sekarang ini barangkali anda mengira saya sedang mabuk. Tidak. Kemabukan hanyalah jalan untuk membongkar dinding bisu dan kemapanan pola pikir. Sekaligus saya membuktikan bahwa antara jiwa dan tubuh saya masih terikat dalam sebuah kesepakatan dan harus senantiasa terjaga. Inilah makna kesadaran yang sebenar-benarnya kesadaran: Menjaga kesepakatan tubuh dan jiwa. Kebutuhan tubuh boleh tinggi. Kebesaran jiwa boleh menghebat. Tapi kalau hal itu tak terjaga dalam sebuah kesadaran akan upaya untuk menjebol dinding-dinding kebekuan dan kemapanan tentu mustahil bermakna. Dan apa bedanya manusia dengan seekor sapi? Tentu Anda sekalian perlu tanyakan, lalu di mana arti sebotol minuman bagi saya? Jawaban pertanyaan ini tak cukup dengan kata-kata. Karena itu mabuklah. Saya akan jamin, kebebasan ini perlu ditempuh dengan satu jalan kecil dan murah. Seharga sebotol minuman. Kebebasan untuk menjebol kebekuan ini hanya perlu sedikit waktu dan satu ayat bahwa Tuhan tidak membenci makluknya untuk mengumpat sekalipun ke angkasa atau kepada diri-Nya kecuali bagi mereka yang teraniaya. Jadi kita hanya perlu sedikit waktu karena kita sudah punya persyaratan yang telanjur dibayar mahal, yakni teraniaya. Saya kira ini sudah lebih dari cukup! Cukup! Kalau tidak? Sedikit saja kita sudah berada di titik batas melangkah menuju mati. Ya, jutaan orang di negeri ini seperti itulah keadaannya. Jadi ini hanya soal kesempatan. Lalu apa yang saya lakukan dengan kekuasaan saya hanyalah mencuri kesempatan. Apa susahnya? Apa salahnya dibanding usahaku untuk menyelamatkan bawahan-anak buah dan kelompok saya yang bila salah langkah sedikit saja akan tergelincir menuju mati. Jadi bagi saya yang punya kejeniusan dan kecerdikan ini, melakukan korupsi itu tindakan yang amat mudah. Begitu mudahnya, sehingga kadang-kadang saya seperti tidak melakukan apa-apa. Karena terbiasa akibatnya dalam perasaan saya seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi hasilnya ruarrr biasaa!!!!

MUSIK BERSAHAJA. BERGOYANG. KEMUDIAN MENARI

SESEORANG: Bagi anda yang belum pernah melakukan korupsi atau belum pernah melihat bagaimana asyiknya korupsi itu terjadi, ya beginilah kira-kira gambarannnya. Jangan ragu-ragu dan jangan bimbang. Jangan ada bagian tubuh kita yang tertahan. Bila Anda ingin bergoyang, ikuti irama sambil berdendang. Gendang gendut tali kecapi, Kenyang perut senanglah hati. Mari-mari Yang Mulia Hakim. Mari kita menari bersama-sama. Singkirkan sejenak kitab hukum dari meja dan tak perlu lagi anda baca berita acara. Acaranya sekarang adalah berjoget. Karena kita pada hakekatnya adalah sama. Barangkali anda belum menemukan jawabannya saja. Pasti-pasti ketemu, bahwa gaji anda itu hanyalah sedikit bagian dari uang saya, hasil kerja saya. Ya, saya tak perlu imbalan apa-apa. Melihat istri anda lebih dari dua dan melihat anak-anak anda ganteng dan cantik itu sudah lebih dari cukup. Ya, ya kita sama-sama tahu ini hanyalah urusan bagaimana bersandiwara. Jangan terlalu menjiwai nanti malah lucu. Kita malah jadi repot. Kita malah susah sendiri. Terlalu serius nanti malah jadi malapetaka. Susahnya main sandiwara itu kalau kita ketahuan punya peran ganda. Itu saja.

BERHENTI MENARI

SESEORANG: Serius. Dalam dunia nyata ini kita harus serius. Jangan hanya serius kalau sedang menderita. Jangan cuma punya tekad kalau lagi sengsara. Apalagi yang punya kuasa, sering lupa diri dan tak serius pegang kekuasannya. Kesenian juga harus serius dan jangan dalam dunia nyata kemudian berperan ganda. Inilah arti sebenarnya dari kepribadian. Yang jadi pejabat jangan kemudian berperan jadi penjahat. Jadi polisi jangan merangkap preman. Intelektual tak usah pura-pura jadi pecundang. Seniman nggak perlu jadi pedagang. Apa? Laki-laki berlagak perempuan? Ah, kalau itu sih bukan pilihan. Itu kutukan, Bung! Beda dengan koruptor seperti saya. Jelas ini pilihan. Sama dengan kenapa orang lain memilih jadi presiden. Karena jadi presiden itu tak bisa merangkap sekaligus jadi rakyat. Setidaknya itulah prinsip demokrasi. Soal presidennya itu korupsi kolusi dan nepotisme itu lain soal. Dia hanya coba-coba. Kalau pun berhasil saya yakin hanya sekali dua saja. Paling-paling tiga atau epat kali He gitu. suatu saat pasti tersesat. “aya Hisa saja eilih jadi dai atau kiai tapi hal itu tak saya lakukan. Karena saya percaya masing-masing punya azas kebebasan, kesamaan hak dan persaudaraan. Persaudaraan? Ya, karena seringkali saya dibutuhkan oleh mereka. Saya kirimkan bertumpuk-tumpuk uang yang tak seberapa jumlahnya itu pada mereka. Keuntungan malah ada pada saya. Karena dengan begitu saya jadi sedikit dekat dengan Tuhan. Lumayan juga, daya intelektual mereka. Pintar dan tahu moral. Sedikit saja dari mereka yang terpaksa berurusan dengan polisi karena kebodohannya dan karena tak bias menerapkan ajaran moral secara benar. Ah, saya sendiri tak pernah bicara moral karena itu bukan bagian saya. Tapi bukan berarti tak boleh mengkritik bukan?

SESEORANG: Saya ini koruptor dan bukan kritikus korupsi. Kalau pribahasa mengatakan mengkritik itu gampang, berbuat itu susah. Bagi saya malah sebaliknya, mengkritik itu amat susah tapi berbuat itu gampang. Bedanya kalau di pengadilan, kritikus korupsi itu jadi saksi ahli yang tak pernah korupsi, sebetulnya beda sedikit dengan dukun. Tapi saya setiap kali di pengadilan duduk sebagai tersangka dan terdakwa. Jadi mengkritik sesama koruptor itu bagi saya sesungguhnya susah. Hanya satu yang membuat gampang saya mengkritik. Yakni karena usaha saya menjadikan korupsi sebagai ilmu telah berhasil gemilang. Buktinya, doktor korupsi seperti George Junus Aditjondro tak segan berguru pada saya. Memang itu ia lakukan secara

diam-diam. Sebab andaikata ia lakukan secara terbuka, betapa malu seisi dunia ini bila seorang doktor belajar pada penggangguran macam saya. Jadi jelek-jelek begini, saya ini sebetulnya seorang pendidik yang ulung. Sebagai pendidik saya tentu tak keberatan mengkritik. Saya iklas, biarpun kritik saya atas korupsi ini tak jadi karya monumental karena karya saya yang sesungguhnya adalah korupsi itu sendiri. Begini. Presiden bisa korupsi, kiai pun bisa korupsi, lalu apakah korupsi mereka sudah sesuai dengan ilmu korupsi? Jawabnya, belum.

SESEORANG: Tuan-tuan dan Nyonya koruptor. Kritik saya pada anda adalah, anda seorang koruptor tapi tak pernah mengaku berterus terang bahwa andalah koruptor itu. Anda tak mau bersikap tegas mengakui diri anda koruptor, penguasa atau pengusaha. Anda pengusaha tapi bersembunyi di balik ketiak penguasa. Sebaliknya, penguasa malah berdalih demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Tahukah akibat perbuatan tuan-tuan dan nyonya, sesuatu yang amat berbahaya telah merasuki jiwa rakyat, setiap detik, jam, hari dan sampai bertahun-tahun. Tahu apa itu, tuan-tuan dan nyonya? Rakyat jadi tidak iklas menjalani hidupnya. Rakyat jadi putus asa. Frustasi. Rakyat menjalani hidupnya dengan dendam, amarah dan amuk di mana-mana. Tahukah satu-satunya yang kini masih tersimpan baik di jiwa rakyat? Adalah kesabaran untuk tidak menggunakan pedang dan parang. Betapa hebat jiwa rakyat di balik perasaan dendam, masih sanggup berpikir bahwa pedang dan parang lebih berguna bila digunakan untuk panen kacang ketimbang untuk menebas leher orang. Rakyat masih segar berpikir bahwa kejahatan tak harus dibalas dengan kejahatan. Karena itu bagi saya, tuan-tuan dan nyonya tak lebih dari seorang yang munafik. Jadi kejahatan tuan-tuan dan nyonya di mata saya, bukan murni karena korupsi itu, melainkan justru karena anda munafik. Akibatnya, anda tak mau bertanggungjawab untuk menjalani profesi anda sendiri, karena dalam prakteknya anda melibatkan banyak orang. Di situ sering saya perhatikan anda membeli orang lain untuk kemudian melibatkannya. Saya tidak mempersoalkan mereka yang mau anda libatkan. Tapi yang tidak mau, kemudian anda paksa ini berarti tuan-tuan dan nyonya melanggar etika persamaan hak dan kebebasan. Bahkan yang menjijikkan saya adalah cara anda menyewa mahal orang untuk menyiasati undang-undang. Jujur saja, melihat kelakuan anda, sebagai pendidik saya jadi tersinggung. La wong, undang-undang itu dibuat oleh yang terhormat para wakil rakyat, tapi tuan dan nyonya malah merancang usaha untuk menyepelekan hasil kerja mereka. Bagaimana ini sudah tak menghargai diri sendiri, masih juga menyepelekan wakil rakyat. Jujur saja, satu-satunya yang saya kagumi dari tuan-tuan dan nyonya adalah pandangan anda yang sama sekali baru terhadap nasionalisme. Apa hubungannya? Lho, andalah yang memperkenalkan internasionalisme kepada kami karena anda leluasa keluar masuk negeri asing, hidup bebas di luar negeri meski jadi buron di dalam negeri. Ah, kata orang, itu sih karena kebodohan polisi saja. Lalu saya jawab, bukan. Bukan. Polisi kita tidak bodoh karena memang banyak akalnya. Kalau pura-pura bodoh mungkin saja. Atau justru karena kebanyakan akal itu kemudian polisi bingung sendiri. Ha..ha… Ya, mungkin saja. Hal itu, terlihat dari cara polisi menerapkan azas praduga tak bersalah. Buktinya, karena terlalu kuat berpegang pada azas itu, akhirnya polisi pun tak pernah melakukan apa-apa. Kejaksaan juga setali tiga uang. Fatalnya, itu terjadi pada kasus-kasus besar. Tapi pada kasus-kasus kecil, tuan-tuan dan nyonya tentu baru tahu bagaimana gambar-gambar di TV itu mempertontonkan ternyata polisi itu lebih garang dari preman. Lebih hebat dari penjahat. Jangan-jangan lebih sadis dari residivis. Di mata saya ini hanya soal keberanian, tuan-tuan. Banyak akal itu nomor dua, tapi keberanian itulah yang utama.

MUSIK PARODI MENGIRINGI.


SESEORANG: Karena ini kritik, maka janganlah hal itu tuan-tuan dan nyonya tanyakan kepada saya tentang diri saya. Itulah sebabnya mengapa saya senantiasa mengingatkan bahwa mengkritik itu susah.

BERLAGAK SOPAN

SESEORANG: He, Pak Kiai….Assallamualaikum. Ahlan Wasahllan, Pak Kiai. Ahlan biq. Tentu Pak Kiai masih ingat saya santri yang urakan dan nggak punya aturan itu. Bukan. Bukan. Jangan kuatir. Saya tak termasuk santri yang murtad kok. Saya masih Islam, tapi Liberal alias lihat-lihat berapa nilainya. Ah, saya tak bermaksud menyindir Pak Kiai. Saya hanya guyon saja, bermaksud memecahkan kebekuan saja. Ini masih tahap pertama. Nanti, nanti akan saya ajarkan Pak Kiai untuk tahu bagaiamana nikmatnya bermain chating. He...he…he.. sambil saya belajar adakah itu aturannya dalam kitab kuning. Ah, sekali lagi mohon untuk jangan tanggapi serius ocehan saya. Jujur saja saya hanya bercanda. Satu hal yang mau saya kemukakan dan serius adalah saya kagum pada anda. Saya hormat pada anda. Bukan saja karena Anda manusia pilihan dan tokoh terpandang. Tapi juga karena darah biru anda. Kesimpulannya Pak Kiai nyata-nyata bukan orang biasa. Kalau boleh saya berkata siapa orang terhebat di dunia ini setelah Mahatma Gandi? Tentu saya jawab Andalah orangnya. Santri anda banyak dan tak satupun yang buta urusan dunia-akhirat. Kecuali saya. Ya, kecuali saya. Sebetulnya saya malu. Malu. Tapi saya beruntung masih punya malu sehingga punya kesibukan untuk menutupi malu saya dengan bicara yang menyejukkan hati saya sendiri. Saya tahu, meski saya diberi hak untuk mengumpat tapi hal itu tak pernah saya lakukan. Apalagi untuk menakut-nakuti orang. Saya tertindas tapi pada gilirannya tak pernah saya menindas orang lain, Pak Kiai. Maafkan saya kalau karena itu saya tak pernah lagi berjalan kaki mendatangi masjid-masjid. Saya takut. Para pengkhotbah itu telah menakut-nakuti saya dengan dongeng-dongeng mengerikan dan setiap kali sorot matanya jatuh pada saya, saya merasa bukan lagi manusia. Saya merasa jadi setan. Tapi lupakanlah, ini Pak Kiai. Karena saya hanya bicara tentang perasaan bukan kenyataan. Mungkin benar mungkin juga salah. Bisa jadi salah tapi bukan mustahil itu suatu kebenaran. Ironisnya, saya tak pernah diberikan kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan saja. Apakah kehidupan surga yang engkau janjikan itu juga berlaku bagi orang macam saya? Setan ini? Lalu apakah juga berlaku bagi orang yang memilih berada di luar karena ia tahu hanya sejengkal saja lantai masjid itu yang bukan hasil dari korupsi? Kalau demikian alangkah pemurahnya Tuhan kamu itu. Semuanya dihargai murah. Tapi bagi Tuhanku kenapa segalanya jadi mahal. Ya, salah saya sendiri, sih. Harga beras mahal. Harga susu mahal. Harga diri pun harus dijual mahal. Setelah bermalam-malam saya melekan, dan akhirnya dapat ilham. Tahukah apa jawabnya Pak Kiai. Satu-satunya jalan menuju keselamatan, saya harus memilih untuk kembali menjadi orang primitif. Tahukah Pak Kiai bahwa pilihan saya ini hanya beda sedikit dengan cara yang anda tempuh? Bedanya, kalau anda bersikap keras anda bakal dituding sesat atau teroris. Tapi saya dituding pembangkang. Kalau anda bersikap kritis kemudian banyak pejabat datang dan kasih uang apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Sebaliknya, bila saya yang berteriak lantang jelas buntutnya saya tak bisa dapatkan makan. Lalu, jika Pak Kiai sanggup menjaga kebersihan dan menepis segala godaan sudah pasti akan panen pujian. Kalau itu terjadi pada saya, orang akan berbondong-bondong untuk mengucapkan belasungkawa dan kasihan. Menyedihkan. Betul-betul menyedihkan.

TABLAU BEBERAPA SAAT

SESEORANG: Memang sudah menjadi tekad saya di tempat ini untuk pamer kesedihan. Sudah jadi niat saya untuk mengatakan bahwa menjadi seekor simpanse lebih nikmat ketimbang jadi makluk setengah manusia tanpa otak, hati dan perasaan. Alangkah asyiknya bila tempat ini untuk malam ini dipenuhi sesak para simpanse. Tentu saya tak perlu tegang menyembunyikan rokok ideologi saya di lipatan baju seperti ini (mengobrak-abrik baju kusut dan kumal). Kalau harus kutawarkan: Bos rokok! Paling-paling si kumpulan simpanse itu cuma meringis saja. Seekor simpanse cukup makan pisang tanpa perlu membaca undang-undang! Seekor simpanse tak butuh gelar penghargaan apalagi bintang jasa, tapi seekor simpanse untuk malam ini ia rupanya perlu membaca naskah karena lupa.

SIBUK MENCARI SESUATU. KEMUDIAN MEMBACA NASKAH

SESEORANG: Saya hanya ingin membela hidup keluarga saya apapun resikonya. Saya cuma ingin hidup terhormat di mata saya sendiri, anak serta istri saya. Satu-satunya kehormatan bagi saya adalah menjamin apa yang kami makan ini betul-betul bukan hasil menjarah. Memilih mati ketimbang menyantap masakan hasil korupsi dan kolusi. Apalagi, pantangan bagi saya bila menyimpan barang yang bukan hak keluarga saya. Saya membela kehormatan hidup keluarga saya karena itu adalah hak hidup saya sebelum mati. Saya harus ambil resiko meskipun saya juga sibuk menghitung sisa umur saya dengan jari tangan karena saya tahu kehormatan di luar rumah itu sangat beda artinya. Sebab itu, saya tak perlu menyampaikan kata maaf bila tak menerima tamu dari luar rumah. Siapa pun dia. Saya sudah tahu gelagat dan maksudnya. Pejabat? Kiai? Konglomerat? Cendikiawan? Ilmuwan? Menteri? Bahkan Presiden?

SESEORANG: Sekalipun mereka datang bersama-sama ke rumah saya ini, saya akan lebih memilih mengurusi anak yang mencret ketimbang menjamu tamu-tamu seperti mereka.

SESEORANG: Apa? Ada yang belum saya sebut? Siapa? Tentara?

SESEORANG: Ah, untuk apa tentara kemari? Tapi dia tak mungkin berani masuk karena pintu saya kunci dengan paku sebesar ini.

SESEORANG: Tapi ini orang hebat. Pejabat tinggi negara, pengusaha, ilmuwan dan merangkap kiai, gelarnya Profesor Doktor Insinyur Kiai Haji nekad datang kemari.

SESEORANG: Untuk apa? Belajar? Belajar Ilmu apa? Tidak bisa! Tidak bisa. Tahu apa yang nanti ia kerjakan? Dia akan menjual hasil penelitiannya kepada asing dan kita tetap saja miskin.

SESEORANG: Tapi ini ia cuma penelitian soal korupsi. Hanya untuk dia sendiri. Dia ngaku sudah korupsi tapi meski gelarnya banyak, korupsinya masih juga belum sempurna.

SESEORANG: Apa? Ngaku korupsi? Tangkap saja! Ada-ada saja. Jangan bikin saya pusing.
SESEORANG: Hei wanita. Siapa lagi itu. Jangan goda saya. Saya belum pernah ambil sikap bagaimana kalau tamu saya wanita. Tukang kredit! Sebetulnya ini urusan dapur. Tapi kukatakan saja istriku tak ada di rumah. Ha? Masih saja tanya? Istriku sembunyi di lubang tanah.


KEMBALI MENDEKATI PINTU. KEMUDIAN MENGINTIP KELUAR LAGI.

SESEORANG: Wow cantiknya dia! Pitzaaaaa!!!!

MEMAINKAN  LEANG-LEONG ATAU   SEBENTUK  BABI-BABIAN. HINGGA

SESUATU MENGHENTIKANNYA.

SESEORANG: Bukan. Bukan. Itu ibu! Oh, tunggu sebentar ibu!


SIBUK MEMPERBAIKI ISI RUANGAN YANG KACAU

SESEORANG: Mengapa ibu datang malam-malam begini? Apa? Bapak sudah ketemu? Hidup atau mati, Bu? Ah, sudahlah, ibu istirahatlah. Bagi aku sama saja bapak hidup atau mati. Jangan ibu repot-repot mencari bapak sialan itu untuk anakmu. Ibu sudah tua dan itu cuma nostalgia. Cuma masa lalu buruk untuk ibu. Tapi sekarang, tidak ada kehadiran di sini bagi aku yang lebih penting kecuali ibu. Biar susah sungguh. Aku tahu ibu susah dan aku sedemikian kesusahan. Aku tahu itu karena bertahun-tahun ibu menanggung malu dan percayalah ibu, bila kutemukan bapak ia akan aku lumat habis. Aku mencintai ibu tanpa sejengkal pun yang tersisa. Ya, tanpa sisa sejengkal pun. Seperti juga aku mencintai negeri ini, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Sekalipun aku anak jadah, lahir dari rahim pelacur seperti ibu, tidak ada seorang pun yang sanggup membebaskan jiwa dari fisik perempuan semacam ibu kecuali ibu sendiri. Hanya ruh ibulah yang mengerti bahwa seorang ibu tetaplah ibu. Perempuan tetaplah perempuan. Kalah maupun menang. Pelacur atau bukan. Hanya ruh ibulah yang tahu akan kebenaran dan omong kosong. Istirahatlah, ibu. Meski engkau tahu di sini, ruh ibu itu telah dikorup sampai ke akar-akarnya. Meski bangsa ini begitu bangga dan sedikit pun tak sungkan menyebut dirinya Ibu Pertiwi padahal di sana-sini demikian menganga borok dan kebobrokan. Istirahatlah ibu, dan jangan pedulikan anakmu ini. Sekalipun harus yatim piatu.

KEMBALI MEMAINKAN LEANG-LEONG ATAU BABI-BABIAN. DIIRINGI MUSIK

MEMBAHANA. LAYAR   DITARIK  KUAT-KUAT. BERPUTAR-PUTAR. LAYAR

RUNTUH  MENUTUP  SEKUJUR  TUBUH.  MENGGELIATGELIAT. BERTERIAK-TERIAK.

Tolong! Tolong aku.!! Aku nggak bisa bernafas. Tolooong!!!!. Aku takut kehabisan darah. Aku bisa mati percuma.

LAMPU BLACK OUT SELESAI

S. JAI pengarang kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1972. Menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga, tahun 1998. Beberapa cerpennya masuk antologi Kami di Depan Republik dan Istighotsah Tanah Garam. Keduanya diterbitkan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB). Novelnya Tanah Api pada bulan Mei 2004 telah diterbitkan penerbit LKiS, Yogyakarta. Kini tinggal di dekat pegunungan Kapur Lamongan Selatan. NB: Naskah ini pernah dipentaskan di Unair dan Untag Surabaya dan dimainkan oleh F Aziz Manna bersama grup Teater Keluarga Surabaya.
  
SELESAI




3. ANAK KABUT 
Karya : Soni Farid Maulana

(cahaya biru berlapis kehijauan jatuh di atas permukaan kayu, semacam meja tulis, atau meja apapun. Di balik cahaya tersebut, tampak seorang perempuan tengah duduk termenung. Sesekali tarikan nafasnya yang berait itu terdengar. Wajah perempuan yang berada di balik cahaya itu seperti bayang-bayang. Saat itu malam begitu larut. Cahaya tersebut masih seperti itu ketika perempuan tersebut tengah berkata-kata).

Tatolah aku, kekasihku, dengan segenap cintamu. Janganlah ragu, gambarlah seekor naga mungil pada kedua belah payudaraku. Sungguh aku tidak suka gambar kupu-kupu atau bunga. Keduanya tidak melambangkan jiwa kita yang liar—keluar masuk nilai-nilai dari malam ke malam, dari pintu ke pintu diskotik. Disergap asap rokok. Irisan cahaya melambungkan jiwa kita pada impian Amerika atau impian apa saja. Tatolah aku, kasihku, jangan ragu walau ayah dan ibuku tidak setuju. Dulu, ya, dulu. Tato memang simbol napi tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris, semacam tanda, postmodern di akhir abad 20. ya, memang, sejak 12000 tahun sebelum masehi orang sudah mengenal tato. Tapi adakah mereka seberani aku? Kasihku, jangan ragu, tatolah aku, aku tak mau kalah dengan ratu Alexandra yang hidup di abad 19 di Rusia.

Apa? Pencemaran darah, hepatitis B? Jangan takuti aku dengan hal demikian. Kasihku jangan ragu, tatolah tubuhku dengan segenap cintamu. Buatlah aku bahagia karenanya jangan pedulikan apa kata orang. Sungguh jiwa kita yang lapar dan liar ini perlu semacam perlambang, semacam pegangan nilai-nilai; setelah keasingan demi keasingan melontarkan kita pada sehampar dunia tak dikenal. Ya, betapa banyak tanda dan ayat dihadapanku, tapi aku salah menangkap makna*. Selalu kegelapan bersambung kegelapan yang kujelang; setelah kehidupan malam setelah nilai demi nilai berubah makna lebih cepat dari putaran jarum jam. Tatolah tubuhku, jangan ragu dengan gambar yang permanent dengan model yang mutakhir. Aku tidak suka dengan tato temporer yang akan lenyap dalam waktu dekat, di masa tua nanti tidak punya kenangan yang bisa aku banggakan pada anak-cucuku. Sekali lagi aku minta padamu tatolah kedua belah payudaraku dengan gambar naga, naga cintamu yang jantan itu, yang menggairahkan itu dari malam ke malam membunuh kesepian yang menghadang di depan. Jangan ragu tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum cintamu yang tajam dan runcing bertinta putih.

Hahahaha  (perempuan itu tertawa.  Cahay sedikit  demi  sedikit  benderang  dengan  warna netral). Ini pasti bukan sajak Saini KM. Saya berani bertaruhbahwa Saini KM tak akan berani menulis larik-larik puisi yang liar seperti ini:’tatolah jiwaku yang lapar dan liar ini dengan jarum yang tajam dan runcing bertinta putih’. Sialan, semakin dihayati, puisi ini semakin menggelorakan gairah terpendam. Gairah yang bertahun-tahun sudah lenyap dari dadaku. Ya, bertahun-tahun sudah aku jadi tawanan kehidupan yang tidak jelas bentuk dan rupanya. Sungguh, bertahun-tahun sudah yang aku hadapi adalah anyir darah. Ya, amis darah yang melayah di gigir hari, yang menetes dari tubuh-tubuh tak dikenal.

Masih jelas dalam ingatanku, akan jerit tangis yang tertahan itu, aku dan kaumku saat itu tak lebih dari hewan qurban, yang dengan liar dan ganas dimangsa orang-orang berhati serigala. Ya, masih segar dalam ingatanku bagaimana aku dimangsa orang-orang berhati Nero di tengah- tengah kobaran api yang melahap bangunan demi bangunan bertingkat, sementara di jauhnya orang-orang lapar berteriak dengan suara-suara yang aneh sambil menggasak berbagai benda apa saja yang ada di hadapan dirinya.



Dan kini apa artinya reformasi? Apa artinya menangisi nasib hitam yang telah meruntuhkan jiwaku ke dalam kelam?

Apakah hukum telah berpihak pada orang-orang seperti diriku atau malah dibuang ke dalam tong sampah untuk kemudian dilenyapkan dengan guyuran bensin dan kobaran api, apa jadinya?

Mengapa penderitaan yang demikian hitam menimpa diriku dan teman-temanku hanya dianggap isapan jempol belaka? Orang bilang komnas HAM akan memperjuangkan nasibku hingga mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang aku derita. Tetapi kenyataannya semua itu hanya ramai diperbincangkan di koran-koran, sementara barisan pemerkosa yang bermuka garang itu tak pernah bisa ditemukan batang hidungnya. Demikian pula dengan para penembak gelap yang membunuh mahasiswa juga kekasihku tak pernah pula bisa ditangkap dan bahkan diseret ke muka pengadilan.

Adakah yang terjadi di bula Mei itu akan juga dianggap sebagai fiksi semacam lakon drama yang dibikin haru dan sedih?

Tidak. Semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuhapus begitu juga dalam ingatanku dan juga ingatanmu yang memperkosa diriku dengan muka yang menyebalkan. Sekali lagi pembunuhan yang terjadi di bulan Mei tidak bisa pula kau hapus dari ingatanmu meski saat ini kau tenang-tenang saja duduk sambil menghisap rokok kesukaanmu di tempat yang jauh. Yang jauh.

Aku yakin kau dan aku sama menderitanya kecuali dirimu telah menjelma iblis yang merajai kegelapan. Dengar, dengan segenap penderitaanku aku kutuk kau hingga hari perhitungan kelak yang tiada seorang pun bisa mengelak dari kepastian hukumNya.

Ya Tuhan yang maha pengasih aku serahkan padaMu. Semata padaMu.

Hening. Sesekali terdengar tiang listrik dipukul orang.

Sayup-sayup terdengar suara hujan yang demikian keras. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, seperti menuju sebuah jendela terbuka. Lalu balik lagi ke arah semacam meja tulis bagian depannya. Suara nafasnya yang berat terdengar.

Kini setiap malam tiba selalu aku rindukan kekasihku hadir disisiku tidak sekedar membelai rambutku, tetapi juga memelukku. Tapi dimana kekasihku berada? Orang-orang bilang tubuhnya hangus dibakar api. Entah apa kesalahannya, sebagian mengatakan ia mirip dengan intel, sebagian lagi mengatakan mirip dengan provokator dari pihak lawan?

Sungguh, semua tuduhan itu tidak benar. Mana mungkin ia berani melakukan hal yang tidak diketahui dan dikuasainya. Ia hanya seorang buruh bangunan yang kerjanya serabutan. Ia memang punya gelar lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sayangnya, ia tidak punya koneksi hingga tidak bisa jadi pegawai negeri. Karena tidak punya uang jutaan rupiah sebagai uang pelicin. Mereka yang berkuasa di negeri ini dihadapan dirinya benar-benar telah menjelma seekor naga yang lapar dan liar memangsa apa saja.



O kau yang mati di tengah-tengah kerusuhan. Sejumlah orang tak dikenal mengejar dan menyuruhnya masuk ke dalam sebuah bangunan bertingkat, yang setelah itu kemudian dibakarnya gedung tersebut sehabis sejumlah barang-barang yang ada didalamnya dijarah mereka.

O dari dunia mana mereka datang? Apa agama mereka? Mengapa api dan batu harus bicara? Mengapa mereka yang jelas-jelas telah menghancurkan bangsa dan negeri ini kedalam jurang peradaban yang hitam pekat ini masih ongkang-ongkang kaki, bebas dari segala tuntutan hukum? Negeri apakah ini, kok berani-beraninya seorang terpidana tindak korupsi mengajukan diri jadi calon Walikota, Bupati, Gubernur, malah Presiden?

Ya Allah, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan diriku saat ini? Betapa dari tahun ke tahun aku tidak bisa menghanguskan rasa rinduku pada kekasihku yang kini entah dimana.

Aku masih ingat bagaimana ia pada sebuah malam hari dan tanggalnya kulupa, menulis sebuah puisi untukku, yang kemudian dibacakannya dengan tekanan suara yang malu-malu karena gelora cinta meluap-luap di dadanya.

Saat itu ia duduk di sebelahku sambil membaca sebuah puisi yang baru selesai ditulisnya. Demikian puisi itu dibacanya: duduk di bangku kayu, menghayati sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita aku temukan bintang mati bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku. Aku temuka kembali-begitu hitam dan gosong dan kau menjerit terpisah dari cintaku.

Dengarkan aku bicara, suaraku bagai ketenangan air sungai, bagai keheningan batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan. Bila hari kembang, suaraku membangun kehidupan yang porak poranda oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap menyesatkan rohanimu dari jalanku. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu: rasa gula yang terperas dari tebu jiwaku. Reguklah, biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang yang dulu benderang dalam langit jiwaku. (terdengar batuk tiga kali dengan tarikan nafas yang terasa berat. Di liar hujan mungki sudah berhenti. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dengan amat kerasnya. Perempuan itu segera mendekat ke arah jendela kaca, yang dibiarkan terbuka sejak awal pertunjukan. Dalam pandangan matanya ia seperti melihat kobaran api yang menjulang ke langit jauh.)

Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan bangunan bertingkat itu? Adakah suara ledakan yang aku dengar itu adalah suara bom? Jika ya, mengapa bom sering benar meledak di negeri ini? Tangki air mata nyata saat ini tidak hanya bedah di Aceh, Ambon, Bali, Jakarta dan kota-kota tak terduga dalam peta. Tetapi juga bedah dalam diriku. Aku masih ingat bagaimana kata-kata yang diucap oleh lelaki yang menghinakan diriku itu disuarakan dengan nada yang keras dan penuh kebencian.

Perempuan, katanya. Kau Cuma daging yang tidak hanya enak dipandang tetapi juga ditunggangi. Kau tidak lebih dari akar malapetaka di bumi ini. Kaulah yang menyebabkan kejatuhan Adam dari tanah sorga. Dan kini aku menderita harus menanggung segala siksa. Demi segala rasa haus dan lapar sirna dari tubuhku, ayo buka bajumu. Saat itu aku benar-benar takut melihat pandang matanya yang merah padam seperti orang mabuk yang kerasukan setan. Dengan kasar, pakaianku dibukanya secara paksa. Tubuhku diseretnya ke pojok bangunan yang gelap. Dan dengan buas dilahapnya diriku tanpa ampun.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa



O, rasa sakit itu tidak hanya bersumber di pangkal paha. Tetapi bersumber di seluruh tubuhku, jiwaku, dan bahkan nyawaku tak kuat menanggungnya. Dan kini aku terus dikejar bayang-bayang yang menakutkan.

Engkau benar cintaku, kita lahir sebagai dongengan. Peran yang kita mainkan adalah kehidupan yang kelam, lebih hitam dari aspal jalanan.

(sunyi. sesekali terdengar suara sirine meraung-raung. Dengan amat kerasnya. Perempuan itu sejurus menarik napasnya kuat-kuat, lalu kembali duduk di tubir meja semacam meja tulis tadi. Cahaya lampu kembali biru berlapis kehijauan. Sunyi.)

Saat seperti ini, aku ingat bagaimana kau berkata untuk terakhir kalinya, sebelum engkau benar-benar pergi meninggalkan diriku selama-lamanya. Ya, malam itu kau tidur di rumahku. Aku begitu kangen, begitu rindu padamu. Kita tidak berbuat apa-apa saat itu. Selain berpandangan dan berpelukan, setelah kau ucap kalimat-kalimat itu, kata-kata cinta yang sangat memabukkan itu.

Telah kau tiup pintu dan jendela kamarmu. Malam yang turun berudara buruk dengarlah ringkik kuda itu, seperti hendak membekukan jantungmu! Larut malam ini aku disisimu. Aku dan kau tersenyum seakan tahu apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut kau dengar guguran daun diluar jendela.

Kita terlahir sebagai dongengan, bisikmu. Malam larut dan sunyi.

Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu kelahiran kita hanya pantas jadi dongengan santapan nasib yang bengis.

(sayup tiang listrik dipukul orang)

Kekayaan kita adalah kemiskinan kita, adalah rumah kita yang lembab oleh air mata, kita hanya pantas menjadi dongengan.

Salak anjing mengusap pendengaran deru kereta memecah kesunyian kata-kata menggumpal dalam dada. Beku tak bersuara menyumpah matahari hitam digilas ruang dan waktu negeri kelam.

Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya.

Sungguh aku tak bisa melupakan kalimat-kalimat yang kau ucap malam itu, ketika angin dingin bersiutan diluar jendela menggugurkan ribuan dedaunan. Aku tidak bisa melupakan pancaran matamu yang hangat dan lembut.

Ya, aku tidak bisa melupakan semua itu, termasuk tidak bisa melupakan kata-kata dan pancaran mata lelaki jahanam itu yang telah mereguk kegadisanku secara paksa.

O, api yang berkobar diluar dan didalam dadaku. Seberapa jarak lagikah kebahagiaan itu bisa kujelang. O, maut yang diam-diam mengintai dan mengendap dalam dadaku seberapa detik lagikah nyawa ini kau paut dari tubuh yang penuh luka ini.

Dan kini: aku mendengar langkahmu menyusuri lorong gelap jiwaku begitu teratur, bagai detik jam. Anngin dan daun-daun jatuh mempertegas sunyi yang kelak mekar pada sisa-sisa ranting patah percakapan kita.



Bulan yang memulas langit dengan warna darah: mengundang ribuan kelelawar yang terbang dari goa dadaku dengan suara aneh.

Sungguh setiap jiwaku merindu cahaya matahari. Malam terasa beku sepadat es di kulkas waktu.

Sedang doa-doa para pelayat, genangan air sisa hujan, wangi kembang setaman dan bau kemenyan beraduk jadi satu. Urat-urat syarafku terasa kaku.

O, maut, kebengisan apalagikah yang kelak kau mainkan dalam konser kematianku ini? Sedang Tuhan sulit dijangkau dari keluh-kesah kegelapanku.

(hening, terdengar tiang listrik dipukul orang berkali-kali. Cahaya panggung sedikit demi sedikit kembali netral. Perempuan itu menjatuhkan kepalanya diatas meja. Kemudian menegakkan kepalanya secara perlahan-lahan seiring dengan suara orang yang melantunkan tahrim dari sebuah masjid yang jauh.)

Jam berapa ini? Ya Tuhan betapa cepat waktu berlalu. Hidupku tidak berubah pula. Jika ini semacam ujian yang harus kutempuh dengan tangan dan kaki berdarah-darah, maka aku jalani semua ini dengan kesabaran tanpa batas.

Ya Allah yang maha pemurah. Jika semua ini adalah siksa dariMu. Semoga apa yang kualami di bumi ini menjadi tebusan bagi kehidupan di akherat kelak yang lebih baik dari apa yang aku alami hari ini.

SELESAI




4. BALADA SUMARAH
Karya : Tentrem Lestari

Siang itu matahari membara di atas kepala. Di sebuah siding pengadilan terhadap seorang perempuan yang tertuduh telah melakukan pembunuhan terhadap majikannya, aku seperti didera ucapannya. Seperti dilucuti hingga tanggal seluruh atribut pakaian bahkan kulit-kulitku. Perempuan itu, bernama Sumarah, TKW asal Indonesia. Dingin dan beku wajahnya. Dan meluncurlah bait-bait kata itu :

Sumarah : Dewan Hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan. Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran. Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya. Nama saya Sumarah. Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan. Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan siapa, saya tidak peduli. ini kali terakhir, saya biarkan mulut saya bicara. Untuk itu, Dewan Hakim yang terhormat biarkan saya bicara, jangan ditanya dan jangan dipotong, kala waktunya berhenti, saya akan diam, selamanya.

Saya tidak butuh pembela, saya tidak butuh penasihat hokum. Karena saya tidak mampu membayarnya. Saya juga tidak mampu dan tidak mau memberikan selipan uang pada siapapun untuk melicinkan pembebasan dari segala tuduhan. Toh semua sudah jelas! Semua tuduhan terhadap saya, benar adanya. Segala ancaman hokum, vonis mati, saya terima tanpa pembelaan, banding atau apalah namanya.

Kematian adalah kelahiran yang kedua. Untuk apa berkelit kalau memang itu sudah winarah dalam hidup saya.

“udahlah…. saya tidak perlu empati dan rasa kasihan. Dari pengalaman hidup saya mengajarkan sangat………. Sangat jarang dan hamper taka da sesuatu yang tanpa
imbalan dan resiko. Juga rasa empati .

Yang jelas. sekarang biarkan dulu saya bicara tentang apa saja. Penting atau tidak penting bagi dewan hakim, atau bagi siapapun, saya tidak peduli. Apapun yang ingin saya lakukan biarkan seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Mengalir ke mana pun curah yang mungkin terambah. Mungkin mengendap di sela-sela jepitan hidup orang mungkin menabrak cadas batu dalam kepala orang, meniumbul riak, mungkin meluncur begitu saja bersama Lumpur kehidupan, tahi, dan rentanya helai-helai kemanusiaan, atau bahkan meluap-luap, menggenangi seluruh muka busuk para majikan, para penguasa hingga coro-coro kota.

Ee….. Maaf kalau Bahasa saya terlalu bertele-tele. Baik saya mulai saja.

Nama saya Sumarah. Umur kurang lebih 36 tahun. Saya seorang TKW. Babu!

                                                                                                                                  


Eeeh…. Jangan meneriaki huu… dulu. Ya memang saya Babu. Tapi justru itu saya hebat. Saya hebat karena berani mengambil keputusan untuk menjadi babu. Saya berani memilih keputusan untuk berada pada tempat terbawah dari structural manusia. Belum tentu semua orang berani menjadi manusia di bawah manusia.



Ya… inilah saya, Sumarah, menjadu babu, buruh, budak sudah menjadi pilihan.

Bertahun-tahun, saya menjilati kaki orang, merangkak dan hidup di bawah kaki orang. Bertahun-tahun saya tahan mulut saya, saya lipat lidah saya, agar tidak bicara.

Karena bicara,berarti bencana. Bencana bagi perut saya, perut simbok, dan bencana pula bagi para majikan. Tolong…. kali ini ijinkan saya mendongak dan membuka suara.

Dari kecil saya tidak berani mendongakkan wajah apalagi di Karangsari, desa tempat saya dilahirkan.

Orang-orang Karangsari selalu membuat saya gugup dengan bisik-bisik mereka, tatapan curiga mereka. Kegugupan itu bermula, di suatu ketika di kelas, di bangku madrasah. Pak Kasirin guru madrasah saya menerangkan :

“Pembunuhan para Jenderl itu dilakukan oleh sekelompok orang yang sangat keji yang tergabung dalam organisasi PKI. PKI itu benar-benar biadab. Untuk itu dihapus dan dilarang berkembang lagi. Seluruh antek PKI dihukum.

Saya mendengarnya dengan takdim sambil membayangkan betapa jahatnya orangorang yang membunuh para jenderal itu. Tiba-tiba saya mendengar suara dari arah belakang bangku saya. Setengah berbisik, tapi jelas kudengar.

“Eh Bapaknya SUmarah itu kan PKI. “Apa iya?”

“Lha sekarang dimana?” “Ya sudah diciduk!”
Lalu saya menoleh kearah mereka, dan terdengar suara:

“Ssst….. anak cidukannya menoleh kesini”.

“Plass! Seperti terkena siraman air panas hatiku meradang, sakit, nyeri sekali. Malamnya saya bertanya kepada simbok.

“Mbok, Bapak itu apa benar orang PKI Mbok?”

Si mbok yang hendak pergi ke tempat Den Sastro tetangga saya, untuk mengerik istrinya, jadi urung memasukkan dhuit benggol ke stagennya. Masih memegang uang benggol itu, simbok memandang saya, mukanya mendadak pucat dan bibirnya bergetar.

“Siapa yang mengatakan kepadamu?”
“Tadi di kelas mengatakan teman-temanku bilang.”

Simbok duduk di amben.

“Kamu percaya?”

Saya tidak tahu harus mengangguk atau menggeleng. Tiba-tiba pintu rumah diketuk. Ternyata orang suruhan Den Sastro untuk menjemput simbok. Simbok pun pergi tanpa sempat menjelaskan pertanyaan saya. Pertanyaan itu baru terjawab pada malam berikutnya. Dan bukan dari simbok, tapi simbah yang menceritakannya. Saya ingat waktu itu seperti biasa saya hendak tidur di samping simbah. Simbok malam itu seperti biasa jadi tukang kerik.

“Mbak, apa iya Bapak itu PKI to mbah?”

Sambil men-dhidhis rambutku, meluncurlah cerita simbah begini :

“Bapak itu orang lugu, nduk. Sehari-hari pekerjaanya menderes kelapa dan ngusir andhong. Kalau pagi, setelah menderes, kerjaannya narik andhong, mangkal di Pasar Slerem dan sorenya narik lagi.

“Tukang nderes itu khan! Le, Pak Dhe Sudi, Lek Paidi, Mbah Suro juga nderes mbah, tapi …”

“Ya, bukan karena nderesnya ndhuk. Tapi bencana ini bermula karena bapakmu kusir andhong!”

“Kusir andhong?”

“Sebagai kusir andhong bapakmu, sering mengantar siapa saja yang membutuhkannya. Orang-orang yang mau ke pasar, dari pasar atau mau ke mana saja kehendak penumpang. Salah satu langganan bapakmu, adalah seorang penyanyi bernama Pak Wasto. Rumahnya kidul Pasar Slerem. Bapakmu sering mengantar Pak Wasto ke sebuah rumah di desa Karang rejo. Kadang seminggu sekali kadang tiga hari sekali. Nah, pada suatu ketika, bapak membawa Pak Wasto dan dua teman Pak Wasto ke rumah. mereka melihat simbokmu membuat gula dan menanyakan gulagula itu dijual ke mana. Kami, dari dulu menjual gula ke Den Projo, Pak Lurah. Lalu mereka menawarkan untuk menampung gula-gula kami kata mereka, ko… koperasi begitu. Dengan harga lebih tinggi dari harga yang diberikan Tapi dengan janji mereka, tentu saja kami mau. Bahkan Pak Wasto memberikan kesempatan bapak untuk menderes kelapa di kebunnya. Tapi kami tidak enak hati juga pada Den Projo. Dan tetap menjual kepadanya, tapi tidak sebanyak semula. Lama-lama Den Projo bertanya kepada simbahmu :

“Lek nah,  mantu sampeyan itu suka menyetor gula ke koperasinya PKI to?”

“Wah ngpunten den, pokoknya Suliman menyetronya kepada Den Wasto”

“Pak Lurah manggut-manggut. Tapi jelas simbah tahu Pak Lurah tidak suka. Kami pun semakin tidak enak hati. Tapi tidak lama kemudian, bapakmu bilang kami tidak usah lagi menyetor gula kepada Pak Wasto. Karena Pak Wasto dicidhuk tentara dan koperasi itu ditutup. Rasanya kami tidak punya firasat buruk sama sekali mendengar berita itu. Malah simbokmu dengen enteng bilang :







“Nggak apa-apa to Pakne. Malahan tidak pakewuh sama Pak Den Projo.”

Tapi ternyata yang terjadi setelah itu tidak seenteng yang kami duga. Tepat dua malam setelah itu, suatu malam, waktu itu bapakmu sedang wiridan di langgar. tibatiba Den Projo datang ke rumah mencari bapakmu. Ketika simbok menyusul bapakmu dan simbah menyilahkan Den Projo masuk, tahulah simbah selain Den Projo, di luar rumah ada dua tentara dan beberapa orang kampung. Simbah bingung, dan waswas. Dan lebih bingung lagi setelah bapakmu datang, dua tentara itu menyeret bapak ldiiringi Den Projo dan orang-orang. Simbokmu menjerit dan bertanya. Lalu DeProjo setengah menghardik setengah menahan, bilang, “ Apa kamju mau di seret juga. Yu, Manut saja dulu. “Si mbah gemetar, simbah bertanya-tanya, “Oalah gusti, lha Sulaiman lha Suliman nggak tahu apa-apa kok.”

Orang-orang bilang Sulaiman itu antek ……….

Orang-orang bilang Sulaiman itu antek ……….

Kami bertanya ke Den Projo keesokan harinya. Dibawa ke mana bapakmu. Den Projo bilang bapakmu dipenjara sementara. Mungkin Cuma sebentar, mungkin lama. Simbokmu lemes ndhuk. Kami masih dalam kandungan lima bulan. Kami menanti…….. menanti ………….. menanti …………… hingga kamu lahir, hingga kamu tumbuh, sampai kini………. Tak pernah bertemu lagi, tak tahun di penjara mana Bapakmu di tahan. Setiap kali kami tanyakan itu ke Den Projo, Den Projo bilang, tunggu saja. Jangan dicari daripada ikut keseret-seret. Kami menanti, menanti, menanti terus dengan gugup dan gelisah. Kuberi nama kau Sumarah karena hanya pasrah jawaban penantian ini.

Begitulah, simbah, simbok, Kang Rohiman, Yu Dasri tak pernah lagi bertemu bapak. Dan saya tak pernah sekali pun melihat wajahnya. Tapi rasanya bayangannya terus menguntit sepanjang hidup saya.

Membuat saya takut mendongak, membuat saya takut bicara, membuat saya kehilangan separuh ruang hidup saya.

Selepas madrasah, kondisi ekonomi simbok tak mengijinkan saya sekolah lagi meski nilai ijazah madrasah saya bagus.

Kang Rohiman dan Yu Darsi kakak saya juga cuma lulusan madrasah. Kira-kira umur 13 tahun, setelah tamat madrasah saya dibawa Lek Ngaisah tetangga saya ke kota bekerja ikut orang jadi babu. Bertahan dua tahun,lalu saya pulang. Saya ingin sekolah lagi. Selama saya bekerja saya mengirimkan uang itu kepada simbok, tapi sebagian lagi saya kumpulkan. Saya ingin sekolah lagi saya tidak ingin sebodoh bapak, simbok, atau simbah. Saya tidak ingin diperdaya orang. Kata orang pendidikan bisa melepaskan diri dari keterjepitan. Dan saya percaya itu. Meski susah payah saya sekolah, sepulang sekolah, saya bekerja jadi buruh urut genting di tempatnya Den Cipto tetangga saya yang juragan genting, untuk membiayai sekolah saya. Dua belas tahun saya habiskan waktu saya untuk mendengarkan guru bicara di kelas, mempercayai teori-teori. Aku hapalkan rumsrumus rumit matematika, cosines, tangent, diferensial. Aku hapalkan teori Archemedes, Lavoisier, Einstein, aku hapalkan dikotil monokotil. Aku hapalkan Undang-undang Dasar 45 dari pembukaan, pasal-pasal hingga ayatayatnya hingga ke titik komanya.
Aku hapalkan berapa luas Indonesia berapa pulau-pulaunya. Yang kata guru saya :

“Indonesia itu negeri yang subur, gemah ripah lho jinawi.”

Saya hapalkan, di Cikotok ada tambang emas, di Tarakan ada tambang minyak, ada tambang nikel, ada hutan, ada bijih besi. Yang kemudian kutahu semua itu memang ada. Tapi bukan milikku. Dan yang paling kuhapal adalah butir-butir Pancasila.


“Kita harus mengembangkan toleransi. Kita harus mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Kita tidak boleh hidup boros. Kita harus musyawarah untuk mufakat. Kita harus begini. Kita harus begitu.

Begitu…….  Begitu…….  Begitu…….  Begitu…….  Begini……. Begitu……

disekolah harus begini eh di luar begitu. Disekolah bukan di luar bukan [bernyanyi] kan bukan….. bukan….. bukan….. kan… bukan….. bukan….. bukan…..

Kenyataannya semua menjadi bukan! Semua teori, rumus, ambyar bubar! Nemku, rapotku, ijazahku macet ketika aku mencari kerja. Ijazahku tak berbunyi apa-apa! Saya ingat betapa susahnya dulu, ketika hanya punya ijazah madrasah. Pilihan pekerjaan yang layak hanya jadi babu. Menjadi pembantu di rumah orang. Bekerja dari subuh hingga larut malam. Mulai dari mencuci, mengepel lantai, memasak, menyuapi anak majikan, menidurkan anak majikan, bahkan pernah disuruh memanjat ke atas genting. Pernah suatu ketika keluarga majikan saya pergi ke luar kota, kesempatan itu saya gunakan untuk tidur istirahat siang. Kesempatan yang tidak pernah saya dapatkan sehari-hari. Tidak saya sadari karena nyenyaknya tidur, hujan turun deras sekali. Seluruh pakaian yang dijemur basah semua, bahkan sebagian terjatuh dan kotor. Saya bingung dan takut. Tapi tak tahu harus berbuat apa. Ketika majikan saya pulang, bukan sekedar amarah, cacian yang saya terima. Tapi juga pukulan dan gaji saya selama dua bulan saya kerja di situ hilang untuk menebus kesalahan saya. Majikan saya mencaci :

“Kecil-kecil kamu sudah belajar menjadi koruptor ya,”

“Saya tidak mengambil uang pak,” jawab saya. Setahu saya koruptor itu orang yang suka mengambil uang yang bukan miliknya.

“Kamu menyalahgunakan kesempatan, mencuri waktu dan kesenangan, yang bukan hakmu. Itu namanya koruptor, tahu?”

Astaghfirullah, lalu majikan saya yang menilep uang gaji yang menjadi hak saya, apa itu bukan koruptor juga. Saya menangis, sedih, sakit, dan kecewa. Lalu saya minggat, dan pulang ke kampong. Saya bodoh, dan kebodohan saya membuat saya diperdaya. Untuk itu saya terus berusaha untuk sekolah lagi. Beruntung sebelum peristiwa itu, gaji saya selalu saya kumpulkan, setelah sebagian saya berikan kepada simbok, sehingga saya mempunyai uang untuk pulang ke kampung. Biarpun susah payah, saya terus sekolah agar nasib saya jadi lebih baik. Tiga ijazah saya punya. Dengan nilai yang cukup bagus. Bahkan nilai NEM SMA saya bagus disbanding teman-teman. Saya bangga sekali karena pernah mengalahkan monster yang paling ditakuti oleh anak-anak sekolah, guru, dan kepala-kepala sekolah seluruh Indonesia, yaitu Ebtanas. Tapi kebanggaan itu runtuh ketika di mana-mana saya terdepak dari pintu ke pintu mencari pekerjaan. Terjegal karena bayangan bapak yang terus menguntit di belakang nama saya.

Bayangan bapak saya menggelapkan nama saya, ketika saya mencari keterangan surat bersih diri terbebas dari ormas terlarang sebagai salah satu syarat mendaftar PNS. Saya ingat betul kata Pak Lurah waktu itu :


“Waduh, ndhuk, kamu itu memahami betul to persoalan ini. Siapa bapakmu. Saya betul-betul tidak berani member keterangan yang kau butuhkan. Gundhulku ndhuk, taruhannya.”

Saya juga ingat betul, kata Mbok Dhe Jumilah, tetangga sebelah rumah,ketika bisikbisik dengan Lek Nok di serambi langgar. Dan meskipun bisik-bisik saya mendengarnya karena saya di belakang mereka.

“Yu, si Sumarah itu ko ya ketinggian Karep” “Ada apa to?”

“Itu mau jadi pegawai kantor. Ya jelas kejegal di kelurahan. Lha wong keturunannya orang bekuan!

Aalah Bapak!! Di mana engkau? Aku ingin kau ada, dan bungkam mulut orang-orang itu. Rasanya aku lebih percaya seperti kata simbok, bahwa engkau baik, tapi lugu dan bodoh. Tapi, ketiadaanmu membuat aku selalu takut dan gugup! Kalau benar bapakku bersalah, lantas apa iya aku, simbok, Yu Darsi, Kang Rohiman harus menanggung dosa itu selamanya. Dikucilkan, dirampas hak-hak kami? Selalu terdepak di negeri sendiri. Demikian, saya menjerit, meraung-raung, dalam bibir yang terkunci.

Saya lalu bekerja di sebuah pabrik tekstil yang baru beroperasi di tetangga desa. Saya mendapat pekerjaan di bagian produksi. Tak mungkin bekerja di bagian administrasi, meski saya punya ijazah SMA dengan nilai bagus pun, surat bersih diri, tak mungkin saya dapatkan sebagai syaratnya. Suatu ketika, saya mendapat kecelakaan ketika tengah bekerja. Tulang tangan saya retak…. Saya di bawah kerumah sakit. Tangan saya digips. Rasanya sakit sekali. Hanya dua hari saya opname di Rumah sakit. Selebihnya disuruh berobat jalan. Tapi uniknya, dari berkas acara pengobatan yang saya tangani, pabrik melaporkan 2 minggu saya dirawat. Dan uniknya lagi saya lalu diberhentikan kerja dengan alasan setelah sakit nanti kerja saya tak lagi sempurna. Dan uniknya lagi, saya tidak mendapat pesangon. Tapi, Kang Rohiman kakak saya rajin membawa saya ke tukang pijat, sehingga tangan saya sembuh. Setelah itu saya bekerja pada seorang juragan beras di kota kabupaten, bernama Bu Jurwati. Semula tugas saya serabutan. Kadang ikut menyeret karung-karung beras, kadang menimbangi beras dan mencatatnya. Lama-lama Bu Jurwati tahu saya dapat menulis pembukuan uang dengan baik. Lalu saya mendapat pekerjaan membukukan seluruh jual beli beras. Tentu saya sangat senang sekali. Pekerjaan itu tidak terlalu melelahkan. Meski kadang-kadang saya juga harus melembur hingga larut malam, terutama pada hari-hari tertentu. Misalny saat tanggal muda. Suami Bu Juwarti, seorang pejabat di kantor kabupaten, saya tidak tahu jabatannya apa. Hanya separoh lebih, jatah beras pegawai dibeli oleh Bu Juwarti. Beras dari gudang Bulog itu bahkan kadang langsung dikirim ke rumah, tanpa dibagikan ke pegawai yang menjual berasnya ke Bu Juwarti. Bu Juwarti juga menampung beras-beras dari proyek sembako. Ceritanya begini, suatu ketika saya kaget sekali karena muncul Pak Lurah Karangsari yang menjual beras ke Bu Juwarti, berkarung-karung. Saya tahu, Pak Lurah punya sawah bengkok, tapi tak mungkin panen sebanyak ini. Lagi pula mutu berasny jelek, apek, dan tidak putih. Lalu saya ingat, sewaktu pulang ke Karangsari, saya tahu simbok mendapat jatah beli beras murah dari kelurahan. Berasnya juga apek dan kekuningan. Tidak salah lagi pasti beras yang dijual Pak Lurah adalah beras pembagian. Pak Lurah kaget, saat bertemu saya pertama kali di rumah Bu Juwarti. Tapi selanjutnya matanya menekan, dan menarik lengan saya, dia berbisik :

“Sum, ini sekedar uang saku untukmu,”

“Pak Lurah menyisipkan beberapa uang ke tanganku. Saya tahu matanya yang menekan itu, mengatakan jangan kau bicarakan hal ini kepada orang-orang. Dari pengalamanku itu, asya jadi tahu, kalau ada beras apek dan kuning, ada dua kepastian, itu beras jatah pegawai atau jatah sembako. Dari bekerja di juragan beras itu, saya berkenalan dengan seorang lelaki, yang kemudian saya jatuh cinta padanya. Namanya Mas Edi, seorang tentara. Yang sering mengantarkan beras-beras jatah pada tentara yang dijual kepada istri komandan Mas Edi. Nah, Mas Edi bertugas mengantarkan beras-beras itu. Cinta saya semakin bersemi, manakala saya tahu Mas Edi juga menaru hati pada saya, rasanya hati saya melambung tinggi sekali. Tapi untuk kemudian terpelanting dan jatuh ke jurang yang curam. Saya tak mungkin meneruskan hubungan cinta saya dengan Mas Edi. Saya tidak mungkin membumikan impian untuk menjadi istrinya. Mas Edi mundur teratur setelah mengetahui sejarah keluarga saya. Sebagai tentara haram jadah jika mempunyai istri seperti saya. Lagilagi bayangan bapak menggelapkan nama saya. Saya terus bekerja di juragan beras itu. Untuk itu saya putuskan berhenti, saya pamit. Saya ingin pergi jauh. Saya ingin lari, mencari tempat di mana bayangan bapak tidak lagi dapat menguntit lagi.

Di tengah gulana itu, simbok suatu sore berkata :

“Sum, apa kamu mau kerja di Arab, Lihat si Konah itu, Pulang dari Arab jadi gedhong magrong-magrong, bisa beli montor, bisa beli kebo. Lihat juga Sunarti anaknya Lek Mariyem. Dua tahun kerja di Arab, pulangnya bisa buka toko kecil-kecilan.

“Saya. Tapi kata-kata simbok mengganggu pikiran saya.

“Mbok, kalau mau pergi ke Arab, gimana caranya Dan mau darimana biayanhya?”

Lalu segala suatunya kami urus, melalui perantara seorang calo, saya dapat mendaftar sebagai seorang TKW, dan segala syarat saya penuhi. Pekarangan simbok peninggalan bapak kontak untuk menyelesaikan semua itu. Dari biaya-biaya administrasi di kelurahan, Depnaker, kantor imigrasi, biro tenaga kerja, sampai biaya tetek bengek yang ternyata panjang betul yang terkait. Saya tahu, saya paham memang harus begitu caranya. Termasuk caranya, saya paham, Pak Lurah akhirnya mau mrmberi saya surat keterangan bersih diri, pertama karena selipan dua ratus ribu, kedua karena kartu asnya di tangan saya masalah bisnis berasnya itu, ketiga, toh saya hanya jadi TKW, apa yang mesti ditakutkan dari seorang Sumarah, anaknya Suliman orang cidukan, bekuan PKI.

Termasuk jufa saya jadi paham betul, menyelipkan lembar-lembar uang agar segalanya jadi cepat beres. Mengurus paspor dengan biaya lebih tiga kali lipat dari harga semestinya. Memberi tip pegawai Depnaker, memberi tip calo, memberi tip anu, memberi tip anu, dan untuk anu… anu…. Anu….


Ooalah mengapa tidak saya sadari sejak dulu, bahwa segala sesuatunya bisa dengan mudah dengan selipan-selipan itu. Jadilah saya, Sumarah binti Suliman jadi TKW lulusan SMA dengan predikat NEM tertinggi, jadi babu di negeri orang. Cosinus, tangent, diferensial jadi mesin cuci. Archimedes jadi teori menyeterika baju. Dikotil, monokotil jadi irama kain pel. Teori pidato menjadi omelan majikan.

Dan…. 13 Pulau …. Dari sabang sampai merauke yang subur makmur gemah ripah loh jinawi lenyap jadi wajan penggorengan di dapur. Ooooo mana…. Mana harum melati, hutan tropis, kupukupu, minyak, emas, rotan, bijih besi??

Oooo mana cerita Pak Kasirin guru madrasah saya tentang pribadi bangsa Indonesia yang adi luhung ramah tamah, kekeluargaan, gotong-royong, tc, etc …

Semua hanya bisa saya beli dengan uang. Di negeri sendiri, saya menjadi rakyat selipan, setengah gelap, tak boleh mendongakkan kepala, dan bicara. Di negeri sendiri saya di depak sana, di depak sini, dikuntitkan baying-bayang bapak yang dihitamkan oleh mereka untuk menggelapkan nama saya. Dan sekarang di negeri orang saya menjadi budak, menjual impian untuk hidup lebih baik. Di negeri orang, saya hanguskan segala cinta saya, seluruh kenangan manis, pahit getir, masa remaja saya. Saya pikir, segalanya jadi berubah. Saya pikir, saya dapat bermetamorfosa dari ulat bulu menjadi kupu-kupu Indah. Tapi ternyata……. SUmarah tetap saja kandas. Di balik jubah-jubah majikan saya, di balik cadar-cadar hitam majikan saya, segala nasib saya kandas ! Saya disiksa, gaji saya setahun hilang untuk tetek bengek alasan administrasi yang dicari-cari, dan bencana itu… dan saya diperkos!!!!
Seperti budak yang hala dibinatangkan.

Bertahun-tahun saya Cuma diselipkan di negeri sendiri. Kepala saya tidak boleh menyembul di tengah kerumunan. Apakah di negeri orang saya masih dimelatakan. Tidak!! Kesadaran itu muncul tiba-tiba. Saya harus mendongakkan kepala, meludahi muka orang yang membinatangkan saya, mengangkat tangan dan meraih pisau tajam untuk kemudian saya masukan mata pisau ke jantung hatinya. Majikan itu saya bunuh. Semuanya! Saya tahu, saya akan menjadi gelap yang sesungguhnya. Bertahun-tahun saya tidak salah tapi disalahkan. Sekarang dengan berani saya berbuat salah. Salah yang sesungguhnya.

Saya sadar, saya akan divonis mati. Saya tidak butuh pembela. Saya tidak butuh penasihat hukum. Tidak usah saya dipulangkan dan diadili di negeri saya. Karena persoalan akan mejnadi jauh lebih rumit. Karena tidak ada yang bisa dihisap lagi dari seorang babu seperti saya, maka saya ragu apakah hukum di negeri saya bisa membela saya.

Dewan hakim yang terhormat, inilah saya. Nama saya Sumarah. Bagi saya perjuangan, harapan, penderitaan, semua buth keberanian. Tapi harapan menjadikan penjara bagi hidup saya. Tidak, saya sekarang bebas dar harapan. Hidup saya penuh ketakutan. Sekarag saya harus berani karena hidup dan mati adalah dua sisi keping nasib. Dan keping kematian yang terbuka di telapak tangan saya, itulah yang harus saya jalani sekarang. Dengan berani! Senang, sakit, dosa, pahala, semua sama. Ada resikonya. Inilah saya, nama Sumarah. Saya siap mati.

Siang itu matahari masih menggeletarkan seluruh dinding kepalaku. Apa yang bisa perempuan itu kisahkan, seperti kaca bening buatku. Di sana aku bisa melihat jelas, sebagian besar otak manusia ada di perut. Perut mampu mengendalikan seluruh proses hidup manusia. Demi perut seorang dapat memutarbalikkan kebenaran. Demi perut seorang dapat menjadi singa bagi orang lain. Menerkam dan menancapkan kuku-kukunya di jantung nasib orang. Demi perut, segala sesuatu bisa bergeser. Kemanusiaan, moral hukum. Demi perut, hukum dapat diputarbalikan. Dan demi perut yang harus diselamatkan terus menganga, meminta, mencari umpan, mengirim sinyal, agar data dimanipulasikan, agar fakta direkayasa, agar di benam kepala orang, agar mulut katakana ya meski kebenarannya tidak. Seorang Suliman meski tidak logis di-PKI-kan, tapi jika membelanya berarti ancaman bagi jabatan, ancaman bagi perutnya, maka tak ada seorangpun yang menepiskan ketakutan untuk membelanya. Kekuasaan itu begitu indah. Sihir mujarab untuk menyumpal perut-perut yang menganga. Aku tahu itu. Karena aku, orang Indonesia.

SELESAI


 


5. KASIR KITA
Karya : ARIFIN C NOER

Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula besarnya. Kasir kita itu bernama Misbach Jazuli

Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi. Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya, tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti wajahnya.

Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya. Tapi tak berhasil.

Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya, maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.

Diletakkannya tasnya

Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara. Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan Supraba selama lima tahun lebih.

Aduh cantiknya.

Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya. Caaaaannnnttiiik.


Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah. Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun saudara tahu bahwa dia seorang janda.

Lesu.

Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor, sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal harmoni adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal. Sempurna.

Menarik napas.

Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di suatu pagi. Segar, segar!

Telepon berdering.

Itu dia! Sebentar (ragu -ragu) Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya: “Sarapan apa kau, Mas” Kemarin, saya menjawab “Nasi putih dengan goring otak Sapi”

Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon

Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo! Meletakkan pesawat telepon Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama sekali.

Tiba-tiba

Oh ya! Jam berapa sekarang?

Gugup melihat arloji

Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya, PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli. Maaf. Sampai ketemu.

Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.

Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.

Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak terganggu meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.

Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas. Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah Jazuli.



Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.

Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku! Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor berhubung pertanggung jawaban keuangan....

Telepon berdering.

Sekarang pasti dia!

Menuju pesawat telepon

Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.

Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia yang selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.

Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang cukup.

Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri. Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan suatu saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu kita berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita telah menjerat lehernya. Beres!

Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?

Telepon berdering lagi.

Pasti isteri saya

Menarik napas panjang

Saya telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya yang menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?

Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan niscaya akan semakin kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu! Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila. Bangsat!

Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya, memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.

Telepon berdering lagi.

Pasti dia.

Mengangkat gagang telepon.

Misbach Jazuli di sini, hallo?

Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.

Inilah ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan aku begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kau memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya semakin berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan!

Meletakkan pesawat dengan marah.

Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-poya, apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!

Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang perempuan, beberapa hari setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes, uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur sebab lumpur itu baru mengenai betis saya. Setengah bulan yang lalu saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan sejak itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis anak-anak saya. Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak seminggu belakangan ini.

Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor saya mengadakan stock opname. Inilah penderitaan itu.

Memandang potret di atas rak buku.

Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan sengsara jiwa ini?

Apabila anak-anak telah tidur semua, dia duduk di sini di samping saya. Dia

membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu saat mata kami bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut: ”Manis, kamu belum mengantuk?” wajahnya yang mentakjubkan menggeleng-nggeleng indah dan indah dan manis sekali . Dia berkata juga dengan lembut: “Aku hanya menunggu kau, mas saya tersenyum dan berkata lagi: “Aku hanya membaca Koran, manis “ Dan lalu ia berkata: “Aku akan menunggui kau membaca Koran, mas”.
Kemudian kamipun sama-sama tersenyum bagai merpati jantan dan betina.

Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan
minyak wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia berkata seraya menengadah, “Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat
jendela kaca kami menyaksikan pekarangan dengan bungabunga yang kabur, dan langit biru bening dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting keranting.

Tiba-tiba ganti nada.

Hah, saya baru saja telah menjadi penyair cengeng untuk mengenang semua itu.

Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya belum menelepon ke kantor

bukan ? Sebentar.

Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.

Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya, ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti batuk

dan pilek. Saudara....
ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa senang sekali
kalau
saudara  sudi
memintakan  pamit  saya  kepada  pak  Sukandar....Terima
kasih...
Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya disebuah restoran?




Nada suaranya naik.

Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya tidak boleh marah, saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada pak Sukandar.

batuk dan menyedot hidungnya lagi

Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.

Meletakan pesawat telepon.

Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri saya lagi? Ah, persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan! Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya, benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka sekaligus. Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak meleset dari pelipisnya.

Nafasnya sudah kacau.

Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya adalah seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan bangga dan he

ooik : Pak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”

Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan tidak mungkin ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu membawa saya ke dalam sebuah sel yang pengap.

Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili. Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada jaksa, kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa mereka pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam.


Bukankah bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?

Saudara pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”

Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara. Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak dan berkaca mata itu.

Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan meratap.

Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah berbuat salah menghukum seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan niscaya dia akan membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.

Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam yang cukup padat seperti padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf. Siapapun tidak boleh mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada berbagai pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.

Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.

“Pembunuh asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.

Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala saya. Betapa! Sampai-sampai saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang merasa bersahabat dengan Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah tokoh pencemburu dalam sebuah drama Shakespeare yang terkenal.

Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan senasib akibat kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.

Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!

Itu dia.

Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.

Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?


Tiba-tiba berubah.

Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya. Saya baru saja marahmarah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.

Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.

Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya, pak?

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.
Meletakan pesawat telepon.

Persetan! Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.

Seakan menusukkan pisau. Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.

Telepon berdering.

Persetan! Sekarang pasti dia.

Mengangkat telepon.

Kasir disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau busuk! Aku bisa mati mendengar katakatamu lewat telepon! Cari saja laki-laki lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang petualang!

Meletakan pesawat telepon.

Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya. Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.

Tapi tak apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun sebaiknya saya makimaki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!
Mengangkat telepon.

Kemana saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)

Lebih baik saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi

Allah, saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis, jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”

Ya, memang saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur. Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh dalam sandiwara ini.

Seperti mendengar telepon berdering.

Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)

Saya kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya sekarang. Mata saya betulbetul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya tidak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup masak mental saya sebagai seorang pembunuh.

Tapi seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik pula seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya bayangkan begitulah suasananya.

Bulan berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi di pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.

Mereka pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya yang dingin, pandangan mata seorang pembunuh.

Untuk beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka bergetaran dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu sempat mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya. Dan pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai, saya akan berkata : Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”

Tiba-tiba pening di kepala.

Tapi kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau mereka bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?

Memukul-mukul kepalanya.

Tuhanku!

Duduk.

Dia melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak : Bungaku.

Saudara-saudara bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya tidak bisa lagi marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada anak-anak yang manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah tidak.

Saya tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak. Saya hanya tahu anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali anak-anak itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena cemburu saya mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?

Balerina-balerina kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.

Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu saya ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata: “Pak, susullah ibu, pak, ke kantorlah, pak.”

Ya, Ita. Ya, Imam.

Malaikat-malaikat kecil itu gaib menjelma udara.

Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya akan mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini. Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun kepada Allah.

Saya tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.

Telepon berdering.

Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.

Telepon berdering lagi.

Jahanam! Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah ini dijual.

Mengangkat pesawat telepon.

Ya, Misbach Jazuli

Tersirap darahnya.

Saudara, jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan, tak salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.

Hallo?..Tentu...Tentu. kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan? Memang saya agak flu dan batuk-batuk.


(akan batuk tapi urung) ...
Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar, kulit-kulit
kacang..ah,  indah  sekali
bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin?
Kau?...Segera?




Lihatlah, niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha??? Saudara, gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap agar nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu itu cuma iseng saja. Ya, tentu..bisa!



Meletakan pesawat dengan kasar.

Jahanam. Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya. Saya sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.



(tiba-tiba) Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang penting saya akan ke kantor meski sudah siang.



Dari kantor saya akan langsung ke masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong semuanya.



Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang. Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu tangan, batukbatuk dan menyedot hidungnya.



Saya influenza, bukan ?

SELESAI



6. MARSINAH MENGGUGAT
Karya : RATNA SARUMPAET


ALAM DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH PERKUBURAN.



MARSINAH SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN, SEORANG BURUH          KECIL            DARI  SEBUAH PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA TIMUR, TANGGAL 9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DI HUTAN JATI DI MADIUN.      



DARI  HASIL PEMERIKSAAN OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN MALANG INI DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN DENGAN MENGGUNAKAN BENDA TAJAM.



KASUS KEMATIAN PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN YANG TINGGI    YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN.   TAPI            PADA SAAT  BERSAMAAN BERBAGAI PELECEHAN  JUGA  TERJADI  DALAM  PROSES  MENGUNGKAP  SIAPA PEMBUNUHNYA. SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN APA-APA, KASUS UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP  PANJANG,     DAN            SEKARANG., SETELAH     MARSINAH SEBENARNYA  SUDAH  MENGIKHLASKAN  KEMATIANNYA  MENJADI KEMATIAN  YANG  SIA-SIA,  TIBA-TIBA  SAJA  KASUS  INI  DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL ITU MARSINAH SANGAT TERGANGGU, DAN      MEMUTUSKAN            UNTUK MENENGOK         SEBENTAR  KE ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA            SEBUAH ACARA PELUNCURAN SEBUAH          BUKU YANG DI       TULIS BERDASARKAN            KEMATIANNYA. INILAH UNTUK PERTAMA KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN.           KAWAN-KAWAN     SENASIB        DI        ALAM KUBUR TAMPAKNYA            KEBERATAN. DAN DARI  SITULAH MONOLOG         INI DIMULAI.



__________________________________________________________________



__  ADA  SUARA-SUARA  MALAM.   PERTUNJUKAN INI  TERJADI DI SEBUAH PERKUBURAN. MARSINAH TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH BALE,  GELISAH.  DIA  TERTEKAN,  RAGU  AKAN  KEPUTUSAN  YANG DIBUATNYA.



Kalau saja dalam kesunyian mencekam yang dirasuki hantu- hantu ini aku dapat merasakan kesunyian yang sebenar-benarnya sunyi. Kalau saja dalam kesunyian ini aku dapat menutup telingaku dari pekik mengerikan, raung dari rasa lapar, derita yang tak habis-habis. Kalau saja sesaat saja aku diberi kesempatan merasakan betapa diriku adalah milikku sendiri....



DIKEJAUHAN,  TERDENGAR  SUARA  ORANG-ORANG  YANG SEDANG MEMBACAKAN            AYAT-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA TERASA SEMAKIN DEKAT DAN SEMAKIN ENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT PERLAHAN, MURUNG.



Apa gerangan kata Ayahku tentang waktu yang seperti ini.... Kejam rasanya seorang diri, diliputi amarah dan rasa benci. Tersekap rasa takut yang tak putus-putus menghimpit..... Ketakutan yang tak bisa diapa-apakan..... Tidak bisa bunuh, atau dilawan.....

MARSINAH  SEPERTI  MENDENGAR SUARA-SUARA   DARI   MASA

LALUNYA,  SUARA-SUARA  DERAP SEPATU, YANG MEMBUATNYA GUSAR.

Suara-suara itu.... Dia datang lagi.... Seperti derap kaki seribu serigala menggetar bumi.... Mereka datang menghadang kedamaiku..... mereka mengikuti terus.....

Bahkan sampai ke liang kubur ini mereka mengikutiku terus.... Kalau betul maut adalah tempat menemu kedamaian..... Kenapa aku masih seperti ini? Terhimpit

ditengah pertarungan-pertarrungan lama....
Kenapa pedih dari luka lamaku masih
terasa menggerogoti hati dan perasaanku......
Kenapa amarah dan kecewaku masih
seperti kobaran api membakarku ?


TERDENGAR SUARA SESEORANG NEMBANG, LIRIH..... TEMBANG ITU

SESAAT  SEOLAH  MENGENDURKAN  KETEGANGAN  MARSINAH.  DIA

BICARA, LIRIH.

Dengan  berbagai  cara  nek  Poeirah,  nenekku,  mengajarkan  kepadaku  tentang

kepasrahan.....
Dia mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi anak yang menerima
dan pasrah......
Pasrah itu yang kemudian menjadi kekuatanku..... Yang membuatku

selalu tersenyum menghadapi kepahitan yang bagaimanapun. Kemiskinan keluargaku yang melilit...... Pendidikanku yang harus terputus ditengah jalan.....

Perempuan ini jugalah yang mengajarkan kepadaku betapa hidup membutuhkan kegigihan...... Tapi kegigihan seperti apa yang bisa kuberikan sekarang...... Pada saat mana aku sudah menjadi arwah seperti ini, dan mereka masih mengikutiku terus ?

Sulit mungkin membayangkan bagaimana dulu kemiskinan melilit keluargaku......

Bagaimana setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling menjajakan kue bikinan Nenekku, demi seratus duaratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-anak sebayaku. Kebahagiaan masa kecilku hilang...... Tapi aku ikhlas...... Karena dengan uang itu aku bisa menyewa sebuah buku dan membacanya sepuas- puasnya.

Berupaya meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan..... Merindukan kehidupan

yang lebih layak.... Berlebihankah itu ? Memiliki cita-cita.....
Memiliki harapan-
harapan.....
Berlebihankah  itu  ?  Lalu  kenapa  cita-citalah  yang  akhirnya




memperkenalkanku pada arti kemiskinan yang sesungguhnya. Kenapa harapan-harapanku justru menyeretku berhadapan dengan ketidak berdayaan yang tak terelakan ?

DERAP  SEPATU  DARI  MASA  LALU  ITU  KEMBALI  MENGGEMURUH MEMBUAT MARSINAH KEMBALI TEGANG.

Itulah kali teakhir aku datang ke Nganjuk. Ketika Nenekku, tidak seperti biasanya, berkeras menahanku. Dia bicara banyak tentang firasat. Aku tahu dia membaca kegelisahanku...... Tapi aku terlalu gusar untuk menggubris nasehat-nasehatnya.....



Dan sampai akhirnya aku meningggalkan Nganjuk, aku tidak pernah menjelaskan

kepadanya, kenapa saat itu Sidoarjo menjadi begitu penting untukku.....

MARSINAH MENDADAK SEDIH LUAR BIASA.

Apa yang harus kukatakan ? Apa yang dimengerti perempuan tua itu tentang hak bicara ? Tentang pentingnya memperjuangkan hak? Dia hanya mengerti turun ke sawah sebelum matahari terbit, dan meninggalkannya setelah matahari terbenam, karena perut tiga orang cucu yang diasuhnya harus selalu terisi.

MARSINAH MULAI GUSAR HALUS, SUARA-SUARA DI MASA LALUNYA DULU MULAI MENGIANG DITELINGANYA.

Barangkali  kalian  menganggap  apa  yang  kulakukan  ini  tidak  masuk  akal.....

Barangkali kalian menganggapnya perbuatan sinting.... Tapi aku harus pergi......

Dengan atau tanpa kalian, aku akan pergi..... Setelah empat tahun lebih aku merasa mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali mengungkitungkit kematianku. Kematian Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah tidak ada hubungannya dengan pemogokan buruh. Kematian Marsinah berlatar belakang balas dendam.Dan hari ini, sebuah buku yang ditulis atas kematianku, diluncurkan. Gila !

Aku ? siapa aku ? Seorang perempuan miskin yang dimasa hidupnya tidak punya

kemampuan membeli sebuah bukupun untuk dibaca atau dibanggakan.....

Apa yang mereka inginkan dariku? Mereka menggali tulang-tulangku. Dua kali mereka membongkar kuburanku, juga untuk sia-sia, terkontaminasi..... Bangsat! Ini mungkin bagian yang paling aku benci. Mereka selalu menganggap semua orang bodoh. Mereka selalu menganggap semua orang bisa dibodohi.

HENING LAGI.....

Tapi itulah mungkin betapa aku, kita-kita ini, sesungguhnya adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang dipilih untuk sebuah rencana besar, dan sekaranglah saatnya. Pada saat kita sudah tidak eksist. Pada saat kita sudah tidak mungkin dibunuh karena kita toh sudah terbunuh. Mereka boleh dongkol atau mengamuk sekalian mendengar apa yang kita ucapkan. Tapi menggebuk kita ? Masa arwah mau digebuk juga ?

SUARA -SUARA MASA LALU ITU KEMBALI TERDENGAR. BEBERAPA SAAT       MARSINAH            TAMPAK        TEGANG       DAN TERGANGGU,            TAPI  DIA MELAWANNYA. MELANGKAHSATU-SATU, IA MENGADAHKAN MUKANYA BICARA PADA SUARA-SUARA YANG MENGGANGGUNYA ITU.

Suara-suara itu.... Mereka mengikutiku terus..... Aku tahu mereka akan menggangguku lagi. Aku tahu mereka akan terus menggangguku. Aku tidak takut dan aku tidak akan berhenti..... Aku akan berdiri ditengah peluncuran buku itu, dan aku akan menghadapi mereka disana.

Algojo-algojoku..... Orang-orang yang dulu begitu bernafsu menghabisi hidupku. Berbaur dengan mereka yang dengan gigih telah berusaha menegakan keadilan atas kematianku. Lalu aku akan menikmati bagaimana mereka satu demi satu berpaling menghindari tatapanku, atau menundukkan kepala; atau lari lintang pukang di kejar dosanya sendiri. Dan sebuah peluncuran buku yang lazimnya dipenuhi tawa, tepuk tangan dan sanjungan itu akan berubah menjadi sebuah upacara mencekam, Marsinah, muncul menggugat' Belati berlumur darah itu muncul didepan matamu, setelah sekian lama kau mengira, kau telah berhasil melenyapkannya dari tuntutan keadilan.

KETIKA SUARA-SUARA  DI  MASA  LALU  ITU  MEREDA, MARSINAH

JUSTRU TAMPAK SEMAKIN MURUNG DAN GUSAR. IA MENJATUHKAN

TUBUHNYA DILANTAI, LETUH. IA BICARA SEPERTI PADA DIRINYA SENDIRI.

Aku melihat begitu banyak tangan berlumuran darah.....Aku melihat bagaimana keserakahan boleh terus berlangsung, para pemilik modal boleh terus mengeruk keuntungan, para Manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama diatas setiap tetes keringatku. Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka mulutnya menuntut kenaikan upah ? Nyawanya akan terenggut.

Dan sekarang lihat bagaimana mereka menjadikan kematianku bagai jembatan emas demi kemanusiaan; Demi ditegakkannya keadilan; Demi perbaikan nasib buruh.

MARSINAH TERTAWA, GETIR.

Memperbaiki nasib buruh.... Dari 1500 menjadi 1700, dari 1700 menjadi 1900....

Satu gelas teh manis dipagi hari, satu mangkok bakso disiang hari, lalu satu mangkok lainnya di malam hari. Itu takaran mereka tentang kebahagiaan seorang buruh, yang dituntut untuk memberikan seluruh tenaga dan pikirannya, tanpa boleh mengeluh.

Mereka bermain diantara angka-angka. Mereka tidak pernah mempertimbangkan apakah sejumlah angka mampu memanusiakan seorang buruh. Dan mereka menepuk dada karena itu.

Memperbaiki nasib buruh.... Mana mungkin kematian seorang buruh kecil seperti diriku mampu memanusiakan buruh di tengah sebuah bangsa yang sakit ?

SUARA     DARI    MASA     LALU     ITU    KEMBALI MENGHENTAK,

MENGEJUTKAN MARSINAH. TAPI DIA TIDAK TAKUT.

Aku tidak takut. Aku tidak takut. (KE KAWAN-KAWANNYA) Aku tidak takut. (KE SUARA-SUARA) Aku bisa mempertanggung jawabkan semua itu..... Masa hidupku yang terhempas-hempas yang terus - menerus dihantui rasa takut bisa mempertanggung jawabkan semua itu.

Kematianku yang menyakitkan. Tulang-tulangku yang remuk; darahku yang berceceran membasahi tumit kalian ....... Bisa mempertanggung jawabkan semua itu. Bangsa yang bagaimana yang kalian harapkan aku menyebutnya? Aku mengais-ngais mencari sesuap nasi disana. Sambil terus-menerus tersandung-sandung, dikejar-kejar gertakan dan ancaman-ancaman kalian. Aku disiksa disana.....  Aku  diperkosa  disana,  dibunuh  dengan  keji.....  Begitu  kalian  telah mematikanku. Begitu kalian merenggut seluruh hak hidupku......

Bangsa yang bagaimana kalian pikir aku menyebutnya? Bangsa yang bagaimana?

KETIKA  SUARA  DARI  MASA  LALU  ITU  MENGHILANG,  MARSINAH

LAGI- LAGI GUSAR. IA DUDUK SAMBIL MEMELUK KEDUA LUTUTNYA, SEPERTI MERINGKUK.

Apa sebenarnya yang sedang kulakukan ini ? Aku kembali mengorek luka itu....

Tuhan, ini menyakitkan. Tidak ! Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak akan melakukan ini. Tidak ! Persetan dengan sebuah buku yang terbit. Persetan dengan calon-calon korban yang sekarang ini mungkin telah berdiri ditepi liang lahat dan segera akan menelannya. Aku arwah, dengan air mata yang tak habis-habis.... Arwah yang terus menerus gusar digelayuti beban lama..... Apa yang bisa kulakukan ? Tidak !

MARSINAH KEMBALI MENENGADAHKAN KEPALA, SEPERTI BICARA PADA SUARA-SUARA ITU.

Sampaikan pada mereka, Marsinah tidak akan datang! Marsinah yang lemah.....

Yang lemah lembut.....
Perempuan miskin yang tak berdaya dan tidak tahu apa-
apa.....
Tidak! Dia tidak akan datang. Dia akan menunggu hingga peradilan agung




itu tiba, dan dia akan berdiri disana sebagai saksi utamanya.

SUASANA TIBA-TIBA BERUBAH, CAHAYA MENJADI MERUANG.

MARSINAH BANGKIT HERAN.

MARSINAH BERPUTAR MENGAMATI SEKELILINGNYA.

Aku disini sekarang..... Sebuah ruangan yang megah..... Dan disini, sekelompok

manusia berkumpul.....

MARSINAH SURUT KE BALE, MENGAMBIL SELENDANGNYA.

Aku akan menghadapi ini dengan sebaik-baiknya.....Aku akan membuat mereka terperangah. Aku akan mengecohkan mereka dari setiap sudut yang tidak mereka duga sama sekali.

MARSINAH  BERGERAK  KE  HADAPAN  HADIRIN,  SAMBIL  MENATAP SEKELILING.

Aku disini sekarang.....

TATAPAN MARSINAH TERHENTI PADA SATU KELOMPOK HADIRIN.

Dan  kalian..... Aku  mengenali  betul  siapa  kalian.....  Sebuah  generasi,  yang

seharusnya ceria dan merdeka, duduk disini dengan tatapan mengandung duka......

MARSINAH BERGERAK KEARAH KELOMPOK ITU.

Demi Tuhan. Bagiku, kalian adalah fakta paling menyakitkan. Kemarahan kalian itu adalah kemarahanku dulu. Harapan dan cita-cita kalian itu adalah harapan dan cita-citaku dulu. Citacita yang terlalu sederhana sebenarnya untuk mengorbankan satu kehidupan. Satu saat, ditengah sebuah arak-arakan, aku menyaksikan kalian menengadahkan muka ke langit, marah..... Dengan mulut berbuih, kalian memekik menuntut perubahan Setiap kali aku melihat kalian meronta seperti itu, perasaanku terguncang. Aku ingin sekali berkata, "Jangan!"

Aku adalah korban dari kemarahan seperti itu. Dan tidak satupun dari kita bisa mengelak, kalau kematianku adalah lambang kematian kalian. Lambang kematian sebuah generasi. Kematian dari setiap cita-cita yang merindukan perubahan.

MARSINAH     BERHENTI   BEBERAPA   SAAT     SEPERTI SEDANG

MENJERNIHKAN PIKIRANNYA. IA LALU MENATAP KELANGIT, DAN MULAI BICARA.

Kalian mungkin tidak akan memahami ini ...... Tapi aku ya. Aku memahaminya betul. Didalam matiku aku telah melakukan perjalanan mundur. Sebuah penjelajahan berharga yang kemudian membuka mataku tentang berbagai hal.

Dari situ aku jadi tahu banyak..... Aku jadi tahu kalau dunia dimana dulu aku dilahirkan; Dunia yang kemudian dengan dingin telah merenggut hak hidupku; adalah dunia yang sakit, sakit sesakit-sakitnya. Dunia dimana kebenaran-kebenaran dibungkus, dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur dalam-dalam......

Didunia seperti itulah aku dibungkam. Tidak cukup hanya dengan gertakan, dengan penganiayaan dan pemerkosaan yang dengan membabi buta telah mereka lakukan. Untuk yakin mulutku tidak lagi akan terbuka, mereka mencabut nyawaku sekaligus.

Sekarang, apa yang harus kukatakan pada kalian? Aku tahu menolak adalah hak kalian. Hak paling azasi dari setiap umat. Tapi lihat, pelajaran apa sekarang yang kalian peroleh dari apa yang aku alami?

MARSINAH   MENGAMBIL   SEBUAH   KORAN,   LALU MEMBUKA-
BUKANYA, SESAAT.

Kalian pasti tidak bisa membayangkan seberapa banyak kebenaran yang aku ketahui, yang seharusnya kalian ketahui karena sebagai warga masyarakat kalian berhak untuk itu. Aku tidak membaca apa-apa disini. Berita yang kalian dapatkan hanya berita yang boleh kalian dapatkan, bukan yang berhak kalian dapatkan. Itu sebab kalian baru heboh setelah kebakaran hutan merambat kemana-mana dan mulai menelan korban. Sementara aku.....

Aku sudah mengetahui semua itu lama sebelum api pertama disulut. Aku tahu siapa yang menyulut api, dan aku tahu persis kenapa. Semua kalian heboh membicarakan kebakaran hutan. Semua kalian marah dan resah..... Koran-koran, seminar-seminar, pertunjukanpertunjukan kesenian meradang membicarakan kebakaran hutan, seolah kebakaran hutan itu bencana yang datang begitu saja dari langit dan hanya mungkin ditangiskan pada Tuhan. Kehebohan yang tak bertenaga dan tak punya gigi.....

MARSINAH MEMBACA KORAN

Pemulihan kondisi moneter akan terus diupayakan. Jangan aku dikultuskan..... Tapi

bukan berarti aku menolak untuk dikultuskan..... Namun, renungkanlah..... Waou....



MARSINAH  MELEMPAR  KORAN  ITU  KASAR.  TAPI  TIBA-TIBA  JADI TERPERANJAT ATAS ULAHNYA.

Sebentar! Apakah diruangan ini ada intel atau aparat? Alhamdulillah..... Dan tolong dicatat baik-baik. Marsinah sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menggugat. Dia hanya takjub..... Rakyat yang mana yang sempat memikirkan pemulihan kondisi moneter? Apa yang mampu mereka pikirkan dengan perut melilit? Mereka terseok-seok terancam kelaparan. Pikiran dan perasaan meraka tercekam mendengar ratusan orang mati karena kelaparan justru ditempatkan dimana uang sedang terus ditambang.

Didunia seperti itulah kalian dilahirkan. Dunia dimana serigala-serigala berkeliaran mengejar nama dan kemuliaan, dan untuk itu kebodohan dan kelaparan kalian penting terus dipertahankan. Dunia dimana kemiskinan kalian dijadikan aset penting, demi lahirnya seorang Pahlawan, Pahlawan Pengentasan Kemiskinan.

Didunia seperti itulah kalian tumbuh sebagai generasi penerus. Dunia dimana diatas pundak kalian masa depan sebuah bangsa dipercayakan, sambil pada saat yang sama, kedalam rongga hidung kalian serbuk yang mematikan akal sehat, terus menerus ditiupkan. Generasi tumbal..... Generasi yang malang....

MARSINAH MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH LAIN.

Lalu kalian.... Entah apa yang aku katakan pada kalian? Terus terang, berhadapan dengan kalian adalah bagian yang paling aku takutkan. Lengan kananku biru kejang-kejang dicengkram dengan kasar oleh seorang satpam yang mencoba menjaili izin haidku dengan merogoh kasar celana dalamku.

Berminggu-minggu si Kuneng, buruh dibawah usia itu dibelenggu rasa takut ketika satpam lain dengan kasar meremas susunya yang belum tumbuh, yang masih melekat ditulang rusuknya. Satpam-satpam itu sama melaratnya dengan kami. Sama menderitanya. Hanya karena mereka laki-laki dan punya pentungan.....

Mereka merasa berhak ikut-ikutan melukai kami...... Ikut-ikutan memperlakukan kami bagai bulan-bulanan. Tapi bukan Subiyanto.

Bagi kami Subiyanto adalah kekecualian. Subiyantolah yang membawa Kuneng ke ahli jiwa, ketika perempuan itu satu saat betul-betul terguncang. Dia mencari pinjaman kesana kemari untuk itu. Bagi kami Subiyanto selalu menjadi pelindung.... Dan dia dituduh sebagai salah satu pembunuhku ? Gila..... Lalat hinggap dimakan malamnya dia tidak akan mengusirnya. Itulah Subiyanto.

MARSINAH MEMBUANG PANDANGANNYA, JAUH. SINIS.

Aku menyaksikan bagaimana Lembaga Peradilan berubah menjadi lembaga penganiayaan. Aku menyaksikan bagaimana saksi-saksi utama dibungkam, dilenyapkan..... Menyaksikan saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.... Dan Subiyanto ada disana..... Lelaki berhati lembut itu disiksa disana. Dianiaya, ditelanjangi, disetrum kemaluannya, dan dipaksa mengakui telah ikut membunuhku. Mereka menciptakan cerita-cerita bohong; Mereka memfitnah; Mereka menghakimi orang-orang yang tidak pernah ada.


Kalian semua tahu itu bohong. Kalian tahu persis itu rekayasa. Aku tahu kalian akhirnya berhasil membebaskan Subiyanto dari rekayasa sinting itu. Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana mungkin nyawaku lepas begitu saja dari tubuhku tanpa seorang pelaku?

Apa yang akan kalian katakan tentang itu? Bahwa Hukum itu gagap? Bahwa Lembaga Peradilan itu gagap? Bahwa diatas meja, dimana mestinya ditegakkan disitulah, uang, darah dan peluru lebih dahulu saling melumuri? Demi Tuhan. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kelak kalian akan mempertanggungjawabkan itu pada anak cucu kalian..... Lembaga Peradilan adalah harapan terakhir bagi orang-orang kecil seperti kami. Satu-satunya tempat yang seharusnya memberikan pada kami perlindungan. Tapi apa yang kami dapatkan? Apa yang kami dapatkan?

MARSINAH TIBA-TIBA BERHENTI, MENGALIHKAN TATAPANNYA KE ARAH LAIN.

Nanti dulu. Aku seperti menyaksikan sebuah pemandangan bagus.

MARSINAH MENGAMBIL TEROPONG DARI MEJA PERLENGKAPANNYA, UNTUK BISA MELIHAT DENGAN JELAS.

Bukankah bapak yang duduk di pojok itu adalah seorang anggota DPR? Atau.....

Janganjangan, beliau ini adalah anggota DPR dari Partai terlarang itu? Hm.... Lagi-lagi Kuneng.... Lagi-lagi perempuan malang itu mengingatkanku betapa menyakitkannya menjadi orang tak berdaya. Satu tahun Kuneng berhasil menunda pengosongan kampung Ijo itu. Kampung dimana Orangtuanya memiliki sepetak kecil tanah yang dibeli dengan cara cicilan.

Bulak-balik Kuneng ke kantor DPR. Dia yakin betul para wakil Rakyat itu mampu membelanya memperoleh ganti rugi yang lebih layak. Satu hari, sepulang kerja, Kuneng terperangah kecewa. Kampung Ijo itu sudah rata digilas traktor. Kuneng akhirnya mati gantung diri. Dan sampai akhir hayatnya dia tidak pernah memahami permaianan apa sebenarnya yang terjadi diatas semua perkara itu.

Sejak itu, setiap kali gedung raksasa di Jakarta itu disorot dilayar kaca, hatiku geram. Katanya gedung itu gedung rakyat. Katanya di gedung itu nasib rakyat dibela. Tapi apa yang menimpa Kuneng, bagiku cukup untuk tidak percaya pada apapun yang terdapat di gedung itu. Katakanlah nasib kami sebagai buruh tidak ada dalam catatan. Tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat yang membutuhkan pembelaan.....

Tapi aku menyaksikan bagaimana harkat orang-orang dirampas, menyaksikan rumah-rumah digusur; Ibu-ibu menangis, anak-anak kucar-kacir kebingungan.....

Aku bahkan menyaksikan bagaimana popor senapan mengamuk merenggut nyawa dan harga diri. Dan gedung raksasa itu tidak berbuat apa-apa selain bungkam.

Dan bapak.... Bapak duduk disini, ditengah peluncuran sebuah buku yang ditulis atas kematian seorang buruh kecil, karena ketidakmampuan kalian membela nasibnya. Demi Tuhan.... Aku ingin sekali tahu, apakah kesadaran Bapak hadir disini merupakan hasil proyek pembekalan yang menghebohkan itu?



MARSINAH MENINGGALKAN PAK DPR, BICARA PADA HADIRIN.

Kalian lihat itu? Bungkam. apa aku bilang? Wakil rakyat itu, mestinya dibekali Rakyat, bukan sebaliknya.

DERAP SEPATU ITU KEMBALI TERDENGAR. MARSINAH SADAR DIA SUDAH HARUS MENYELESAIKAN TUGASNYA. IA SURUT PERLAHAN. MENDADAK TATAPANNYA BERUBAH, GELAP, GERAM.

Sebuah buku ditulis atas kematianku.... Lalu diluncurkan.... Lalu kalian semua hadir disini menunjukan keprihatinan. Keprihatinan apa? Kalau ada yang berhak untuk prihatin disini, aku. Akulah perempuan malang itu.... Aku Marsinah....

Demi Tuhan, aku ingin sekali bertanya, "Apa sebenarnya yang kalian pikir telah kalian perbuat untukku"? Penghargaan-penghargaan itu? Buku yang diterbitkan itu? Atau jerih payah yang kalian berikan untuk menjadikanku seorang Pahlawan? Aku tidak pernah bercita-cita jadi Pahlawan.

MARSINAH  TERSENDAT OLEH  KEMARAHAN YANG MENDADAK MENDESAKNYA.

Aku nyawa yang tersumbat..... Aku kehidupan yang dihentikan dengan keji hanya karena aku mengira aku punya hak untuk mengatakan tidak.... Hanya karena mengira aku berhak untuk punya harapan, Berhak punya jiwa dan raga.....

Memperjuangkan sesuap nasi untuk tidak terlalu lapar, Memperjuangkan sedikit tambahan uang untuk meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan. Aku menyaksikan kawan-kawanku di PHK dibawah ancaman moncong senjata. Dan aku mencoba membelanya..... Aku hanya mencoba membelanya.... Dan karena itulah aku dianggap berbahaya dan layak untuk dibunuh.

Kalian tahu apa  sebenarnya  yang paling menyakitkan  dari  semua  itu?  Kalian

membiarkan  dan  menerimanya  sebagai   kebenaran..... Kebenaran  sinting.....

Kebenaran yang tidak bisa disentuh atau diapa-apakan.....

Kekuatan apa kira-kira yang mampu meremukkan tulang kemaluan seorang perempuan hingga merobek dinding rahimnya, kalau bukan kebiadaban?

SUARA-SUARA MASA LALU ITU KEMBALI MENYERGAP MARSINAH. IA TIBA-TIBA PANIK, SEOLAH SELURUH PENGALAMAN PAHIT DIMASA LALU ITU MENDADAK KEMBALI KEDALAM TUBUHNYA. IA BERPUTAR....

Aku ingat betul bagaimana rasa takut itu menyergapku, ketika tangan-tangan kasar tiba-tiba mengepungku dari belakang, mengikat mataku dengan kain, kencang, lalu mendorongku masuk kesebuah mobil, yang segera meluncur, entah kearah mana.....
Tidak ada suara..... Aku tidak tahu seberapa jauh aku dibawa..... Tapi aku ingat betul ketika mobil itu berhenti, aku didorong keluar kasar sekali. Aku diseret, asal..... Aku tidak ingat seberapa jauh aku diseretseret seperti itu. Aku hanya ingat tubuhku menggigil keras didera oleh rasa takut yang dahsyat.

Aku kemudian mendengar sebuah pintu dibuka tepat dihadapanku. Aku tidak tahu apakah kepalaku membentur tembok atau sebuah pentungan telah dipukulkan kekeningku. Aku hanya tahu aku tersungkur dilantai..... Ketika aku mencoba bergerak, beberapa kaki bersepatu berat dengan sigap menahanku, menginjak kedua tulang keringku, perutku, dadaku, kedua tanganku....

Kata-kata kotor berhamburan memaki, mengikuti setiap siksaan yang kemudian menyusul. Aku tidak tahu berapa kali tubuhku diangkat, lalu dibanting keras.

Diangkat lagi, lalu dibantinglagi....
Kelantai.....
Kesudut meja....
Ke kursi
.... Sampai
akhirnya aku betul-betul tak berdaya.....



Kebiadaban  itu  tidak  mengenal
kata  puas.....
Aku  bahkan
sudah
tidak  bisa

menggerakkan ujung tanganku ketika dengan membabi buta, mereka menggerayangi seluruh tubuhku.

MARSINAH KEMBALI TERSENDAT, GUGUP.

Tuhan! Hentikan ini..... Aku merintih dalam bathinku..... Aku meronta. Aku terus meronta..... Aku berteriak-teriak sekuat tenaga meski aku tahu suaraku tidak akan terdengar. Suaraku bertarung melawan kain yang disumpal dimulutku. Mulut dan

rahangku seakan terkoyak. Aku terus melawan..... Terus..... Sampai aku akhirnya

kehabisan semuanya..... Suaraku.... Tenagaku..... Semua.....

Aku biarkan mereka melahapku sepuas-puasnya.Aku biarkan tulang-tulangku diremukremukkan.

Dan.....

MARSINAH TERSENDAT LAGI. TUBUHNYA BERGETAR KERAS.

Dan sebuah benda, besar, tajam, keras..... Yang aku tidak mampu membayangkan,

apa.... Dihunjamkan menembus tulang kemaluanku.....

MARSINAH  MENJATUHKAN  TUBUHNYA.  IA  BERGERAK  SETENGAH

MERAYAP.

Tuhan, kenapa? Kenapa aku ? Aku ingin sekali menangis, tapi aku tidak mampu.

Aku terlalu remuk bahkan untuk meneteskan setetes air matapun. Darah.....
Aku
melihat darah dimanamana. Darah itu menghitam dan kotor..... Kotor sekali.....
Dia
melumuri perutku.....
Melumuri kedua pahaku bagian dalam. Berceceran dilantai;




Belepotan dipintu, dikaki meja..... Dimanamana..... Itulah saat-saat paling akhir aku bisa merasakan sesuatu. Sesuatu yang terlalu menyakitkan. Sesuatu yang

menakutkannya.....
Yang  kebiadabannya.....

Demi
Tuhan,  tidak  layak  dialami
siapapun.....





Aku merasa hina......
Aku merasa kotor.....
Dan aku sendirian
.....Aku betul-betul
sendirian......





Aku berusaha mengangkat tubuhku mencari
...... Entah apa.....
Entah siapa yang
kucari? Nenekku Poerah dan adik-adikku? Ayahku
....Kawan-kawanku? Dimana
kawan-kawanku? Dimana kalian waktu itu?




Tuhan, kenapa......
Kenapa kau biarkan kebiadaban merobek-robek kesucianku?

Kenapa kau biarkan ketidakadilan menggerayangi harkat dan kehormatanku? Kau ajarkan kepadaku tentang cinta..... Tapi kau biarkan buasnya keserakahan



merampas hakku memilikinya......
Kau beri aku rahim......
Kau janjikan kepadaku
tentang  mukjizat-mukjizatnya.....
Tapi  kenapa  kau
biarkan  ia  remuk  oleh
menakutkannya kekuasaan. Kenapa? Kenapa?


DENGAN SANGAT BERAT  MARSINAH  BANGKIT. DIA BERGERAK SEMPOYONGAN SEOLAH IA BARU SAJA DIPERKOSA.

Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa, lalu mencoba berzikir.....

Tapi  ketika  aku  hendak  membuka  mulutku                 memanggil asmanya....  Tuhan....

Mulutku terasa kelu... Aku merasa tidak layak..... Aku merasa terlalu kotor..... Kotor

sekali......

Aku lalu mulai menghitung.... Satu, dua, sepuluh, seratus,...... Terus..... Aku terus menghitung.... Enam ribu. Tujuh ribu. Sepuluh ribu...... Aku ingin sekali dapat melupakan ketakutanku. Aku ingin sekali dapat membunuh perasaan jijik yang

menyerangku, tapi aku tidak berhasil......
Dalam keadaan remuk, aku berusaha keras
untuk bangkit, lalu mulai berputar......




MARSINAH MULAI MEMUTAR TUBUHNYA, PELAN, SAMPAI MENJADI
KENCANG. Aku berputar......





Aku terus berputar.....
Berputar.....
Berputar...... Berputar,......

MARSINAH  TERSUNGKUR  JATUH,  HENING.  TERDENGAR  SUARA
MEMBACAKAN LA ILLAH HA ILLALLAH (KOOR)

Aku  rayakan
kegilaanku
pada
penderitaanku
yang  tak  tertahankan....
Aku
pertontonkan
dalam
pesta
dosa
dan
kenistaan
.....  Aku  nyalakan  bara
dalam

dadaku..... Aku biarkan asapnya mengepul dari setiap pori-poriku..... Api mengaliri

pembuluh darahku..... Api nafas didalam paru-paruku..... Seluruh diriku hangus,

terbakar oleh kebencianku pada ketidak adilan.....

CAHAYA VERTIKAL MENIMPA KERAS TUBUH MARSINAH. MARSINAH

MENGULURKAN TANGANNYA DAN MERAUP TANAH DISEKITARNYA

KE DALAM GENGGAMAN, BICARA LIRIH. DIKEJAUHAN, SESEORANG

MEMBACAKAN

" Yaa ayyatuhan nafsul...." Tanah..... Tanah ini.... Tanah yang dulu memberiku kehidupan dan harapan, kini menyatu dengan daging dan tulang-tulangku Kini, aku adalah tanah dan debu sekaligus.

MARSINAH MERAYAP UNTUK MENCAPAI BALE DAN MULAI BICARA

dimana kekuasaan adalah segalanya. Sebuah Bangsa dimana apapun halal, demi kekuasaan.

Namun, kepadamu semua aku ingin mengingatkan! Kalian telah membiarkan kehidupanku terenggut. Jangan kalian biarkan ia terenggut sia-sia..... Menemukan siapa pembunuhku yang sesungguhnya, bagiku tidak lagi berarti apa-apa.

Namun, dengan sangat aku memohon, setidaknya, demi kawan-kawanku, " Temukanlah"!!!..... Jauhkan mereka dari tangan-tangan kotor! Selamatkan mereka dari ketamakan orang-orang yang dengan pongah menganggap dirinya pemilik negeri ini,

Ketahuilah..... Menyelamatkan mereka, kalian telah menyelamatkan Negeri yang kalian cintai ini dari dosa dan kehancuran....... TERDENGAR SUARA

MEMBACAKAN TARHIM, CAHAYA PERLAHAN FADE OUT. 27 SEPTEMBER 1997



SELESAI




7. MAYAT TERHORMAT
Karya : AGUS NOOR & INDRA TRANGGONO


Dimainkan Butet Kartaredjasa
Pemandu Pengolah Gagasan: Adi Wicaksono
Supervisi Penyutradaraan: Jujuk Prabowo
Penata Musik: Djaduk Ferianto
Pemusik: Djaduk, Indra Gunawan, Jono, Koco, Margiyono, Vievien

Dimainkan pertama kali di Graha Bakti Budaya, TIM, 27 s/29 Maret 2000, dan di Purna Budaya

Yogyakarta, 7 & 8 April 2000.

PROLOG

“Selamat malam bla, bla, bla (improvisasi)

Sebelum pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun kesepakatan, yaitu hendaknya pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi tu-la-lit-tu-la-lit ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi ilegal untuk sementara diharamkan. Maka saya memberi kesempatan kepada anda untuk mengeksplorasi naluri-naluri purba anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan handphone anda ! Ini jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau membacok, hanya karena perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti ternyata masih tu-la-lit-tu-la-lit, nikmatilah risikonya dipisuhi penonton lain.

Baiklah saudara. Meskipun saya berdiri di sini dengan wajah coreng moreng kayak badut, sesungguhnya saya ini bukan badut. Karena terus terang saja, saya tidak ingin memperbanyak jumlah badut di negeri ini yang dari hari ke hari jumlahnya terus menggelembung. Kita sudah polusi badut, over kuota. Semua posisi sudah diisi oleh orang-orang yang lucu dan menggemaskan, sampai-sampai tukang monolog yang sok nglucu terancam kehilangan sandang pangannya.

Oke, sekarang saya ingin mengajak para penonton yang terhormat untuk sekejap menengok keberadaan mayat-mayat. Tapi saya harap anda jangan membayangkan suasana horor seperti yang sering terlihat dalam sinetron-sinetron misteri di televisi. Kalau horor di televisi itu, tidak menakutkan. Tapi justru malah menggelikan. Tidak

membikin bulu kuduk berdiri, tapi malah membikin satu-satunya elemen dalam tubuh saya berdiri. Yah…itulah salah satu kelebihan bangsa kita: terlalu cerdas
sehingga apapun yang dilakukan seringnya meleset dari sasaran. Mau bikin horor

malah menggelikan. Mau mengusut perkara dan menuntaskan kecurangan-kecurangan, ee…hasil yang diIapai malah penundaan-penundaan dan
pengampunan.





Nah sekarang, kita mulai saja pertunjukan ini dengan pantun pendek:

Kapal keruk talile kenceng,

nyemplung laut dihadang gelombang

Nonton monolog obat puyeng,

asal rileks dan dada lapang

BAGIAN PERTAMA

Sebuah sel panggung. Remang dan sayup. terdengar jeruji dipukul monoton. Lalu perlahan sepotong cahaya bagai lembing perak, menghujam tubuh Siwi yang
lunglai kepayahan bersandar di jeruji sambil memukul-mukul piring seng.

Sesekali mengerang, bahkan meraung…. Siwi terus memukul-mukul piring seng. Sampai kemudian muncul suara derap sepatu. Semula pelan, kemudian mengeras dan mengeras. Siwi tergeragap. mendadak piring seng itu berhenti bersuara. menolak dibunyikan. Siwi sekuat tenaga berusaha terus membunyikan piring itu ke jeruji sel. tetapi piring seng itu tertahan diam. Siwi marah kepada piring seng)

Kenapa? Takut? Kamu ini aneh lho, cuma piring seng saja kok langsung gemeter begitu mendengar derap sepatu. Ayo terus bersuara. Bernyanyilah. Karena hanya kamulah satu-satunya sahabat saya di sini.

Siwi mencoba sekuat tenaga menggerakkan piring itu, tetapi piring itu tetap tak bergerak

Dasar piring pengecut! Ingat, eksistensimu ini sudah kuangkat, sehingga kamu tidak sekadar menjadi alat makan, tapi subyek yang bersuara. Kamu punya hak bersuara. Ayo bersuara!

Kembali Siwi berusaha membunyikan piring itu, tetapi tetap tak bisa

Ayo, toh, sebagai perkakas yang nasibnya sudah saya naikkan derajatnya, mestinya kamu harus tunduk kepadaku. Ngerti!

Malah mendadak, piring itu menyerang kepala Siwi

Eit, kok malah menyerang. Oo, tahu saya, pasti kamu sudah kongkalingkong dengan para aparat itu untuk melawan saya, iya kan?! Pasti diam-diam, saat saya tertidur, kamu keluar sel ini kasak-kusuk dengan mereka, dan menyusun rencana supaya tidak loyal lagi padaku.

Piring itu menggeleng

Sudah jangan mungkir. Di sini, kamulah satu-satunya sahabatku. Saya berteman dengan kamu, karena hanya dengan beginilah saya bisa memelihara akal saya. Menjaga kemampuan saya untuk memelihara harapan, impian. Alangkah konyolnya jika saya sudah tidak mempunyai harapan. Dan lebih konyol lagi, jika

saya tidak punya kemampuan untuk memelihara harapan. Jadi, tolong, janganlah sekali-kali kamu membelot, melawanku, Terimalah ketulusan cintaku …. Atau jangan-jangan kamju ingin agar saya “ad interim” kan? Dik piring kamu harus


bersyukur, karena kamu mempunyai kedudukan yang sejajar denganku. Jangan bertingkah, lu. Saya mutasi jadi kakus, di-beol-in kamu !

Mendadak seperti terdengar lagi langkah kaki — atau entah apa — begitu pelan, seperti bisikan, membuat Siwi menajamkan pendengarannya, mendekatkan telinganya ke piring seng itu. Mendadak piring seng itu meloncat melacang, seperti kaget dan ketakutan. Siwi Berbicara pada piring seng

Hai, mau kemana? Jangan tinggalkan aku. Cepat turun sini. Jangan ngambek gitu
….Ada apa?

Piring seng itu masih melayang-layang, bergerak-gerak seperti bicara

Kamu ngomong apa, sih? Ngomong saja terus terang?

Piring seng itu turun mendekati Siwi, nampak berbisik

Ayo toh jangan bisik-bisik begitu. Ah, yang bener! Kamu jangan sembarangan bisik-bisik lho. Atau kamu mau jadi tukang bisik? Semprul! Yang menentukan kamu mau jadi apa itu aku. Nasibmu sepenuhnya di tanganku. Aku bisa saja menjadikanmu terhormat, tapi juga bisa menjadikan kamu sekadar barang rombengan. Begitu saja kok repot. Sini, apa kamu ingin saya jadikan barang rombengan?!

Piring menggeleng

Makanya, sebagai aparat kamu ini jangan semena-mena, apalagi dengan orang sipil macam aku. Piring ngambeg, lalu melayang lagi menjauhi Siwi Lho,lho…jangan kabur…. Percayalah, meskipun aku ini sipil yang sedang berkuasa — setidak-
tidaknya atas dirimu — aku tidak akan menyakiti kamu, apalagi menculik atau melenyapkan kamu. Aku justru ingin menjadikan kamu pouring merdeka….

Di gertak begitu, piring itu langsung mengkerut, takut. Lalu SIWI berusaha membunyikan piring itu kembali, tetapi mendadak terdengar suara derap sepatu, membuat SIWI ketakutan. Setelah suara sepatu itu berlalu, Siwi ngomong kepada piring seng

Ternyata kita ini sama-sama penakut, ya. Ternyata ada yang lebih berkuasa daripada saya yang orang sipil ini. Ternyata ada yang lebih aparat daripada aparat macam kamu. Mereka adalah aparat yang hanya bisa membentak, memerintah dan memaksa kita untuk patuh melalui teror dan ketakutan. Ternyata kita ini senasib. Ternyata kita ini sama-sama sipil! Sama-sama rombengan! (Membanting piring seng).

Siwi terpuruk. Musik tipis mengalun. Sel itu kembali ditangkup kesunyian yang menekan. Siwi menggelar tikar. Minum.. suasana kendor ….Siwi mengambil

kartu, lalu membanting-banting kartu seakan-akan sedang Berjudi …. Siwi setengah mengeluh, setengah meracau

Penjara.. kuburan ……apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara, karena juga sering kali berujung kematian …

Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali menerawang keluar jeruji, memukul-mukul piring seng, kemudian bergerak pelan ke arah bibir panggung, dan suara musik yang sayup perlahan menghilang, bagai angina yang bergerak menjauh… Kepada penonton.

Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militant. Wouw,… betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.

Tapi, sebentar …… Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang orang besar……..setidak-tidaknya ada yang besar di dalam

diri saya …. Iya lho, jangan-jangan saya ini benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu bukan soal

pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu tidak konsisten….. Pause)

Tapi celakanya, saya ini cuma seorang juru kunci. Kekuasaan saya cuma sebatas kuburan dan tulangtulang berserakan. Itupun cuma juru kunci kuburan umum. Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik, misalnya, kalau saya ini juru kunci Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman Makam Pahlawan tentu lebih

prestisius dan memiliki banyak privilige. Lha ya jelas, lha wong yang diurusi itu jazad para pahlawan. Ingat… Pahalawan (sambil menggelembungkan mulut).

Meskipun yang disebut pahlawan itu lebih pada orang-orang yang memegang senapan. Istilah yang digunakan saja beda. Kalau orang bersenapan yang mati maka ia disebut gugur dalam tugas: Gugur satu tumbuh seribu, tunai sudah janji bhakti …. Lho mati saja ada lagunya. Coba kalau orang biasa yang mati, paling banter disebut meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang mati, maka dengan semena-mena ia disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok nggak ada ya kere mati disebut gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada galibnya juga punya tugas mulia, karena kemuliaan itu ada ukurannya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana kita memaknai kemuliaan itu, meskipun ya kebangetan jika jika tiba-tiba ada kere yang merasa benar-benar mulia. Gila masyarakat kita ini, ternyata masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh kelas, tergantung dari status sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para pendekar, cenderung menganggap senapan sebagai ukuran kepahlawanan. Bukan pada kecemerlangan otak, ketulusan pengabdian, dan ketegaran integritas dirinya.

Tapi, saya tidak ambil peduli. Meskipun mayat-mayat yang saya urusi tidak dikategorikan sebagai pahlawan, saya toh bangga. Bangga sekaligus terharu, karena mayat-mayat yang saya urus tak pernah mengeluh, meskipun tempat persemayamannya panas, gerah,, sumuk…., mereka tidak minta AC untuk ruang kuburnya. Sangat berbeda dengan mayat-mayat di kuburan Senayan, baru sekali saja jadi mayat, sudah macem-macem menuntut ini-itu, minta kenaikan gaji …Akhirnya saya paham. Kalau toh mereka itu tak banyak menuntut ini-itu, barangkali mayat-mayat itu memang sudah lama terdidik dan terbiasa hidup menderita ketika hidup di dunia. Sehingga wajar, misalnya, jika mereka lebih merasa nyaman di kuburan. Karena di dalam kubur mereka tidak pernah mengalami tekanan-tekanan dalam bentuk apa pun. Mayat-mayat yang urus itu begitu santun. Mereka adalah klien-klien saya yang terhormat, meskipun bisa jadi mereka mati tidak dengan cara terhormat. Mungkin saja ada yang terpaksa diseyogyakan untuk mati karena diberi bonus peluru, atau mendapatkan kehormatan dengan dijerat lehernya, atau dipaku kepalanya, diperam dalam kulkas… Dan ada satu mayat perempuan yang membisiki, bahwa ia mati karena kemaluannya dimasuki benda bulat, panjang dan tumpul: selomjor besi. Ya… selonjor besi yang bulat, panjang dan tumpul itu dimasukkan pelan-pelan, kemudian ditekan sekuat tenaga. Sehingga rahimnya hancur, kemudian ia dibuang di sebuah hutan. Saya benar-benar terkesima dengan nasib mayat sahabat saya itu. Mbak, Mbak, Mbak Wahai mayat yang selalu hadir dalam mimpi burukku, dimanakah kamu? Ceritakan padaku tentang dirimu….

-         Apa sih status Anda waktu hidup di dunia?

-         + Saya hanyalah seorang buruh

-           Lalu kenapa Anda sampai meninggal?

-         + Saya dituduh memimpin demonstrasi kenaikan gaji.

-         - Bukankah Anda yang bernama…..

-         + Jangan sebut nama saya. Nama saya telah menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-orang yang dengan bangganya menghabisi saya demi perut mereka.

-         - Tapi nama Anda sudah sangat terkenal. Bahkan menjadi legenda yang cukup menggoncang dunia peradilan…

-         + Dunia peradilan hanya terguncang. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Nama saya hanya berhenti sebagai fakta, sebagai data yang disimpan dalam berkas-berkas mereka.

-         - Apakah Anda bisa menyebut nama orang-orang yang melenyapkan Anda?

-         + Tidak. Kalau saya sebutkan, mereka pasti akan membunuh saya lagi. Saya takut untuk mati yang kedua kali.

SIWI (tersadarkan. Lalu berkata):

Kenapa aku justru dleweran ngurusi persoalan besar yang masih gelap ? Bukankah persoalanku sendiri masih gelap ? Aku sendiri tak pernah tahu, bahwa diriku memiliki kelayakan untuk dikurung seperti ini. Tapi soalnya barangkali bukan layak atau tidak layak untuk dipenjara. Yang jelas, kasus ini butuh korban. Butuh tumbal. Dan aku menolak untuk ditumbalkan !

Besok, kepada interogrator akan saya katakan persoalan yang sesungguhnya. Biar semuanya jelas. (Siwi mengantuk) Oalllah…..interogasi, interogasi….. lagi-lagi Lagi-lagi interogasi …..

Mendadak terdengar derap suara sepatu. SIWI ketakutan. Ia segera bersembunyi dan tidur meringkuk di salah satu ruangan sel.

                                                                                                                                  

Musik keras menyapu.

BAGIAN DUA

Ketika SIWI tertidur, setting jeruji penjara berubah menjadi gerbang kuburan yang mendadak terbuka. Terdengar suara deru truk, mengeram dalam kelam. lalu mengendap derap kaki, memasuki kuburan, teriakan-teriakan yang seakan menyembunyikan rahasia, tetapi diucapkan dengan tergesa. Semua menggambarkan suasana pemakaman ratusan mayat, yang serba darurat: cepat dan gawat. SIWI, perlahan-lahan bangun dari tidurnya, tergeragap menyaksikan semua itu. Lalu ia pelan-pelan mengendap dalam gelap. Sampai

kemudian suara truk menderu, menjauh. Siwi mengamati timbunan tanah, sesekali mengoreknya dengan tangannya gugup, gugup…. satu.., tiga… sepuluh… Empat ratus….seribu lima ratus….lima ribu…. Terus menghitung

Dari malam ke malam semakin banyak saja mayat yang mereka lemparkan ke kuburan terpencil ini. Ini sudah malam yang ke sepuluh atau entah ke berapa. Otak saya jadi malas mengingat, karena begitu seringnya hal ini terjadi. Aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Sepanjang saya jadi penjaga makam, baru kali ini saya mengalami kejadian seaneh ini. Saya memang mendengar kalau saat ini sering terjadi pembunuhan. Jangan-jangan ini bukan sekadar pembunuhan, tapi pembantaian….. Siwi terus Hergerak ke sekeliling panggung, mengamati mayat-mayat yang terkubur bergelimpangan tak sempurna. Ia terkepung oleh hamparan mayat yang begitu mengenaskan. Berulangkali ia memungut sesuatu dan mengamati “benda” yang ada ditangannya, dan ia selalu kaget terbelalak.

Kepala… Bji mata….. tangan…… kaki….. gila…. Tubuh manusia dicerai berai seenak

wudelnya sendiri. Rupanya iblis sudah menjelma pada diri manusia. Perilaku mereka jauh lebih iblistik daripada iblis itu sendiri. Siwi terus Bergerak mengamati “mayat-mayat” yang

bergelimpangan. Musik. Siwi menguburkan mayat-mayat dalam suasana yang karikatural, sampai akhirnya terhenti ketika menjumpai mayat perempuan berkuning langsat

Astaga…saya kenal perempuan ini. Kenapa ia harus mati. Gila… aroma kematiannya masih terasa menyengat, dan dari selangkangnya masih mengalir darah. Sempat-sempatnya pembunuh itu menyempurnakan keiblisannya sehingga hancurlah kehormatan perempuan ini . Mayat perempuan itu merintih)

“Saya tidak tahu apa kesalahan kami. Tiba--tiba saya lihat puluhan orang datang menyerbu toko kami. Harta benda kami dijarah. Mereka seperti menumpahkan kebencian kepada kami. Papah dan mamah saya disiksa, sementara saya dan cacik saya dijadikan pesta. Keluarga kami

dibantai. Toko kami dibakar lalu papah saya dilempar ke dalam lautan api. Juga mamah saya, cacik saya, engkoh saya, dan saya…”

Gila! Peradaban apa ini ? Bagaimana mungkin nafsu dan kekejaman bisa bekerja sama secara kompak begini? Manajemen kekejaman macam apa yang mereka gunakan? Apakah ini yang disebut kekejaman dengan paradigma baru? (Pause) Paradigma-paradigma ndasmu!

Siwi mengangkat satu persatu mayat itu, dengan perasaan tertahan. Ia berulangkali mau muntah mencium anyir darah. Ia mematung diantara “mayat-mayat”. Cemas

Barangkali kuburan ini tak cukup menampung mayat-mayat tak bernama itu. Ribuan orang mati, serapuh daun rontok ditiup angin. (Pause) Kenapa begitu gampang orang mati? Kenapa begitu ringan orang membunuh, seringan orang mencabuti bulu ketiak?. Mereka tak lagi butuh alasan untuk membunuh. Dan para korban pun dipaksa tak boleh tahu kenapa harus mati. Apakah mereka harus mati hanya karena berbeda warna kulitnya, beda bentuk matanya, berlainan cara bicara dan bahasanya, atau hanya karena tidak sama ketika menyembah Tuhannya. Kenapa untuk semua perbedaan itu, sekarang ini orang harus mati ?

Aneh, begitu banyak orang tak berdosa mati. Sementara orang yang dosanya luar biasa banyaknya malah tidak mati-mati. Ini sangat-sangat tidak fair. Ini sudah kebangeten. (Pause) Saya jadi percaya, maut ternyata tidak bisa bekerja sendirian. Sebab, maut bisa diciptakan.

Maut bisa diselenggarakan oleh siapa pun yang berkuasa. Mereka bisa menaburkan maut kapan saja, sehingga udara yang terhisap selalu berbau kematian…... Ya…kematian yang bias disorder kapan saja ….

Siwi menyulut rokoknya. Menghembuskan asap kuat-kuat. Siwi tiba-tiba tersadar jika dirinya telah ngelantur

Lho, lho….saya ini kan Cuma penjaga makam, juru kunci kuburan, kok heroic banget ta? Seharunya saya tak perlu repot-repot memikirkan soal ini. Biarin aja, gitu aja kok repot. Bukankah bagi saya kematian itu sudah menjadi hal biasa. Malah, kalau sehari tak ada orang mati, bagi saya justru aneh. Saya jadi kehilangan peluang. Penghasilan pun berkurang. Jadi mestinya kalau ada orang mati, diamdiam saya bersyukur. Itulah sebabnya, — jangan bilang-bilang ya — setiap hari saya sering berdoa agar Tuhan memperbanyak jumlah angka kematian: Tuhan kirimkan kematian ke kuburan kami, Gusti Allah paringanah sripah…

Tapi tentu saja, saya cuma berharap pada kematian yang wajar. Yaitu, orang yang benar-benar mati karena dipanggil tuhan, bukan karena dimatikan . Lho…jelek-jelek, saya ini penjaga makam yang sedikit tahu etika, tahu fair play, win and win solution, cingcay….. Karena itu pula dikuburan sini saya tidak pernah main kadal-kadalan. Saya ogah melakukan korupsi, habis memang tidak ada yang layak dikorupsi di sini. Apa, bunga? Masih lumayan kalau bunga bank! Apa, kemenyan? Lumayan juga, bisa untuk mut-mutan. Mosok, saya harus rebutan dengan dhemit?

Kalau toh saya harus melakukan tindakan ilegal, paling banter saya cuma menyewakan tempat bagi pasangan yang nggak kuat sewa hotel. Short-time di sini lebih murah..

Nah, lihat, di pojok yang gelap sebelah sana biasanya mereka main. Cukup menggelar koran.

Heran saya, apa ya mereka nggak takut ganthet! Tapi ini juga keuntungan sampingan yang cukup lumayan. Di samping dapat uang sewa tempat, sekali-kali saya juga bisa… mengintip mereka… Jadi setiap malam saya bisa lihat siaran langsung “BF” Pada awalnya memang seru dan syur. Tapi lama-lama bosan juga. Habis gayanya monoton sih…… Mereka kurang berani melakukan terobosan kreatif dan penjelajahan estetik. Terlalu kuno dan konvensional!

Ya, begitulah, saudara-saudara. Ternyata saya tak cuma berurusan dengan mayat, tapi juga dengan bermacam orang dengan beragam watak. Ada yang memang datang untuk ziarah kubur. Tapi ada juga yang datang untuk minta berkah. Itu lho, di tengah-tengah itu, biasanya puluhan orang bertirakat di bawah pohon beringin besar itu. Katanya sih ada yang menunggu pohon beringin itu. Kata orangorang itu juga, di bawah pohon beringin itu tersimpan harta karun yang luar biasa banyaknya. Pikiran gendheng macam apa ini. Apa ya memang dulu ada raja yang menguras duit negara lalu menyimpannya di bawah akar-akar beringin itu, sehingga harta korupsinya tak terlacak?! Tidak faham saya. Lho percaya kok sama beringin…


BREAK. ISTIRAHAT.

SIWI tersentak. Ia mendengar suara mengerang. Suara itu sesungguhnya sudah mulai terdengar sayup saat Siwi masih asyik bicara. Sampai kemudian erangan itu menyadarkan SIWI dan membuatnya segera mencari asal suara. Lalu ia mendapati satu tubuh yang tergolek, kotor dan payah, setengah hidup-setengah mati, tangannya menggapai-gapai minta tolong. segera SIWI membopong tubuh itu, kepayahan menyeretnya ke tempat yang lebih terang. Dengan satu gerakan, SIWI berubah posisi: menggeletak payah dengan tangan menggapai-gapai. Siwi berubah peran jadi mayat (seorang mahasiswa)

MAHASISWA (Mengerang kepayahan)

Tollooonggg….. aduhhhh… aduhhhh… panas….panas… panas (Terus mengerjat-ngerjat)….

Tolongg…. air…. air…..kalau ada teh panas juga boleh…..

Dengan satu gerakan mayat itu kembali berubah jadi SIWI: Mencoba menolong dan menenangkan

SIWI

Tenang, Mas…. Tenang…. Saya Siwi. Ya… Si…Wi… (Es -ai - double you- ai)! Penjaga makam di sini. Nggak usah takut. Ayo, duduklah. Mau minum lagi? (Siwi bergerak mengambil air minum, kembali, dan meminumkannya pada mahasiswa itu, imajiner) Nah, begitu kan enak. Mas aman di sini. (SIWI berubah jadi Mahasiswa)

MAHASISWA

Apakah saya ada dineraka? Kok panasnya bukan main…. Aduhhhh jangan masukkan saya ke neraka… jangan…. Jangan siksa saya….. jangan potong kemaluan saya. Percayalah ….selama
hidup jadi mahasiswa, saya selalu menggunakan kemaluan saya untuk hal-hal yang tidak memalukan. Tapi kalau toh luka sesekali pernah juga…. Tapi,…tapi… itu saya lakukan

dengan amat sangat terpaksa, karena nggak kuat nagpmept. Tapi itu Cuma sekali she, dua kali…. Dua kali pertama dengan pacar saya… kedua Kedua, dengan ibu kost saya….Tapi

percayalah, dialah yang memaksa saya, sehingga saya pun terpaksa dengan penuh suka rela, memenuhi permintaannya yanhg penuh paksaan itu…. Itupun terpaksa saya lakukan, karena
saya mencoba menghargai paksaannya yang memang saya harapkan

SIWI

Anda ini kok bikin pengakuan segala… Ehhh Mas… Berdosa ya berdosa, tapi jangan jujur-jujur amat. Mestinya Anda ini justru harus berbelit-belit, bahkan kalau perlu bikin segala macam trik, biar pemeriksaannya bisa lebih dramatik. Pakai pura-pura sakit, siapa tahu nanti dikasihani, terus diampuni. Tapi ngapai pakai ngaku-ngaku segala, lha wong situ masih di alam kubur. Belum di alam sono….

MAHASISWA

Lho,….saya masih di alam kubur? Pantesan kok gelap. Trus.. anda ini siapa? Interogrator alam kubur ya? Aduhhhhhh….jangan periksa saya. Jangan. Saya tidak siap diperiksa. Jangan…. Jangan…. ! jangan…. cecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, Jangan. Selama

hidup jadi mahasiswa, saya sudah terlalu capek menjawab pertanyaan yang sulit-sulit dari dosen saya, apalagi untuk pertanyaan bersifat esai,…. Saya malah sering bingung. Kalau you mau bertanya kepada saya yang gampang-gampang saja ya… chek point saja, jadi saya tinggal melingkari saja.…. SIWI

Saya ini Siwi…..Penjaga kuburan. Tenanglah,…. Anda nggak usah panic. Anda ini belum mati. Ayo diminum lagi…. Nah, segar khan.? Nah duduklah dengan tenang. Ambil nafas dalam-dalam lalu hembuskan pelan-pelan. Tak perlu khawatir, …. Disini anda aman

MAHASISWA (kembali panik)

Tapi orang-orang bertopeng itu ? Jumlah mereka banyak. Sangat banyak. Lihat ! Lihat ! Mereka berderap-derap kemari. Jangan…. Jangan… siksa saya! Jangan Bunuh saya! Bukan saya penggeraknya. Bukan. Jangan…. Jangan copot jantung saya….

SIWI

Jantung? Bukankah jantung anda masih ada? Coba… raba dada anda…. Nah masih berdenyut kan? Anda masih hidup

MAHASISWA

Benarkah saya masih hidup. Kemarin saya merasa sudah mati. Dada saya terasa pecah. Entah

oleh apa. Entah oleh siapa. Tapi saya melihat kelebat orang-orang bertopeng itu meringkus saya, membekap saya, mencekik saya….. Tubuh saya berulangkali dibanting, diinjak, diludahi.

Dan mendadak ada tangan-tangan berkelebat menghujamkan belati di dada saya. Ya….. darah

segar muncrat. Terus mengalir. Deras. Amat deras. Sampai berliter-liter. Pandangan saya berkunang-kunang. Saya jatuh…terkapar…tak berdaya…. Di dalam kesadaran saya yang

timbul tenggelam, saya rasakan mereka menyeret tubuh saya, terus menyeret sampai jauh. Sampai saya sadar…. Sampai akhirnya anda menemukan saya disini… di kuburan sunyi iani…
(Pause).

Mas Siwi,…saya berterimakasih karena anda telah menyelamatkan saya. Tapi meski nasibnya cukup beruntung, saya toh tetap sedih. Puluhan, bahkan ratusan teman saya mati mengenaskan di jalanjalan, di selokan-selokan. Mereka beramai-ramai dibantai, justru ketika mencoba menghentikan pembantaian gila ini.

Kami memperjuangkan pikiran waras, tapi orang-orang bertopeng itu menjawabnya dengan nyalak senapan dan gebukan pentungan. Mas Siwi, kita harus menghentikan proyek gila ini ! SIWI: Kita ? Kita siapa ? bagaimana pun kita ini beda. Anda mahasiswa. Saya cuma juru kunci.

Mahasiswa itu masa depannya jelas, bisa lulus sarjana, jadi birokrat, jadi politikus, jadi pe gusaha…. Sedang juru kunci? Mau jadi apa ? Juru kunci itu jabatan paripurna. Pol. Mosok, ada

juru kunci terpeleset jadi Dirjen Pemakaman…..

MAHASISWA

Meskipun mas Siwi ini cuma juru kunci, tapi Mas Siwi tahu banyak soal pembantai ini. Mas Siwi mesti berani jadi saksi kunci untuk membongkar kasus ini …

SIWI (kaget, bahkan setengah takut)

Saksi kunci ? Aduhhhhh… jangan Mas…apalah saya ini. Saya ini cuman teri yang gampang diuntal oleh ikan-ikan kakap

MAHASISWA


Justru karena kita teri, maka kita harus berani bersaksi, agar ikan-ikan besar itu tidak sewenangwenang melalap jutaan teri yang lain. Tapi semuanya terserah mas Siwi. Saya Cuma menganjurkan….

Dan kelebat bayangan orang-orang bertopeng itu bagai bermunculan dari rimbun kelam.

SIWI ketakutan, mencoba sembunyi. Sementara SIWI sendiri langsung pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian, kelebat bayangan “orang-orang bertopeng”

itu juga menghilang. SIWI merasa selamat dari ancaman, meski ia masih juga cemas dan ngos-ngosan.

SIWI

Orang-orang bertopeng itu lagi. Siapakah sebenarnya mereka? Apa hubungan orang-orang bertopeng itu dengan pembantaian demi pembantaian yang kini berkecamuk di mana-mana?! Apakah orangorang bertopeng itu yang mengirim mayat-mayat ke sini? (SIWI mengamati sekeliling, melangkah hati-hati, takut menginjak mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi kuburan) Bau kematian yang berpusaran memenuhi udara. Apakah mereka tak bisa lebih beradab sedikit dengan memberi penghormatan yang layak bagi mayat-mayat ini? Boleh jadi ketika hidup, mayat-mayat ini memang pencoleng, perusuh, pemberontak — atau apa saja. Tetapi bukan berarti mayat-mayat ini boleh dilempar begitu saja ke kuburan, tanpa penghormatan.

Lalu SIWI bergerak ke satu sudut, mengambil bendera-bendera putih mungil yang terikat pada batang-batang bambu kecil. kemudian mencapkan bendera-bedera putih itu ke tanah, seperti tengah menanam nisan sambil terus berbicara ….

SIWI

Aku tak kenal kalian, tapi aku tak bisa membiarkan kalian terkubur tanpa penghormatan. (Menancapkan bendera-bendera putih itu) Anggap saja ini upacara kecil bagi kematian kalian. Semoga saja bisa membuat kalian sedikit terhibur. Aku tak punya banyak dana untuk membiayai upacaya besar bagi penguburan kalian. Aku cuma penjaga kuburan. Maafkan, kalau

upacara ini kurang sempurna. Tak ada terompet yang mengringi pemakaman kalian, tak ada tembakan salvo, tak ada liputan televise, taka da bunga, taka da kembang api….

Terus menanami bendera-bendera putih itu, sampai hampir memenuhi semua sudut kuburan. Sementara itu bagai doa yang mengiringi upacara kecil SIWI, terdengar suara gemeremang, seperti suara-suara orang bertahil. Seperti suara-suara orang berdoa yang menggigil. Begitu gaib. Suara itu menjadi bagian dari upacara penguburan yang tengah dilakukan SIWI

Istirahatlah dengan damai. Tak usah kalian mengutuk mereka yang membantai kalian. Aku tahu, kalian marah dan menyimpan dendam karena kematian kalian yang terasa begini hina. bagikupara pembantai kalianlah yang jauh lebih hina. Siapa pun yang membantai kalian, sungguh luar biasa menjijikkan. Memuakkan! Kukira hanya setan — setidaknya mereka yang

bersekutu dengan kekuasaan setan — yang bisa melakkan pembantaian macam ini.. Celakanya, kita tak pernah tahu siapa mereka itu. Ya…bagi mereka …orang-orang macam kalian lain tak

lebih dari seekor hama yang selalu dianggap mengancam hasil panen kekuasaan mereka. Padahal mereka tidak pernah menanam. Tidak pernah, kecuali memaksa memeras keringat orang lain untuk bercocok tanam. Mereka tak lebih dari mandor-mandor yang menganggap kekerasan sebagai kebenaran.


Sambil terus menanam bendera-bendera putih kecil itu, dalam benak SIWI berkecamuk kegelisahan bercampur kecemasan. Sampai kemudian terdengar suara tangis bayi yang menyayat-nyayat. Tangi itu mula-mula terdengar sesekali, membuat SIWI menajamkan pendengarannya. Lalu tangin itu menghilang. Siwi kembali menanam bendera-bendera putih itu denga khusyuk. lalu kembali terdengar suara bayi melengking, SIWI mencari sumber suara. Tapi sia-sia. Suara bayi itu selalu mendadak lenyap ketika SIWI mendekat.

SIWI

Aneh….. jangan-jangan bayi itu anak jin yang dibuang ke kuburan ini. Tapi untuk apa jin itu membuang anaknya sendiri? Dia bukan termasuk mahluk yang tidak bertanggungjawab seperti manusia yang gemar membuang bayi dari hasil hubungan yang tak resmi.

Kembali terdengar suara tangis bayi. Kali ini segera di susul tangis bayi-bayi yang lain. Tangis bayi itu bagai bermunculan dari segala penjuru, menjadi nyanyi keperihan yang berkumandang memenuhi malam. SIWI benar-benar dikepung suara Hayi….

SIWI

Saya curiga, suara-suara itu adalah tagis arwah bayi. Saya curiga …… ada begitu banyak bayi dibunuh. Jangan-jangan…. pembantaian tidak hanya menelan korban orang-orang tua…tapi juga bayi-bayi….

SIWI bergerak ke sekeliling panggung. Ia berjalan di antara hamparan mayat-mayat…. sa pai kemudian ia terpekik kaget ketika di antara timbunan mayat, ia menemukan puluhan mayat bayi.

SIWI:

Edan!!! Ternyata dugaan saya tidak meleset. Mereka juga membantai bayi-Hayi…. Bayi-bayi pun dibunuh tanpa ampun. Bayi-bayi pun dibantai secara beruntun. Rupanya mereka tak ubahnya raksasa yang meramu nyawa bayi menjadi jamu, yang direguk supaya bisa hidup
abadi. Gila. Langkah generasi sedang dimatikan. Generasi demi generasi dilenyapkan dari rahim zaman, untuk diganti mesin-mesin yang hanya bisa patuh….

SIWI mencoba mengubur puluhan mayat bayi itu dengan khidmat, sambil menembangkan keperihan…. terkadang ia seperti menimang-nimang ….

SIWI (Menembang)

Di bening matamu kuberkaca

mencari makna duka lara

Di tangismu kudengar nyanyian

adakah itu nyanyian Tuhan …..

Tidurlah tidur anak kehidupan
Tidurlah tidur dalam kedamaian ….

Sambil terus menembang, Siwi mengubur dan menancapkan bedera-bendera putih itu. Ia tak pernah menyadari, betapa puluhan mata menatapnya dari balik belukar. Sampai kemudian SIWI terkejut, ketika puluhan orang bertopeng telah mengepungnya. SIWI merayap mundur.


Orang-orang bertopeng terus mengepung …. Ketika SIWI menyadari bahwa ia tak punya kesempatan untuk meloloskan diri, ia lalu mencoa memberanikan diri untuk menghadapi puluhan orang bertopeng itu. Keberaniannya bangkit, seperti keberanian orang yang sudah tak punya pilihan. Maka SIWI mencoba berdiri tegar, meski tetap saja gemetar. Ia berusaha berkata tegas meski tetap saja cemas. Di puncak kegeramannya ia mengaum:

SIWI

Barangkali otakku terlalu beku untuk bisa mengurai silang sengkarut persoalan yang membuat begitu banyak orang takut. Atau barangkali aku terlalu gegabah untuk menjamah masalah yang

mendadak tumpah ruah. Atau barangkali, aku terlalu nekad, terlalu berani untuk memasuki rimba persoalan yang nggegirisi ini…..

Kalau akhirnya kuputuskan untuk bersaksi, bukan karena aku ingin jadi pahlawan. Bukan. Sebab kepahlawanan itu rapuh. Dan kepahlawanan itu dari hari ke hari semakin merosot harganya. Aku bersaksi karena aku sekadar ingin menebus rasa bersalah, dan rasa berdosa saya
terhadap mayat-mayat sahabat saya. Sebab selama ini aku lebih banyak diam, lebih banyak bungkam…. Ternyata tidak selama diam itu emas.

Kenapa tragedi kemanusiaan yang jelas dan gamblang, selalu dibuat ngambang ?

Kenapa orang yang sudah jelas bersalah, justru dilindungi dan diberi ampunan ?

Kenapa orang-orang yang jelas menjadi korban justru dinistakan dan diberi hukuman ?

Aku jadi curiga, ada begitu banyak kepentingan sedang dipertahankan.

Aku jadi curiga, ada begitu banyak nama yang hendak diselamatkan demi kehormatan yang dipaksakan. Kehormatan yang dipahatkan dan dijulangkan di antara nisan-nisan tak bernama.

Aku jadi curiga, ada begitu banyak fakta sedang ditenggelamkan.

Aku jadi curiga banyak kisah nestapa, hanya dijadikan cerita yang asyik untuk dopidatokan.

Aku jadi curiga terhadap segala kecurigaan yang dibudidayakan untuk menciptakan ketakutan. Aku jadi curiga terhadap semua sandiwara yang dimainkan.

Aku jadi curiga, bahwa kecurigaanku pun selalu dicurigai

Aku jadi curiga….

Aku curiga….

Aku curiga….

Aku curiga….

Aku curiga….

Mendadak ada jaring-jaring besar turun yang memerangkap SIWI. SIWI berjuang keras untuk lolos dari jaring itu. Ia berteriak-teriak marah dan terus bergulat mencoba meloloskan diri dari belitan jaring raksasa itu. Tapi jaring itu ternyata lebih kuat.. Jaring itu terus membungkus, meringkus. Siwi terus saja mengerjat meronta-ronta mencoba membebaskan diri. Teriakannya kian lama kian melemah. tenaganya terkuras, lantas perlahan lemas. Lampu perlahan meredup.Kemudian terdengar sayup suara jeruji dipukuli, seperti bagian


awal. Dentang itu perlahan mengeras, dan mengeras. Sampai panggung menggelap. Dan yang tersisa hanya cahaya yang bagai lembing perak menimpa kisi-kisi jeruji. Sementara dentang jeruji dipukuli masih sesekali terdengar….

SELESAI




8. PIDATO 
Karya : PUTU FAJAR ARCANA




SEORANG LELAKI SETENGAH BAYA TIBA-TIBA TERJAGA DARI TIDURNYA. IA MENGUSAP  MUKA,  MENGUCEK,  DAN  MENGERJAP-NGERJAPKAN  MATANYA. LALU        MENOLEH            SEKELILING            DENGAN PANDANGAN HERAN. SESEKALI MEMPERBAIKI SISIRAN RAMBUTNYA. MATANYA LUCU KETIKA MENYADARI BEGITU BANYAK ORANG DI SEKELILINGNYA. KETIKA TERDENGAR TERIAKAN-TERIAKAN  YANG  MEMINTANYA  SEGERA BICARA, PERLAHAN IA  BERDIRI. TUBUHNYA TERHUYUNG BEBERAPA KALI, TAPI KEMUDIAN IA MULAI BISA MENGUASAI DIRI



Saudara-saudara, saya diundang kemari untuk berpidato. Sesuatu yang tak pernah saya bayangkan selama hidup saya. Sebab pidato bagi saya lebih merupakan sebuah kesaksian, ketimbang melontarlontarkan pepesan kosong. Apalagi sekarang saya harus berpidato di hadapan Saudara-Saudara, orang-orang berpengetahuan luas, kaum intelektual yang sering



nonggol dalam talk show di televisi. Saya hanya orang kecil, orang desa yang sama sekali tidak memiliki referensi tentang politik. Politik? “sttt…



(MENUTUP BIBIR DENGAN TELUNJUK, LALU BERBISIK)



jangan keras-keras…… dan tolong jangan dikabarkan kepada yang tidak hadir, saya tak suka politikus. Mereka ini kaum mencla-mencle, tak ada logika yang lurus. Seperti besi ditempa, semakin dibakar semakin mudah dipeot-peotkan. Tak ada istilah sahabat atau seteru, semuanya adalah alat untuk mencapai kuasa. Terkadang saya pikir mereka .



(CELINGUKAN MENOLEH KE SEKELILING)



serombongan tikus yang hidup dalam got di sepanjang jalan-jalan kota. Di musim kemarau mereka bisa berkeliaran semaunya, untuk mencuri roti mereka bisa menggerogoti pintu-pintu rumah Saudara, tetapi di musim hujan bisa menebar leptospirosis. Makanya banyak orang kota yang berpikiran tidak waras, karena kencing tikus. Tentu tidak termasuk Saudara, bukan? Karena saya tahu SaudaraSaudara adalah orang-orang yang berpengetahuan luas dan tidak suka mencla-mencle. Apakah Saudara-Saudara bersedia dipimpin oleh serombongan tikus? Saya kira pasti tidak, karena kalau bersedia Saudara-Saudara saya cap sama dengan para politikus itu, yaitu anggota dari gerombolan tikus…



(SEPERTI MENDENGAR CELETUKAN ORANG)



Apa? He-he-heh, sssttt…ingat jangan sampai terdengar yang lain. Saya bisa diciduk. Nah ini, soal Iidukmenciduk, mungkin Saudara-Saudara masih ingat sewaktu saya diculik dari rumah saya. Itu sudah terjadi pada bulan Desember tahun 1965. Kira-kira usia saya waktu itu 20 tahun. Mestinya saya sudah tamat SMA, tetapi karena kami termasuk keluarga miskin yang hanya hidup dari hasil sawah, saya terpaksa putus sekolah. Kemudian saya memang diajak untuk rapat-rapat, bagaimana mendapatkan tanah-tanah sawah kami kembali. Selama ini orang tua saya hanya menjadi petani penggarap di bekas sawahnya sendiri. Sudah lama sawah kami diambil oleh para tuan tanah. Mereka menjerat kami dengan utang lalu mencuri periuk nasi kami.



Malam itu, saudara hujan gerimis dan lolong anjing begini.. ….Aaauuu….Auuumm



(MELOLONG SEPERTI ANJING).



Saya baru saja menyulut rokok jagung, ketika tiba-tiba serombongan orang berseragam hitam dengan selempang pedang, ah bukan, mungkin kelewang di punggungnya membekuk saya.



“Saudara ikut kami!” kata salah seorang yang bertubuh paling besar. Ia mencengkeram tangan



kanan saya. Lolong anjjing terdengar lagi, Aaauuu... Aaummm.. saya bergidik. Ketika kemudian ia menambahkan berkata: “Saudara antek-antek PKI.” Saya baru sadar bahwa nyawa



saya diujung tanduk. Waktu itu saudara tahu, tuduhan seperti ini bagai vonis. Nyali saya tiba-tiba ciut. Darah di kepala saya seperti disedot vacuum cleaner, muka saya jadi pucat pasi. Saya seperti mayat yang begitu saja dilemparkan ke liang kubur.



Ketika rombongan yang kukira para jagal itu menyeret saya, meski dengan memelas saya memberanikan diri berkata , “Bapak-bapak pasti salah tangkap,”



Sebaiknya pergunakan kesempatan ini untuk mengatakan hal-hal penting eert pesan kepada keluarga,” kata yang berkepala plontos



“Bapak-Bapak pasti salah tangkap. Pasti bukan saya yang dimaksud,”kata saya lagi.



Saudara-Saudara dalam situasi seperti ini saya pikir tindakan Saudara akan sama dengan tindakan saya. Saya harus menolak tuduhan menjadi antek PKI itu. Sebab, terus terang, saya terpaksa buka kartu di hadapan Saudara-Saudara, saya memang pernah diajak untuk menjadi anggota partai komunis itu, tetapi saya menolak. Seperti juga Saudara tahu, saya tak mau terlibat politik. Urusan saya urusan yang sangat pragmatis, saya cuma ingin kami semua di desa memiliki tanah yang cukup sebagai tumpuan hidup kami sehari-hari. Tak ada lagi yang bisa diharapkan di zaman partai-partai sibuk merebut kekuasaan. Nasib rakyat kecil seperti saya tergeletak di ujung kaki mereka. Setiap saat dengan mudah mereka menunjuk ke arah mana kami mesti berjalan. Ah, nasib sudah tidak lagi berada di tangan masing-masing.



Jelas nama saya sudah dikorupsi. Saat-saat kampanye mereka dengan mudah akan memanipulasi begini: Saudara-Saudara partai ini partai milik wong cilik, partai yang berjuang untuk orang-orang kecil dan pinggiran seperti Saudara-Saudara. Saudara-Saudara tahu kami tidak akan membiarkan nasib Saudara-Saudara tergantung di ketiak para tuan tanah, di mana Saudara-Saudara menjadi buruh di tanah milik Saudara sendiri. Kami datang membawa harapan, kami adalah matahari yang tiba-tiba terbit dari balik bukit. Dan memberi sinar kepada kesuraman hidup Saudara-Saudara. Cuma, kalau Saudara-Saudara tidak berada satu barisan dengan kami, bagaimana kami bisa memperjuangkan nasib Saudara-Saudara. Apa Saudara-Saudara mau bergabung bersama kami?



Kalau Saudara-Saudara menolak berarti Saudara-Saudara juga menolak memperbaiki nasib bangsa. Dan itu pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan, tidak bisa dimaafkan, karena Saudara-Saudara berarti juga berlindung di balik punggung para tuan tanah, yang selama ini menghisap darah di kepala Saudara-Saudara…



Nah, Saudara-Saudara sudah dengar tadi kan? Saya jijik, saya muak dengan ajakan-ajakan begini. Kenapa semua orang yang datang kepada kami selalu membawa janji-janji. Mereka tidak pernah datang sebagai sahabat yang tulus, yang begitu sungguh-sungguh ingin mengangkat hidup kami yang melarat ini…. Eh sudah begitu pakai mengancam lagi.



Huk-huk….izinkan saya saudara. Sudah lama kita lupa bagaiamana caranya menangis yang baik. Tangis-tangisan yang setiap hari saya saksikan di televisi, telah menjadi semacam sandiwara, yang berusaha membuat kita terharu. Padahal semuanya adalah semu, kita bagai

hidup di tengah bayang-bayang. Tak ada lagi ketulusan di negeri ini. Bahkan untuk sekadar menangis, kita pun tega bersandiwara huk..huk…



“NAMA saudara ada di dalam daftar….!” Kata laki-laki yang berbadan besar dan kekar. “Makanya jangan rewel.. “

“Bapak-Bapak salah tagkap… “Mulut saya lalu seperti terkunci. Saya tidak mampu mengatakan hal lain. Karena saya pikir hanya kata-kata ini yang bisa menyelamatkan nyawa saya sekarang.



“Saudara benar bernama tell, Tell…. Saya menunggu untuk menguji apakah para penjagal benar-benar mengetahui nama saya. Karena saya yakin pastilah ia salah tangkap. Saya tidak pernah merasa menjadi aktivis partai untuk memperjuangkan hak-hak petani. Saya cuma tahu bahwa kami tidak lagi bisa seenaknya mengolah tanah. Ayah saya hanya buruh yang diupah untuk bekerja di atas tanah miliknya. Semua hasil panen tidak pernah lagi mengisi lumbung-lumbung rumah kami. Setiap panen, kami hanya bisa melelehkan air mata menyaksikan padi-padi itu, ah padi-padi itu, oh tebu-tebu itu, diangkut entah ke mana. Dan kami dibiarkan seperti tikus yang mengais-ngais sisa. Apalah daya seekor tikus di bawah batang padi yang telah dipanen. Hanya rumput yang tersisa. Dan kami, para pemakan rumput yang tumbuh di bawah kaki-kaki para tuan tanah. Oh hidup ini sungguh kejam, para pemilik pun tak berdaya berhadapan dengan penguasa, karena pemilik belum tentu berkuasa. Oh, huk-huk… (Menangis…) Ah, saya menangis lagi, Mohohn maaf kalau saya tiba-tiba jadi cengeng, Saudara-Saudara.



Saudara teller ini bukan saatnya menangis. Kalau masih percaya tuhan ini saatnya untuk berdoa. Kami mentolerir soal-soal itu, “kata yang berkepala plontos kemudian. “udah saya

duga, mereka pasti salah tangkap.



“Nama saya Meler pak, Pak…” Saya sebut nama saya yang sebernarnya. Tentulah dengan



maksud agar para penjagal ini segera sadar bahwa saya bukan orang yang dimaksud. Dan kemudian dengan memohon maaf, saya akan dilepaskan. “Mau teller kek, Saudara sudah terlanjur kami tangkap, pantang untuk mengembalikan barang yang telah kami ambil…., kata



yang bertubuh besar. Barang? Coba, coba, apakah cerita saya ini tidak menyentuh hati Saudara-Saudara. Seharusnya Saudara-Saudara bersimpati kepada saya dan kalau mungkin membantu saya agar terbebaskan dari orang-orang yang menyeramkan itu. Bagaimana mungkin seorang manusia, yang dilindungi oleh aturan seperti HAM, disamakan seperti barang. Apakah dunia ini sudah begitu bengisnya. Manusiamanusia yang hidup di dalamnya sudah tidak sanggup lagi membedakan mana barang dan manusia. Sesosok tubuh yang tidak bernyawa sekali pun, nilainya tidak bisa disamakan dengan barang. Apalagi saya, seseorang yang masih memiliki hak atas nyawanya sendiri. Tetapi begitulah di zaman itu Saudara, penangkapan seorang anak manusia disamakan dengan memungut kerikil dari tepi jalan. Kapan pun dikehendaki kerikil itu akan dilemparkan ke dasar jurang. Dan Saudara tidak bisa protes, kalau sewaktu-waktu



nyawa Saudara disamakan nilainya dengan sebuah kerikil. Artinya semestinya anda siap mental kapan pun akan disembelih seperti saya…..



TERDENGAR SUARA GURUH DISERTASI KILAT MENYAMBAR, LANGIT GELAP,
GERIMIS TURUN… SUASANA INI SANGAT MENCEKAM

Saudara, di malam yang gelap saya digiring ke sebuah tempat. Kepala saya ditutup dengan baju kaos yang saya kenakan ketika duduk di beranda tadi sore. Mereka menaikkan kami ke sebuah truk yang kemudian membawa kami kemari, sebuah gudang tua yang saya kira letaknya di pinggiran kota. Sewaktu dijerumuskan seperti membuang bangkai anjing ke kali, saya masih bisa merasakan panas cuaca perkotaan. Asap dari cerobong pabrik gula masih tercium hidung saya. Tapi di daerah ini memang bertebaran pabrik gula, tentu saja saya tidak bisa membedakan

aroma masing-masing pabrik itu. Apa Saudara sanggup membedakan pabrik gula ini aromanya begini, pabrik itu aromanya begitu… “saya yang hidup di sekitarnya perkebunan tebu saja perlu

belum memiliki penciuman setajam anjing, apalagi Saudara yang hidup di perkotaan dan bahkan tidak mengenal pohon tebu…

Di dalam gudang yang pengap, saya lihat puluhan orang duduk di lantai dengan tangan terikat. Sekilas beberapa di antaranya saya kenal. Mereka sebagian besar para petani yang hidupnya serba kekurangan seperti saya. Bagaimana mungkin para petani miskin, tak melek huruf, apalagi politik, menjadi lokomotif penumbangan sebuah rezim. Ah, Saudara banyak yang tidak bisa dimengerti di sini.

Ketika saya ditendang agar bergabung dengan orang-orang ini, saya baru sadar kalau lantai

yang saya pijak penuh genangan darah. Samar-samar genangan itu hampir-hampir mencapai mata kaki saya. Ketika saya jongkok untuk memastikan bau amis di atas… saya kira di sebuah

balkon, terdengar derap sepatu tentara. Dalam beberapa saat para tentara telah berbaris mengambil posisi di sepanjang balkon.

Oh, Tuhan, di sinilah masa muda saya akan berakhir. Saudara, hanya malaikat yang bisa menolong saya. Sebentar lagi kalau bedil sudah di kokang, hingga terdengar suara, krakk… krakk… krakkk… dan kemudian bergema letusan berkali-kali, timah-timah panas akan

bersarang dalam tubuh saya. Dan saya, kami semua akan roboh, setelah itu, setelah itu, darah kami akan membanjiri lantai ini. Mungkin tingginya akan mencapai lutut Saudara-Saudara.

Diam-diam saya berdoa. Saya mengucapkan rasa syukur diberi pilihan mati di ujung moncong senapan. Paman saya, Juwena, sebagaimana cerita yang kemudian saya dengar harus mati dengan kepala terpisah dari badannya. Setelah diculik seperti saya, ia digiring ke sebuah tepi jurang di pinggir pantai. Di situlah para algojo memenggal lehernya.

Kepalanya berguling dan tubuhnya jatuh ke pantai. Bersamanya juga dibantai begitu banyak manusia yang belum tentu mengerti riwayat kesalahannya. Ketika air surut mayat-mayat itu seperti ikan lemuru yang terdampar dan busuk. Baunya menyusup di antara pohon-pohon kelapa sepanjang pantai. Lalu menabrak pintu-pintu rumah warga. Tetapi tak ada yang berpikir itu bau mayat, apalagi perduli. Sebab keperdulian saja sudah cukup mengantarkan Saudara-Saudara ke tempat-tempat penjagalan. Sementara, saudara ooohh… kepala mereka dipamerkan di pos-pos jaga. Konon itu menjadi contoh buat orang-orang yang terlibat. Apakah Saudara-Saudara tidak berpikir, sebagaimana yang saya pertanyakan sekarang ini, mengapa bangsa yang konon ramah-tamah dan mengerti sopan-santun ini, bisa begitu liar dan bengis. Saya bergidik. Di sinilah di negeri yang konon dilahirkan ketika para bidadari bertemu dengan dewadewa, ketika bulan bersatu dengan matahari, tangis sudah kehilangan maknanya. Tak ada gunanya lagi menangis. Air mata ini tiba-tiba kering, ketika terdengar ratusan ribu orang dibantai sebagai sekawanan anjing yang dituduh menyebar rabies. Mereka ketakutan ketularan













gila, mereka ketakutan dari mayat-mayat itu akan muncul belatung. Kalaupun mayat-mayat itu kemudian dikuburkan, bukan karena mereka tahu bagaimana selayaknya memperlakukan jenazah, tetapi karena mereka takut dari jasad-jasad itu akan menyembur penyakit. Dan pada suatu hari seluruh penghuni kota akan tertular. Artinya Saudara-Saudara, mereka juga memiliki ketakutan yang sama sebagaimana ketakutan saya sekarang ini.



Karena tempias cahaya lampu saya melihat genangan darah di lantai berkilau. Sebentar lagi ketika seruan tembaaaaaak….! Menggelegar menembus gelap, darah saya, darah kami mala



mini akan menjadi bagian dari genangan itu. Apakah bau amis darah kami tidak cukup menjadi pemuas naluri setan yang bersarang di hati para penjagal ini. Apakah harus jatuh ratusan ribu korban lagi dengan dalih menebus kesalahan yang diperbuat oleh segelintir elite, yang namanya pun tidak pernah kami dengar.



Maaf Saudara-Saudara, saya lupa, saya harus berdoa. Sebab mati bagi saya adalah peristiwa sakral, yang mesti didahului dengan doa-doa. Apalagi sekarang saya di beri anugerah untuk mengetahui kapan saya harus mati. Saya yakin tak ada satu pun di antara Saudara-Saudara yang sudah tahu hari kematiannya. Tetapi, tetapi sebentar… apa gunanya berdoa, toh sebentar lagi saya akan mati. Saudara-Saudara jangan salah paham, doa-doa diturunkan bukan hanya untuk memohon pertolongan, tetapi yang lebih penting adalah membuat ketenteraman, sehingga tabah menghadapi hari kiamat sekalipun. Jadi biarkan saya berdoa dengan khusyuk sebentar….



SAUDARA belum sempat saya membuka mata, tiba-tiba berondongan peluru menghujani kami. Banyak di antara kami yang panik karena tidak menduga akan secepat itu kami harus menjemput ajal. Di tengah keputus-asaan yang dalam, sejak tadi diam-diam kami tetap berharap akan datang penyelamat, seseorang yang mampu memberi pencerahan bahwa apa yang sekarang menimpa bangsa ini hanya kekeliruan di dalam memahami ideologi. Perbedaan ideologi tidak harus berakhir dengan saling bantai. Bukankah Saudara-Saudara juga tahu, ideologi hanyalah kendaraan yang pada akhirnya membawa kita pada tujuan yang sama. Kalau Saudara-Saudara menyadari itu, bukankah berkuasa hanya sebuah kesempatan yang diberikan dan bahkan ditakdirkan untuk membawa kita semua, apa pun ideologinya, pada keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian.

Dengan tenang saya menyelinap di balik drum. Saya pikir kalau kematian itu belum disabdakan betapa pun buruknya situasi, saya akan selamat. Dalam temaram cahaya, dari balik drum di sudut ruangan itu, saya lihat banyak orang yang terkapar. Beberapa di antaranya berupaya menyelamatkan diri dengan mencoba menggapai balkon. Tetapi tentu saja berondongan peluru jauh lebih cepat ketimbang mereka yang merangkak dalam genangan darah. Mereka pun akhirnya terkapar. Dan darah-darah mereka tumpah entah untuk apa, saya tidak paham. Inikah politik itu? Beginikah caranya mencapai cita-cita adil dan makmur itu?



Saudara-Saudara mungkin sependapat dengan saya, bahwa jalan kekerasan hampir pasti akan menuai kekerasan yang lain. Lagi-lagi saya begidik …Kalau toh saya harus mati sekarang,



apakah kekerasan akan berhenti di sini? Apakah kekerasan akan berhenti di balik pintu gudang tua ini? Siapa yang bisa menjamin bahwa tumpukan jasad kami sudah cukup berarti untuk menghentikan pembataian.



Saudara? Saudara bisa dan berani? Kalau tidak ada yang berani menjamin, saya tidak rela menjadi tumbal karena kerakusan Saudara-Saudara. Bahkan dengan alasan memulihkan stabilitas pun, apakah Saudara-Saudara akan membiarkan orang-orang yang tidak mengerti politik seperti saya dibantai seperti anjing. Apakah Saudara-Saudara yakin kelas petani seperti kami bisa mengancam kekuasaan?



Kami orang-orang berpikiran sederhana. Bisa turun ke sawah untuk meneruskan hidup esok hari saja sudah cukup. Pendidikan tidak menjadi prioritas, apalagi kekuasaan. Apa yang kami mengerti tentang kekuasaan? Kami tidak perduli siapa pun yang berkuasa, apa pun ideologinya, karena kami cuma mau hidup. Tetapi kami tidak mau menumpang hidup di ketiak para tuan tanah. Kami ingin bebas menentukan nasib kami.



Sungguh tak saya duga, Saudara-Saudara, drum di mana saya merasa akan selamat, tiba-tiba



diberondong peluru. Dalam beberapa saat, drum itu meledak dan api membubung menjilat sampai ke atap. Dan saya…saya…terbakar saudara. Seluruh tubuh saya terasa panas, panas.

Bau hangus daging menyebar ke mana-mana. Tak ada yang bisa saya lakukan lagi keIuali



berteriak: berhak, tembak saya. Meski saya tidak rela, tetapi izinkan saya mati dengan cara yang beradab… tembak, tembak saya, Bajingan!“ Saya roboh. Tetapi tak saya dengar letusan



senapan. Pastilah saya akan mati hangus. Samar-samar saya lihat atap rumah mulai runtuh. Kobaran api rupanya telah membakar seluruh gudang. Orangorang itu? Ah, saya tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Saya tidak bisa melanjutkan cerita ini, karena ingatan saya mulai kabur dan pelan-pelan menghilang …



Itulah Saudara-Saudara saya ingin sekali bercerita banyak kepada Saudara-Saudara. Tetapi saya tidak pernah diberi kesempatan, sampai akhirnya saya datang lewat tubuh saudara saya ini. Ia tak lain saudara bungsu saya. Tolong setelah saya pergi sampaikan kepadanya, bahwa



saya sangat berterima kasih atas pinjaman tubuhnya. Semoga ia selamat dan tidak mati konyol seperti saya….



TUBUH LELAKI ITU TIBA-TIBA MELOROT DAN KEMUDIAN JATUH TERTIDUR.



KETIKA PERLAHAN BANGUN DAN MENGUSAP-USAP MATA, LALU MENGERJAP-



NGE‘JAP LUCU BE‘KATA…



Mengapa Saudara-Saudara berkumpul di sini? Saya tidak apa-apa. Sudah ya saya harus kembali bekerja, bubar-bubar. Ah apa, jatuh, tadi saya jatuh, pingsan? Saya pingsan … Ah saya Haik-baik saja kok. Mungkin Saudara-Saudara yang pingsan, lalu bisa saja menganggap saya juga ikut pingsan. Ayo bubar dong, saya sibuk dan harus kembali memeriksa pasien-



pasein saya. Saudara perlu tahu, Puskesmas ini letaknya begitu jauh dari permukiman, jadi terkadang saya ngeri tinggal di sini. Untung juga ya Saudara-saudara dating…. Ah, apa?



Saudara-Saudara semua pasien? Saya tidak sanggup mengobati begitu banyak orang … Kita perlu psikiater!

SELESAI



9. RACUN TEMBAKAU
Karya : ANTON CHEKOV TERJEMAHAN JIM ADHI LIMAS


Pelaku : Ivan Ivanovich Nyukhin, seorang suami dipingit yang punya istri punya sekolah musik partikelir dan indekos buat anak perempuan.



Setting : sebuah panggung kecil di ruang pertemuan.



(DENGAN CAMBANG YANG PANJANG, KUMIS DICUKUR KLIMIS, MEMAKAI JAS



HITAM YANG  SUDAH  TUA  DAN  TERLALU SERING DIPAKAI. IA  MUNCUL



DENGAN SIKAP YANG AGUNG, MANGGUTMANGGUT MEMPERBAIKI DASINYA.)



Omong-omong, Tuan dan Nyonya. (mengusap-usap cambangnya) pada istri saya datang sebuah permintaan untuk tujuan amal, saya membacakan sebuah ceramah yang bersifat umum. Nah, kalau saya harus ceramah, tentu saja bagi saya tidak menjadi soal sama sekali. Jelas saya ini bukan profesor, dan saya tidak punya satu gelarpun. Tapi meskipun begitu, selama 30 tahun terakhir ini, bahkan sampai merugikan kesehatan saya segala, tidak ada hentinya saya mengerjakan persoalanpersoalan yang sifatnya ilmiah melulu. Saya orang berfikir, dan saya pujangga. Kadang-kadang saya juga menulis tulisan-tulisan ilmiah. Maksud saya bukan ilmiah yang sok, tapi maaf saya katakan ini, boleh digolongkan ke kelas ilmiah.



Sebelum lupa, kemarin dulu saya menulis sebuah artikel panjang berjudul “ bahaya dari jenis-jenis serangga tertentu. Anak perempuan semua menyukainya. Terutama bagian-bagian yang mengenai kutu-kutu tembok, tapi setelah dibaca kembali, saya robek lagi. Sudah tentu, seberapa pandainyapun orang menulis, obat anti kutu memang harus dibeli. Sampai-sampai saya punya piano, eh..didalamnya digigitin kutu…..



Untuk ceramah hari ini saya mengambil pokok masalah yaitu bahaya yang disebabkan oleh perilaku manusia, yakni menghisap tembakau. Saya sendiri merokok, tapi istri saya yang



menyuruh saya ceramah tentang bahaya tembakau hari ini, dan karena itu, tak ada jalan lain. Baik, tentang bahaya tembakau, …. Tembakau adalah adalah……..bagi saya tidak jadi soal



sama sekali, tapi bagi hadirin? Saya anjurkan untuk sebisa mungkin menanggapi ceramah ini dengan segala kesungguhan, demi mencegah terjadinya sesuatu yang tidak terduga. Namun, siapa yang takut ceramah ini akan terlampau kering ilmiah? Yang tidak suka macam begini, mereka tidak perlu ikut mendengarkan, dan saya tidak keberatan kalau mereka mau pulang saja. (MEMPERBAIKI DASINYA)



Saya terutama minta perhatian dari para anggota lingkungan kedokteran yang hadir di sini, agar mereka bisa memperoleh keterangan yang berguna dari ceramah ini. Berhubung tembakau selain punya akibat buruk, juga digunakan dalam dunia kedokteran. Begini misalnya, kalau saya masukkan seekor lalat ke dalam botol berisi tembakau, binatang itu kemungkinan besar mati karena sarafnya terganggu. Tembakau kita kenal sebagai tumbuh-tumbuhan,….. biasanya kalau saya ceramah, kata-kata saya selalu kekedipan, yang hadirin tidak perlu risaukan, itu lantaran senewen. Saya orang yang sangat gugup pada umumnya. Dan kekedipan mata ini sudah mulai sejak lama, sejak 1989. Kalau mau tepatnya tanggal 13 September, di hari istri saya melahirkan anak perempuan kami yang keempat, namanya Barbara. Anak perempuan saya semuanya lahir pada tanggal 13. tapi… (MELIHAT ARLOJI) karena sempitnya waktu, ,

sebaiknya saya jangan menyimpang dari pokok permasalahan.



Oh.ya , sebelum lupa, saya bisa ceritakan bahwa istri saya punya sekolah musik, dan membuka indekos partikelir, maksud saya bukan indekos biasa, tapi ..ya begitulah. Antara kami, istri saya paling suka ngomel tentang kesusahan jaman. Padahal dia punya simpanan 40 sampai 50 ribu



rubel di suatu tempat tersembunyi. Sedang saya?, saya ini tidak dikaruniai sesenpun, tidak sesenpun. Tapi yaah…buat apa ngotoot tentang yang begituan? Saya turut mengatur indekos



dengan menjaga urusan rumah tangga. Saya yang belanja persediaan makanan, saya mengawasi para pembantu, saya basmi kutu-kutu, saya ajak jalan-jalan anjing kesayangan istri saya, saya tangkap tikus. Malam kemarin saya membeli tepung terigu dan mentega untuk koki, berhubung hari ini kami bikin kue dadar gulung. Singkatnya, hari ini setelah dadar gulungnya jadi, istri saya masuk ke dapur untuk menyampaikan bahwa tiga dari murid-muridnya tidak dapat makan dadar gulung karena sakit gendeng. Jadi, kebetulan saja ada dadar gulung yang tersisa. Lantas mau diapakan? Istri saya tadinya suruh simpan di almari, kemudian dia berpikir



lagi, dan setelah dipertimbangkan dia berkata: “sudah makan saja dadar gulung itu begong,…” Kalau sedang marah dia selalu menyebut saya demikian, “Begong” atau “Cacing”, atau “Setan alas.” Orang macam saya begini masa setan?. Dia sering marah-marah begitu. Lalu dadar



gulung itu tidak saya kunyah perlahan-lahan, malahan dadar gulung itu saya telan bulat-bulat, karena saya selalu kelaparan. Kemarin misalnya, saya tidak dikasih makan, dan tidak ada gunanya kata isteri saya. Tapi..(MELIHAT ARLOJI). Saya sudah nglantur lagi, sudah menyimpang dari pokoknya. Mari kita lanjutkan. Meskipun tentu saja hadirin lebih senang



mendengarkan roman atau simfoni atau sebuah nyanyian. (MENYANYI)” dalam api perjuangan kita tidak gentar …..” saya kurang ingat dari opera mana lagu itu. … Sebelum lupa,



saya belum sebut bahwa selain menangani urusan rumah tangga, di sekolah musik istri saya, tugas saya termasuk juga mengajar matematika, ilmu hayat, ilmu kimia, ilmu bumi, sejarah, do-re-mi, sastra , dan seterusnya. Untuk les dansa, nyanyi dan menggambar, istri saya minta bayaran ekstra, meskipun sebenarnya sayalah guru dansa dan nyanyinya.



Sekolah musik kami ada di jalan Lima Anjing no. 13. Barangkali itu yang membikin hidup saya sial karena tinggal di rumah nomer 13. lagipula semua anak perempuan saya lahir pada tanggal 13, dan rumah kami punya 13 jendela. …..tapi, ya untuk apa diributkan semua ini?.



Istri saya selalu di rumah, setiap waktu bisa terima kunjungan pembicaraan, dan prospektus sekolah bisa didapat dari portir. Tiga ketipan satunya. (MENGAMBIL BEBERAPA CONTOH PROSPEKTUS DARI SAKUNYA). Dan kalau perlu, bisa dapat dari saya juga. Tiga ketip sehelai, siapa mau?. (HENING) tidak ada yang mau? Sudahlah dua ketip? (HENING). Sayang sekali. Nomer rumah kami jalan Anjing nomer 13. saya memang gagal dalam segala hal, saya sudah tua dan lagi bodoh. Sekarang saya sedang ceramah, dan kelihatannya riang saja, tapi sesungguhnya saya ingin berteriak setinggi langit, atau lari ke ujung dunia …. dan kepada siapa saya bisa mengadu. Saya malah ingin menangis ….. kita mungkin bisa hilang dan “kaukan punya anak perempuan itu apa.. “ ya… tapi anak perempuan itu apa?. Saya ngobrol dengan mereka, mereka cekikian melulu ….. istri saya punya 7 Αnak perempuan, eh bukan maaf, kalau tidak salah 6 …. (RUSUH) ya tentu saja 6, yang sulung umurnya 27 tahun dan yang bungsu sudah umur 17. Tuan-tuan.. (MELIHAT SEKELILING) aku sengsara, aku sudah jadi dungu, tidak berarti, tapi tetap di depan sini berdiri seorang ayah yang paling bahagia. Bagaimanapun, begitulah mestinya dan aku tidak berani mengatakan bahwa tidak begitu. Tapi kalau kalian tahu, aku sudah bersama biniku selama 33 tahun, dan aku bisa saja katakan bahwa itu tahun-tahun yang paling subur, maksudku bukan terbaik, tapi secara umumlah. Telah lalu semua dalam satu           kata, seperti satu detik kebahagiaan, tapi terus terang persetan segalanya.



(MELIHAT SEKELILING) aku kira dia belum dating. Bibiku belum disini, jadi aku bisa bicara sesukaku. …aku sangat penakut… aku takut kalau dia pandang aku. Nah, seperti sudah aku katakan, anak perempuanku belum pada kawin. Kemungkin besar karena mereka pemalu, dan juga karena jejaka-jejaka tidak diberi kesempatan melihat mereka. Biniku paling tidak suka bikin pesta, dia tidak pernah undang siapapun makan, dia klewat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok, sehingga tidak ada yang mau bertemu, tapi…… ini aku kasih tahu karena aku percaya pada saudara-saudara. (MAJU KE UJUNG PANGGUNG) pada hari raya petang anak perempuan biniku bisa dijumpai di rumah bibi mereka Natalia Semirzovna, itu nyonya yang menderita sakit reumatik dan selalu memakai gaun kuning ordo-ordo hitam. Seperti itu. Di sana makanannya betul-betul enak. Dan kalau kebetulan biniku tidak ikut, kita bisa (MENGANGKAT SATU TANGAN SEBAGAI ISYARAT MINUM) maklum, aku bisa saja mabok dari satu gelas anggur, dan di saat demikian aku mampu merasakan bahagia sekaligus sedih yang aku tidak bisa gambarkan kepada hadirin. Aku teringat lagi masa muda. Dan ada sesuatu yang membikin aku ingin lari ingin minggat segera…. Oh.. jikalau saudara- saudara bias merasakan bagaimana aku ingin melakukan itu. (SEMANGAT) lari, meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok lagi mke belakang ……kemana? Tidak peduli kemana…. Asalkan bisa minggat dari kehidupan yang hina, kejam. Marah ini yang sudah menjadikan aku tua bangka bobrok, galak, dengki, yang jiwanya sempit serta menjengkelkan itu. Biniku itu….. yang sudah menyiksa aku selama 33 tahun lamanya. Minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari urusan duit, dari persoalan-persoalan seperti vulgar…. Lari untuk

berhenti di suatu tempat yang jauh, jauh sekali. Di suatu padang, untuk berhenti, berdiri



menjulang seperti sebuah pohon, seperti tiang, seperti hantu pengusir burung, di bawah langit yang lebar, dan terus memandang bulan sunyi di atas kepala, lalu melupakan, melupakan… Oh betapa aku rindukan kemampuan tidak meningkat…. Betapa aku tidak sabaran lagi untuk menjambret jas tua ini yang 33 tahun yang lalu kupakai pada hari pernikahannku…..



…(DENGAN KATA MEMBUKA JAS) yang selalu mesti aku pakai buat ceramah-ceramah pada kesempatan amal…… rasian lu!!… (MENGINJAK-INJAK) rasain! Aku tua, melarat, sengsara seperti jas tua ini, dengan punggungnya tambal-tambal. (MEMPERLIHATKAN PUNGGUNG JAS ITU) aku tidak mau apa-apa! Aku lebih baik dan lebih bersih dari itu. Aku



pernah muda, aku pernah belajar di universitas, aku pernah bercita-cita, aku pernah menganggap diriku seorang lelaki…… sekarang aku tidak tau apa-apa! Tidak apa-apa selain



istirahat. (MELIHAT KE BELAKANG, LALU CEPAT MEMAKAI JAS LAGI) isteri saya sudah ada di belakang panggung …. Ia sudah dating menunggu saya di sana….. (MELIHAT



ARLOJI) waktunya sudah habis … kalau ditanya isteri saya saya mohon dengan sangat jawablah pemberi ceramahnya, bahwa begong, eh maksud saya, saya sendiri telah melakukan tugasnya dengan sopan. (MELIHAT KE PINGGIR, BATUK-BATUK) istri saya sedang memandang saya. (SUARA DIPERKERAS) Setelah kita bertitik belok dari pola bahwa tembakau mengandung racun yang jahat, seperti tadi saya uraikan, maka hendaknya kebiasaan merokok, harus dihapus. Dan omong-omong saya mengharapkan sekali bahwa ceramah saya mengenai “bahaya dari tembakau” ada manfaatnya bagi hadirin sekalian. Sekian, selamat malam (MENGHORMAT, MENGUNDURKAN DIRI DENGAN AGUNG).

SELESAI












 



 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar